Artikel

Sejarah Kompilasi Hadits

Kedudukan Hadits

Hadits memiliki kedudukan penting sebagai sumber hukum dalam Islam. Yaitu:

  1. Hadits adalah wahyu.

Allah berfirman:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ (النجم : 4)

“Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsuny (3) Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S. An-Najm: 4)

  1. Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً (النساء: 59)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian, kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

[darsitek number=3 tag=”artikel”]

Hadits berfungsi sebagai:

  1. Bayan taqriri (memperjelas isi alquran) seperti shalatnya Rasulullah untuk menjelaskan cara shalat yang diwajibkan dalam al-Qur’an;
  2. Bayan Tafsir (memperinci makna-makna ayat al-Qur’an);
  3. Bayan Tasyri’ (menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat dalam al-Quran) seperti zakat fithrah dan lainnya;
  4. Bayan Nasakh (merevisi hukum yang ada dalam al-Qur’an) seperti larangan memberi washiyat kepada ahlis waris merevisi perintah memberikan wasiat kepada kerabat dalam al-Qur’an.

Pengertian dan Ruang Lingkup Hadits

Hadits didefinisikan sebagai:

مَا أُضِيْفَ إلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ قَولٍ أوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أو صِفَةٍ

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, sikap, atau sifatnya.”

Sedangkan ruang lingkupnya, hadits meliputi:

  1. Qawli (semua perkataan Rasulullah saw);
  2. Fi’li (semua perbuatan Rasulullah saw);
  3. Taqriri (Semua pengakuan Rasulullah saw atas perbuatan sahabat);
  4. Washfi Khalqi (semua cerita sahabat tentang bentuk fisik Nabi saw);
  5. Washfi Khuluqi (semua hal yang berkaitan dengan tingkah laku Nabi saw).

Pembagian Hadits dan Ilmu Hadits

Ilmu hadits dibagi dalam:

  1. Ilmu riwayah adalah Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci.”
  2. Ilmu Dirayah; yaitu ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, macam-macam periwayatan, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Berikut ini adalah pentingnya mempelajari Ilmu Riwayah:

  1. Menjaga dan memelihara hadis Nabi saw dan menghindari kesalahan periwayatan dan penyampaiannya;
  2. Perantara dan media akan kesempurnaan kita dalam mematuhi dan mengikuti Rasulullah saw serta melestarikan ajaran-ajarannya.

Dari segi kuantitas, hadits terbagi menjadi:

  1. Mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada setiap generasinya yang dengan jumlah itu tidak mungkin berdusta;
  2. Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan hanya 1, 2 atau 3 orang saja, yang tidak sampai ke level mutawatir. Dengan rincian:
  • Diriyawatkan 1 orang disebut ahad gharib;
  • Diriwayatkan 2 orang disebut ahad aziz;
  • Diriwayatkan 3 orang disebut masyhur.

Dari segi kualitas, hadits dibagi menjadi:

  1. Shahih (kuat). Hadits Shahih adalah level hadits tertinggi kevalidannya dan dijadikan hujjah atau dalil untuk segala urusan, baik urusan akidah, hukum, dan lainnya.

Adapun syarat-syaratnya:

  • Bersambung sanad;
  • Tidak ada syaz;
  • Tidak ada illat;
  • Perawinya adil;
  • Perawinya kuat ingatan.
  1. Hadits yang kuat namun tidak sampai derajat shahih dan tetap dijadikan sebagai hujjah.

Syarat hadis hasan sama dengan hadis shahih, hanya saja ingatan perawinya tidak sekuat ingatan hadis shahih.

  1. Dhaif (lemah). Hadis Dhaif hanya boleh digunakan untuk fadhilah ‘amal selama tidak bertentang dengan hadis shahih maupun hasan.

Sebab Dhaif:

  • Disebabkan terputusnya rawi;
  • Disebabkan adanya cacat pada rawi;
  • Ada rawi yang sering berbohong;
  • Ada rawi yang fasiq karena melakukan dosa besar atau dosa kecil yang terus menerus;
  • Ada rawi pelaku bid’ah;
  • Ada rawi tidak dikenal;
  • Hafalan rawi buruk.

Proses Munculnya dan Sejarah Pencatatan Hadits

Hadits muncul dengan cara:

  1. Tadarruj (berangsur-angsur) Selama masa Kenabian;
  2. Adanya kronologi lahirnya hadits agar lebih realistis yang disebut dengan asbabul wurud.

Cara sahabat mendapatkan hadits:

  1. Menghadiri majlis ilmu;
  2. Bergaul dalam keseharian Rasulullah saw.;
  3. Bertanya kepada Rasulullah saw.;
  4. Mendapatkannya dari sahabat lainnya.

Sedangkan pencatatan hadits dapat dikategorikan dalam beberapa periode. Yaitu:

Pertama, pencatatan hadits di zaman kenabian. Pada masa ini hadits ditulis di As-Sahifah As-Shadiqah atau lembaran-lembaran tulisan berisi hadits yang ditulis pada zaman Rasulullah saw. Di antaranya:

  1. Shahifah Sa’ad bin ‘Ubadah al-Anshari ra. (w. 141 H);
  2. Shahifah Abdulllah bin Abi Aufa (w. 87 H);
  3. Nuskhah Samurah bin Jundub (w. 60 H);
  4. Kitab Abu Rafi’ al-Qibthi;
  5. Shahifah Abu Musa al-Asy’ari (w. 50 H);
  6. Shahifah Jabir bin Abdillah al-Anshari (w. 78 H);
  7. Ash-Shahifah Ash-Shadiqah Abdullah bin Amr bin al-Ash (w. 65 H);
  8. Shahifah Abu Salamah Nibaith bin Syarith al-Asyja’i al-Kufi ra.;
  9. Ash-Shahifah Hammam bin Munabbih.

Lalu, bagaimana memahami larangan menulis hadits di zaman Rasulullah SAW?

Abu Said Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi saw mengatakan:

لا تكتبوا عني شيئا ، فمن كتب عني شيئا غير القرآن فليمحه

“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barang siapa yang menulisnyaa selain al-Qur’an maka hapuslah.”

[darsitek number=3 tag=”konsultasi”]

Larangan ini tidak sifat permanen, karena alasan pelarangan pada waktu itu digambarkan sebagai berikut:

  1. Adanya kekawatiran tercampurnya teks hadits dan al-Qur’an, padahal dua-duanya berbeda;
  2. Sahabat memiliki hafalan yang kuat namun tidak begitu mahir dalam baca tulis.

Terkait penulisan hadits, ada beberapa pengakuan dan pernyataan dari sahabat Nabi SAW.

Abu Hurairah ra. Mengatakan: “Tidak ada seorangpun dari Shahabat Nabi saw yang lebih banyak meriwayatkan hadis dari pada aku, kecuali apa yang ada pada Abdulllah bin Umar. Sesungguhnya ia menulis dan aku tidak menulis.”

Cerita lain dari Abu Hurairah ra.:

كان رجل يشهد حديث النبي صلى الله عليه وسلم فلا يحفظه فيسألني فأحدثه ، فشكا قلة حفظه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له النبي صلى الله عليه وسلم “استعن على حفظك بيمينك“

“Seorang laki-laki menyaksikan hadis Nabi saw, tapi ia tidak mampu menghapalnya, lalu ia bertanya kepadaku, akupun menceritakan kepadanya. Lalu ia mengadu tentang lemah hapalannya kepada Rasululah saw, lalu dijawab: gunakanlah tangan kananmu untuk membantu hapalanmu.”

Maksud tangan kanan di sini untuk menulis.

Sedangkan Rafi’ menceritakan bahwa ia berkata kepada Rasulullah saw.:

يا رسول الله إنا نسمع منك اشياء أفنكتبها ؟ قال : اكتبوا ولا حرج

“Ya Rasulullah, kami mendengar dari banyak hal, bolehkah kami menulisnya? Rasulullah saw menjawab: tulislah, tidak ada masalah.”

Ada pula cerita penduduk Yaman. Saat majelis berlangsung, ada seorang laki-laki bernama Abu Syah yang datang dari Yaman lalu mengatakan:

اكتبوا لي يا رسول الله

“Tuliskanlah untukku ya Rasulullah.”

Lalu Rasulullah saw mengatakan:

كتبوا لأبي شاه

“Tulisakanlah untuk Abu Syah.”

Kedua, penulisan hadits di masa sahabat. Pada masa ini hadits juga belum dikumpulkan menjadi satu kesatuan dalam bentuk kitab kumpulan, namun praktek penulisan hadits tetap berjalan.

Setelah wafatnya Nabi saw, sebagian sahabat menulis hadits kemudian dikirimkan tulisan tersebut kepada sebagian shahabat yang lain atau tabi’in. Seperti tulisan Sahabat Usaid bin Khudair yang dikirimkan kepada Marwan bin Al Hakam, Sahabat Jabir bin Samurah yang dikirimkan kepada ‘Aamir bin Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Sahabat Zaid bin Arqam mengirimkan catatan haditsnya kepada Sahabat Anas bin Malik.

Pada masa ini sahabat justru sibuk dalam pengumpulan al-Qur’an. Sedangkan majelis-majelis penyampaian hadits tetap berjalan.

Setelah Rasulullah saw wafat, para Sahabat secara rutin meriwayatkan hadits. Diantara sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis:

  1. Abu Hurairah 5374 hadis
  2. Abdullah bin Umar 2630 hadis
  3. Anas bin Malik 2286 hadis
  4. Aisyah binti Abi Bakr 2210 hadis
  5. Abdullah bin Abbas 1660 hadis
  6. Ibnu Abbas radhiallu anhu
  7. Jabir bin Abdillah 1540 hadis
  8. Abu Said Al Khudri 1170 hadis

Setelah Umar bin Khattab menaklukkan Negeri-negeri besar seperti Syam, Palestina, Persia, Mesir dan lainnya, para sahabat banyak yang ditugaskan keluar untuk berjihad, berniaga, mengajar, bahkan menjadi gubernur. Melalui ini hadits-hadits tersampaikan ke pelosok-pelosok negeri.

Ketiga, kodifikasi hadits pada abad kedua. Pembukuan hadits pertama sekali atas permintaan Khalifah Abdul Aziz Marwan (w. 85 H). Beliau memerintahkan para ulama di masanya untuk mencari hadits-hadits Nabi, kemudian dituliskan pada lembaran-lembaran, lalu dikumpulkan.

Pengumpulan hadits ini lebih dikenal dengan pengumpulan hadits yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri. Imam az-Zuhri berkata:

أَمَرَنَا عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بِجَمْعِ السُّنَنِ فَكَتَبْنَاهَا دَفْتَرًا دَفْتَرًا، فَبَعَثَ إِلَى كُلِّ أَرْضٍ لَهُ عَلَيْهَا سُلْطَانٌ دَفْتَرًا

“Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami untuk mengumpulkan sunnah-sunnah Nabi (hadits). Maka kami menulisnya pada kumpulan-kumpulan catatan hadits, kemudian kami mengirim satu kumpulan catatan kepada setiap wilayah.”

Penyempurnaan pembukuan hadits dilanjutkan oleh Umar bin Abdul Aziz.

Kitab-kitab hadits yang muncul pada abad kedua:

  1. Jami’, ditulis oleh Ma’mar bin Rasyid (w. 150 H);
  2. Muwattha’ yang ditulis Imam Malik (w. 179 H);
  3. Al-Jami’ ditulis oleh Ibnu Wahab (w. 197 H).

Keempat, kodifikasi hadits pada abad ketiga. Ini merupakan masa keemasan hadits, karena pada masa ini muncul kutubussittah.

Pada abad ini para ahli hadits sudah memilah-milih hadits Rasulullah saw dan perkataan sahabat dan tabi’in. Dan yang terpenting, pada periode ini sudah diklasifikasi kulitas hadits.

Kitab-kitab hadits abad ketiga:

  1. Musnad al-Humaidi, oleh Abu Bakar Abdullah bin az-Zubair bin Isa bin Abid al-Qurasyi al-Humaidi (w. 219 H);
  2. Al-Musnad, Oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani (w. 241 H);
  3. Sunan Ad-Darimi, oleh Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl bin Bahram bin Abdus Shamad ad-Darimi (w. 255 H);
  4. Shahih Al-Bukhari, oleh Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari (w. 256 H);
  5. Shahih Muslim, oleh Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairi an-Naisaburi (w. 261 H);
  6. Sunan Ibnu Majah, oleh Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini (w. 273 H);
  7. Sunan Abi Daud, oleh Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadad bin Amrin As-Sijistani (w. 275 H);
  8. Jami’ At-Tirmidzi, oleh Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Adh-Dhahak at-tirmidzi (w. 279 H);
  9. Sunan An-Nasa’I, oleh Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali Al-Khurasani An-Nasa’I (w. 303 H).

Kelima, penulisan hadits era modern. Pada periode modern hadits banyak ditulis dan dikumpulkan dalam tema-tema tertentu, namun validitasnya tetap merujuk kepada kitab-kitab yang sudah ada.

Faktor-Faktor Pemalsuan Hadits dan Antisipasinya

  1. Khilafah siyasiyah (perselisihan politik) yang banyak dilakukan kaum rafidhah;
  2. Zindiqah, yaitu kebencian terhadap Islam sehingga menyebarkan faham sesat;
  3. Ashabiyah (fanatisme);
  4. Al-Qashash wal wa’zhu, yaitu tukang-tukang cerita menjadi penasehat;
  5. Al-Khilafat al-fiqhiyat (perselisihan masalah fikih);
  6. Al-Jahlu bid-din ma’ar-raghbah bil-khair, bodoh dalam agama tapi enggan kebaikan;
  7. Attaqarrub lil-muluk wal-umara, mendekati penguasa.

Upaya mengantisipasi pemalsuan hadits:

  1. Isnad Hadits, yaitu semua hadits yang disebutkan harus ada sumbernya;
  2. Tadwin Al-Hadits, penghimpunan Hadits dalam kitab-kitab;
  3. Wadh’u ilmi al-hadits, yaitu penetapan adanya ilmu hadits.

Oleh Ustadz H. Muhammad Hanafi, Lc., M.Sy, disampaikan pada kajian Madrasah Perantau Online (MPO) DDHK, Ahad, 28 Maret 2021.

>>>Sahabat perantau di negara manapun berada bisa mengikuti kajian MPO DDHK tiap hari Sabtu dan hari Ahad, lewat Zoom dan siaran LIVE di Facebook page Dompet Dhuafa Hong Kong (https://web.facebook.com/DDHongkong)

Baca juga:

×