ArtikelHikmah

Pendidikan Anak Usia Prabaligh dan Baligh

Oleh Ustadzah Nur Hamidah, Lc., M.Ag.

 

Disampaikan pada Kajian Online Halaqoh Ibu-Ibu Ekspatriat Hong Kong, Selasa, 1 Desember 2020.

Salah satu bukti bahwa kita ingin menyiapkan dan melindungi anak kita, tidak hanya dari berbagai virus penyakit tapi juga sebagai seorang ibu kita ingin memberikan pelindungan kepada anak kita dengan pendidikan yang terbaik. Karena Allah menitipkan anak-anak ini, kita sebagai murobbi, pendidik.

Kita harus menyadari kewajiban kita sebagai murobbi bagi anak-anak. Tidak hanya melahirkan, tapi kita juga harus merawat mereka.

Saat merawat anak, Allah memberikan pedoman. Ada anak kita yang harus dirawat di usia prabaligh, apa saja yang harus kita lakukan. Ada juga, anak kita yang sudah berusia baligh, apa saja yang harus kita lakukan dalam merawat dan mendidiknya. Agar, mereka nanti berbakti kepada ibu dan Tuhannya.

Jangan sampai, kalau si ibu salah mendidik, nanti si anak berbakti kepada ibunya tapi durhaka kepada Allah.

Surga dan Keluarga

Awalnya, nenek moyang kita hidup di surga. Jadi, kampung halaman kita adalah surga, tempat asal nenek moyang kita, Nabi Adam dan Ibunda Hawa.

Manusia di bumi tidak akan selamanya, karena harus kembali ke surga. Bagaimana caranya? Untuk itu, Allah berikan petunjuk, berupa kitab suci sebagai pedoman kehidupan.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan, salah satu sarana yang dapat menjadikan kita Kembali ke surga adalah Keluarga, sebagai ladang amal. Suami dan anak-anak kita harus kita desain untuk menjadi jalan menuju pintu surga.

Untuk bisa reuni di surga, kita harus punya proyek kebaikan yang harus kita lakukan bersama keluarga. Ada empat pekerjaan dalam keluarga. Yaitu, amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat, berzakat, dan taat kepada Allah.

Tuhan menjanjikan kita dan keluarga ke surga jika menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya selama di bumi. Cara agar keluarga menjadi sarana kita untuk kembali ke surga, istri berbakti kepada suami, anak-anak berbakti kepada orang tua.

Potret Keluarga

Ada beberapa potret keluarga. Kita bisa mengambil hikmahnya.

Pertama, seperti arena tinju. Jika berjauhan kangen, namun jika ketemu berantem.

Kedua, seperti aktivitas pasar. Ada penjual, ada pembeli. Yang berlaku, “abang punya uang, abang disayang.” Pelayanan yang diberikan tergantung uang.

Ketiga, seperti kuburan. Mayat dan jenazah menjadi satu, tapi tidak saling sapa. Meskipun tinggal serumah, tapi seperti mayat hidup.

Keempat, seperti sekolah terpadu. Ada saling mangasah, mengasihi, dan saling mengasuh.

Skenario keluarga yang diinginkan Islam adalah yang seperti sekolah terpadu. Tiap orang ada kekurangan dan kelebihan. Berlaku saling asah, agar kekurangannya kelak menjadi kelebihan. Kepada anggota keluarga yang lain jangan melihat kekurangannya terus. Saling mengasihi, maka ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Saling asih, saling merawat.

Islam menginagtkan, jangan sampai kita meninggalkan anak kita yang lemah. Baik lemah secara ekonomi, akidah, maupun akhlak. di sinilah Islam mementingkan seorang ibu harus punya ilmu dalam mendidik anak.

Peringatan Al-Qur’an, QS. An-Nisa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kuatir terhadap (kesejahteraan) mereka…”

Tolak Ukur Keberhasilan dalam Mendidik Anak

Islam menyebut anak dengan istilah “waladun” (tidak terikat oleh usia). Selagi seseorang dalam kehidupannya memiliki orang tua, maka dia masih berpredikat anak.  Maka istilah pendidikan anak yang digunakan dalam Islam adalah “tarbiyatul awlad”. Artinya, tidak terbatas usianya. Selagi seseorang mempunyai orang tua, maka bagi orang tuanya, dia adalah anak.

Bahkan, di masa tarbiyatul awlad ini, seorang ibu wajib mendidik anak laki-lakinya, sampai usia 40 tahun. Ketika seseorang berumur 40 tahun, perilakunya bagaimana menjadi seorang ayah, menjadi seorang manusia yang punya kiprah di masyarakat, apakah salah atau bernar, yang mempunyai wewenang untuk mengingatkannya masih ibunya. Jadi, bagi seorang ibu, selagi anak laki-lakinya belum berusia 40 tahun, maka tanggung jawab dia sebagai ibu untuk mendidik anaknya belum lepas.

Karena seorang anak laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, kadang dia melakukan kesalahan. Maka ibunya atau orang tuanyalah yang berhak melindunginya. Bukan melindungi dalam arti membelanya, tapi melindungi dari kesalahan-kesalahan yang potensial dibuat olehnya.

Tolak ukur keberhasilan seorang ibu dalam mendidik anak laki-lakinya, standarnya adalah mampukah anaknya berperilaku seperti dalam doa yang tersurat di surat Al-Ahqaf ayat 15.

Yaitu, mampu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Ta’ala kepada dirinya dan orang tuanya. Nikmat ini digunakan untuk apa? Untuk melaksanakan amal shaleh. Ketika berusia 40 tahun, nikmat-nikmat yang Allah berikan dia seimbangkan dengan amal-amal shaleh. Dan, amal shaleh itu bukan hanya untuk dia, tapi juga untuk anak keturunannya.

Jadi, dia mensyukuri nikmat yang diperolehnya dan orang tuanya dengan cara hidup produktif, beramal untuk dirinya sendiri, dan juga produktif sampai anak keturunannya.

Maka bagi ibu-ibu yang punya suami berumur belum 40 tahun, jangan coba-coba bersaing dengan ibu mertua. Tidak level. Makanya, kalau mmenantu mau dapet suami yang baik, CS-an (bertemanlah) dengan ibu mertua. Kalau ada apa-apa dengan suami, laporkan ke ibunya.

Sedangkan jika ditinjau dari rentang umur, anak terbagi ke dalam dua fase: sebelum dan sesudah baligh. Fase sebelum baligh, terbagi lagi ke dalam fase shibyun (anak usia batita) dan thiflun (usia pra sekolah).

3 Pendidikan Wajib Diberikan Orang Tua kepada Anak

Hingga berumur 40 tahun, bukan berarti seorang ibu menciptakan anak laki-lakinya menjadi “anak mama”. Melainkan, ibu memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya.

Ada tiga pendidikan kewajiban orang tua dalam tarbiyatul awlad yang tak dibatasi usia. Pertama, memberikan pengajaran atau wawasan ilmu kepada anak. Sebab, ibu dan orang tua telah merasakan asam-garam kehidupan. Pengalaman hidup itu harus ditransfer kepada anak.

Kedua, menanamkan adab dan etika. Seorang anak harus diajarkan, mana yang boleh dan yang tidak boleh dia lakukan. Hal itu harus ditanamkan sejak kecil, sampai umur anak laki-lakinya 40 tahun. Kalau anak perempuan, sampai dia menikah, saat diserahkan kepada suaminya.

Ketiga, membentuk karakter anak. Kapan batasnya? Ketika hayat masih dikandung badan. Kecuali, setelah terpisah, maka menjadi tanggung jawab masing-masing. Pemisahnya itu adalah kematian.

Metode Pendidikan untuk Anak

Kategori anak menurut Islam berdasarkan kedudukan hukumnya terbagi dua. Pertama, baligh atau dewasa. Tandanya, haid pada anak wanita dan datangnya mimpi basah atau junub bagi anak laki-laki.

Kedua, prabaligh atau anak-anak. Sudah mendapatkan taklif  atau pembebanan hukum syara’. Di fase ini anak harus mempertanggungjawabkan setiap ucapan, sikap, dan tindakan yang mereka lakukan. Baik di hadapan Allah maupun di hadapan aparat hukum di dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biasakanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya.” (Abu Dawud, 417)

Metode pendidikan yang harus dilakukan kepada anak-anak prabaligh dengan keteladanan dan kebiasaan. Sedangkan kepada anak yang sudah baligh dengan menanamkan kesadaran tentang risiko.

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan pada masa pengasuhan anak melalui keteladanan. Yaitu:

  1. Kasih sayang dari pihak kedua orangtua, terutama ibu, penting agar anak belajar mencintai orang lain.
  2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya. Misalnya, membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap.
  3. Jadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.
  4. Biasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulan. Misalnya, berdoa sebelum makan, tidak menghisap jempol, tidak memakai pakaian atau celana yang pendek.

Sedangkan dalam konteks menanamkan risiko, dapat dilakukan beberapa pendekatan. Yaitu:

  1. Kenalkan Allah dengan cara yang sederhana sesuai dengan tingkat pemikirannya.
  2. Jelaskan tentang hukum yang jelas dan tentang halal-haram. Misalnya, tentang kewajiban menutup aurat, berwudhu, shalat, serta larangan mencuri dan melihat kepada yang diharamkan.
  3. Ajarkan dan biasakan membaca Al-Qur’an dengan benar.
  4. Ajarkan tentang hak-hak orang tua.
  5. Kenalkan tokoh-tokoh teladan, seperti para sahabat Nabi.
  6. Ajarkan tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
  7. Kembangkan rasa percaya diri dan tanggung jawab dalam diri anak.

Agar anak berani bertanggung jawab, dapat digunakan pendekatan berikut ini:

  1. Perlakukan anak sebagai orang dewasa.
  2. Kenalkan anak kepada hukum akil baligh dan ceritakan kepadanya kisah yang dapat mengembangkan dalam dirinya sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal yang haram.
  3. Libatkan anak untuk ikut serta melaksanakan tugas-tugas rumah tangga.
  4. Mengawasi dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat.
  5. Carikan teman yang baik.

Kesalahan dalam Pengasuhan Anak

Terdapat beberapa kesalahan yang biasa dilakukan dalam pengasuhan anak dan tidak boleh dilakukan. Yaitu:

  1. Ucapan tidak selaras dengan perbuatan.
  2. Orang tua tidak kompak dalam pendidikan anak.
  3. Menjadikan gadget sebagai the second God (Tuhan kedua).
  4. Pembantu jadi orang tua.
  5. Lemah terhadap anak.
  6. Mendahulukan hukuman dari pada pujian.
  7. Kurang memberikan penghargaan.
  8. Tidak proporsional (anak kurang dilibatkan).
  9. Melakukan MKM (menasehati, membohongi, meremehkan, menyalahkan, menganalisa, labeling).

Mulai dari sekarang, ayo jadikan setiap detiknya berarti untuk masa depan anak yang penuh arti. Jangan berpedoman pada seberapa cerdas, tapi betapa cerdasnya anak kita.

Diatas segala ikhtiar manusiawi kita, yang terpenting adalah senantiasa memanjatkan do’a kepada Sang Pencipta, Pemilik, dan Penguasa hati manusia. Dia lah Allah ‘Azza wa Jalla. [DDHK News]

Baca juga:

×