DDHK.ORG — Praktek shalat yang dilakukan dari zaman nenek moyang kita sampai saat ini umumnya banyak yang menggunakan standar shalat yang dijelaskan oleh madzhab Syafi’iy. Hal ini terjadi sebab mayoritas penduduk Indonesia umumnya bermadzhab Syafi’iy. Para ulama yang menyebarkan Islam di Nusantara tentu saja juga ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’iy. Sehingga dengan sendirinya praktek shalat pun berpatokan pada fiqih madzhab Syafi’iy.
Melalui tulisan berseri ini DDHK News memaparkan sifat shalat Nabi Muhammad ﷺ berdasarkan madzhab Syafi’iy, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Ajib, Lc., MA. dalam bukunya “Dalil Shahih Sifat Shalat Nabi Ala Madzhab Syafi’iy”.
Madzhab Syafi’iy punya pandangan bahwa niat itu hukumnya wajib. Niat yang wajib ini adalah niat yang terlintas di dalam hati ketika takbiratul ihram.
Jadi ketika seseorang hendak shalat kemudian dia mengucapkan takbiratul ihram maka niat itu harus muncul bebarengan dengan takbiratul ihram.
Adapun niat yang diucapkan sebelum takbiratul ihram (talaffudz binniyah) itu hukumnya hanya sunnah saja. Bukan sebuah keharusan untuk melafadzkan niat ketika shalat. Justru yang wajib dan harus dikerjakan itu adalah niat dalam hati ketika mengucapkan takbiratul ihram.
Untuk masalah tata cara niat, madzhab Syafi’iy mewajibkan 4 hal:
- Niat Ta’yin Mengerjakan Shalat (Usholli)
- Niat Fardhu atau Sunnah (Fardho)
- Niat Ta’yin Nama Shalat (Shubuh)
- Bagi makmum wajib berniat sebagai Makmum (Ma’muman)
Adapun selain 4 poin di atas maka hukumnya sunnah saja. Misalnya seperti:
- Menyebut Jumlah Rakaat (Rak’ataini)
- Menyebut Arah Kiblat (Mustaqbilal Qiblati)
- Menyebut Waktu Shalat (Ada’an/Qadha’an)
- Menyebut al-Idhofah Ilallah (Lillahi Ta’ala)
Dalil pertama: Dalam masalah niat ini, madzhab Syafi’iy menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Dari sahabat Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niat. Dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan rasulnya maka hijrahnya benar-benar kepada Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya hanya pada itu saja.” (Hadits riwayat Bukhari & Muslim)
Dalil kedua: Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata, “Jika ingin melakukan shalat wajib maka wajib atasnya 2 perkara, yaitu niat mengerjakan shalat dan menyebutkan nama shalat seperti Zhuhur atau ‘Ashar. Dan para ulama berselisih pendapat mengenai hukum penyebutan ‘Fardhu’. Yang benar adalah hukumnya juga wajib. Adapun anak kecil yang belum baligh tidak perlu mengucapkan kalimat ‘Fardhu’ ketika shalat. Dan juga masalah penyebutan ‘Lillahi Ta’ala’, ‘Ada’an’ atau ‘Qadhaan’, ‘mustaqbilal qiblati’ dan jumlah rakaat adalah sunnah yang tidak disyaratkan dan bukan wajib.”
Sebenarnya masalah ta’yin niat ini berdasarkan ijtihad para ulama dalam memahami hadits shahih Bukhari dan Muslim yang kita sebutkan di atas. Yaitu pada point hadits yang berbunyi, “Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niat. Dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan.”
[Bersambung] [DDHKNews]