Keharusan mengetahui petunjuk Rasulullah SAW
Dari sini dapat diketahui urgensi kebutuhan hamba yang tidak bisa ditawar tawar lagi untuk mengetahui petunjuk yang dibawa Rasulullah SAW. Sebab, tidak ada jalan untuk mendapatkan keberuntungan kecuali lewat petunjuk itu.
Yang baik dan yang buruk tidak bisa dikenali secara terinci kecuali dari sisi petunjuk itu. Apapun kebutuhan yang datang dan apapun urgensi yang muncul, maka urgensi hamba dan kebutuhannya terhadap Rasul ini jauh lebih penting lagi.
Apa pendapatmu tentang orang yang engkau pun sudah putus asa untuk memberinya petunjuk? Tidak ada yang bisa merasakan hal ini kecuali hati yang hidup. Sebab orang yang mati tidak lagi merasakan sakit.
Jika kebahagiaan tergantung kepada petunjuk Rasulullah SAW, maka siapapun yang menginginkan keselamatan bagi dirinya harus mengenal dan mengetahui petunjuk, sirah, dan keadaan beliau, agar dia terbebas dari jerat orang orang yang bodoh.
Dalam hal ini manusia ada yang mendapat sedikit, mendapat banyak, dan ada pula yang sama sekali tidak mendapatkannya. Karunia hanya ada di tangan Allah, yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendakiNya.
Tuntunan Rasulullah saat berkata, diam, tersenyum, dan menangis
Rasulullah SAW adalah makhluk Allah yang paling fasih, paling merdu kata katanya, paling lembut tutur katanya. Sampai sampai perkataan beliau dapat memengaruhi hati sekian banyak manusia dan menawan jiwa. Bahkan musuh musuh beliau juga mengakui hal ini.
Jika berkata, maka perkataan beliau terinci dan jelas. Terkadang diulang ulang, tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat, tidak terputus putus atau tersela dengan diam. Terkadang beliau mengulang hingga tiga kali, agar perkataan beliau benar benar bisa dipahami.
Beliau lebih banyak diam jika memang tidak dibutuhkan untuk bicara. Mengawali dan mengakhiri pekataan dengan ujung bibirnya. Berkata dengan menggunakan kata kata yang banyak kandungan maknanya. Tidak terlalu banyak (nyerocos) dan tidak pula terlalu sedikit. Tidak membicarakan sesuatu yang tidak diperlukan. Tidak berkata kecuali yang diharapkan pahalanya.
Jika beliau tidak menyukai sesuatu, maka hal itu dapat diketahui lewat rona muka beliau.
Tawa beliau berupa senyuman. Puncak senyuman beliau adalah gigi geraham beliau kelihatan. Beliau tersenyum karena memang ada sesuatu yang membuat beliau tersenyum, yaitu hal hal yang membuat beliau takjub atau hal hal yang jarang terjadi atau aneh.
Beliau juga tersenyum karena gembira, karena melihat sesuatu yang menggembirakan atau ikut dalam kegembiraan itu. Tapi ada kalanya beliau tersenyum justru pada saat yang seharusnya beliau marah. Beliau tersenyum karena dapat menguasai rasa amarah.
Sedangkan tangis beliau juga tidak berbeda jauh dengan senyum beliau. Tidak dengan sedu sedan, ratapan, dan suara, sebagaimana tawa beliau yang tidak disertai suara mengakak, tapi hanya berupa senyuman. Saat menangis, air mata beliau menalir hingga bercucuran dan dari dada terdengar suara menggelegak.
Tangis beliau terkadang karena gambaran kasih sayang kepada orang yang meninggal dunia. Terkadang, karena rasa takut atas umatnya dan rasa saying. Terkadang karena takut kepada Allah. Terkadang saat mendengar Al Qur’an, yang merupakan tangis cinta dan pengagungan, yang disertai rasa takut dan kuatir.
Ketika putra beliau, Ibrahim, meninggal dunia, maka kedua mata beliau menangis dan mengucurkan air mata, sebagai luapan kasih sayang kepadanya. Beliau bersabda saat itu:
“Mata bisa berlinang air mata, hati bisa bersedih, namun kami tidak mengatakan kecuali yang membuat Rabb kami ridha. Sesungguhnya kami benar benar bersedih atas kematianmu wahai Ibrahim.” (Ditakhrij Al Bukhari dan Ahmad).
Beliau menangis saat menyaksikan salah seorang putrinya, saat Ibnu Mas’ud membacakan surat An Nisa’ di hadapan beliau hingga ayat 41. Menangis saat Utsman bin Mazh’un meninggal dunia. Menangis saat ada gerhana matahari. Menangis saat shalat gerhana. Menangis saat shalat. Menangis saat duduk di dekat kuburan salah seorang putri beliau.
Secara keseluruhan, tangis beliau itu menggambarkan beberapa keadaan. Yaitu, tangis kasih sayang, takut dan kuatir, cinta dan rindu, senang dan gembira, sedih karena menggambarkan siksaan, kesedihan, merasa lemah dan tak berdaya.
Dinukil dari terjemahan kitab Zadul Ma’ad (Bekal Perjalanan ke Akhirat) karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah [DDHKNews]