Soal Tradisi Rebo Wekasan
Assalamu’alaikum. Ustadz, saya mau bertanya.
Apakah tradisi Rebo Weksan ada dalam Al Qur’an dan hadist? Seperti yang dilakukan di kampung kami, tradisi Rebo Wekasan diperingati dengan membuat makanan cimplo, serabi manis, bubur kacang kacangan, dan biji bijian lain yang diolah jadi makanan. Dan, apakah itu dibolehkan dalam Islam?
Terima kasih, Ustadz.
Salam, Fulanah
JAWAB:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Bismillah… Allah SWT adalah Sang Pencipta waktu. Baik dan buruknya kejadian yang terjadi pada waktu tersebut adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Manusia tidak punya daya dan upaya untuk mengubah ketetapan dan kehendak Allah SWT kecuali dengan izin-Nya.
Kita juga harus selalu berbaik sangka dengan ketetapan Allah walaupun itu tidak baik menurut kita. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
أنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بي (رواه أحمد، والدارمي، وابن حبان)
“Aku sesuai dengan apa yang disangkakan oleh hamba-Ku tehadap-Ku”. (Ahmad, Darimi, Ibnu Hibban)
Diantara tradisi masyarakat di Indonesia adalah meyakini bahwa hari Rabu terakhir setiap bulan Hijriyah atau penanggalan Jawa atau lebih khususnya bulan Shafar adalah hari sial. Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi shallallãhu alaihi wasallam dari Sahabat Ibnu Abbas:
آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. (رواه وكيع، وابن مردويه، والخطيب البغدادي)
“Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus”. (Diriwayatkan oleh Waki’, Ibnu Mardawih, & Al-Khatib Al-Baghdadi)
Hanya saja hadits tersebut sangat lemah. Bahkan sebagian ulama seperti Ibnu Al-Jauzi memasukkannya dalam kategori hadits maudlu’ (palsu).
Karena ada hadits lain yang lebih shahih darinya yaitu:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. (رواه البخاري ومسلم)
“Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang”. (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Tradisi Rabu terakhir atau dalam bahasa Jawa disebut Rebo Wekasan/pungkasan bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid atau biasa disebut Mujarrobat ad-Dairobi. Anjuran lainnya juga terdapat dalam kitab: Al-Jawahir Al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.
Hal tersebut bermula dari mimpi seorang ulama bahwa akan terjadi malapetaka pada setiap hari Rabu terakhir setiap bulan atau setiap Shafar. Hanya saja mimpi seorang ulama tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum atau syariat.
Sehingga untuk menolak anggapan sial pada bulan Shafar, sebagian ulama ada yang menambahkan kata al-khair pada bulan Shafar menjadi Shafarul Khair atau Shafar yang penuh kebaikan.
Adapun budaya membuat makanan untuk diberikan kepada yang membutuhkan itu baik. Hanya saja tidak perlu dikhususkan pada waktu-waktu tertentu, terlebih Rabu terakhir bulan Shafar dengan diyakini sebagai hari sial.
Berbuat kebaikan atau sedekah akan menjauhkan kita dari kesialan. Sebagaimana Nabi shallallãhu alaihi wasallam bersabda:
صنائعُ المعروفِ تقي مصارعَ السوءِ (رواه الطبراني)
“Perbuatan baik melindungi dari keburukan (kejahatan)”. (Hadits riwayat Thabrani)
Wallâhu a’lam bish-showâb.
Salam!
(Dijawab oleh: Ustadz Very Setiyawan, Lc., S.Pd.I., M.H.)
#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419. [DDHKNews]