ArtikelKonsultasi

Keponakan Utang tapi Ogah Bayar

Keponakan Utang tapi Ogah Bayar

TANYA:

Assalamu’alaikum, Ustadz.

Ustadz, keponakanku kan minta tolong dipinjami uang. Lalu, aku pinjemi. Saat waktunya bayar, dia selalu cari-cari alasan dan tidak mau bayar. Malah, marah dan menghina aku.

Aku sudah ke rumahnya untuk silaturahmi, tapi tidak dibukain pintu. Ditelpon, tidak diangkat. Dikirimi pesan WhatsApp, tidak dibalas. Belum lama dia bilang, “kalau ada pasti dikasih. Sekarang ini, ada buat makan aja sudah syukur.” Lah, aku sendiri ada pinjaman yang harus dilunasi.

Minta solusi dan sarannya, Pak Ustadz. Terima kasih, matur suwun.

Salam,

Fulanah

JAWAB:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Hutang-piutang merupakan bagian dari muamalah dalam kehidupan antar-individu manusia. Utang-piutang menjadi kegiatan yang lumrah dan sulit dihindarkan dalam kehidupan ini. Baik karena kebutuhan, peningakatan pendapatan rumah tangga, maupun gaya hidup. Semoga hutang-piutang yang terjadi dalam kehidupan kita betul-betul bukan karena gaya hidup.

Utang-piutang dalam Islam merupakan hal yang sifatnya jaiz atau diperbolehkan. Namun, Islam mengatur tata cara utang-piutang tersebut secara sistematis.

Dalam Islam, utang dikenal dengan istilah al-Qardh, yang secara etimologi berarti memotong. Sedangkan menurut syar’i bermakna memberikan harta dengan dasar kasih sayang kepada siapa saja yang membutuhkan dan akan dimanfaatkan dengan benar, yang mana pada suatu saat nanti harta tersebut akan dikembalikan lagi kepada orang yang memberikannya.

Adab atau tata caranya secara umum:

  1. Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan. Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim)

2.Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berupa hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak).

  1. Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasa’i).

Adab secara khusus:

Pertama, orang yang ingin berutang hendaklah benar-benar karena terpaksa atau kebutuhan.

Kedua, orang yang berutang hendaknya ada niat yang kuat untuk mengembalikan. Orang yang memiliki niat seperti ini akan ditolong oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi Subhanahu Wata’ala bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah subhanahuwata’aala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Bukhari)

Ketiga, harus ditulis dan dipersaksikan. Dua pihak yang melakukan transaksi utang-piutang hendaknya menulis dan dipersaksikan oleh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Surat al-Baqarah [2] ayat 282.

Keempat, orang yang berutang hendaknya segera melunasi utangnya jika sudah mempunyai uang dan memberikan hadiah kepada yang memberi pinjaman. Rasulullah bersabda, “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.” (Riwayat Bukhari).

Kelima, apabila yang berhutang belum bisa melunasi karena kondisi, sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad)

Nah dari kasus yang ditanyakan, perlu mediasi atau orang terdekat, agar akad hutang-piutang bisa diselesaikan dengan baik dan penuh keikhlasan.

Wallâhu a’lam bish-showâb.

Salam!

Dijawab oleh: Ustadz H. Ahmad Fauzi Qosim.

#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419.

Baca juga:

×