DDHK.ORG — Apakah kita berkewajiban membayar zakat fitrah? Apa hikmah di balik kwajiban zakat fitrah bagi setiap Muslim dan Muslimah?
Pengertian
Zakat fihr (zakat fitrah) atau disebut dengan shadaqah ar-ramadhan adalah zakat yang sebab diwajibkannya adalah fithr (berbuka) pada bulan ramadhan. Zakat fitrah ini berbeda dengan zakat lain, karena ini adalah beban atas pribadi bukan atas harta. Oleh karena itu tidak disyaratkan nishab tertentu pada zakat fitrah. Fuqaha’ juga menyebut zakat fitrah ini dengan zakat kepala, zakat hamba atau zakat badan ([1] Fiqhu Az-zakah, 2/929-930.)
Hukum dan Hikmah Zakat Fitrah
Jumhur Ulama sepakat bahwa zakat fitrah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra (2Al- Mausu’ah Al fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah 23/336.):
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من شعير على كل حر أو عبد, ذكر أو أنثى من المسلمين
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a bahwa Rasulullah Saw. Mewajibkan zakat fithrah sebanyak satu sha’ gandum bagi setiap orang yang merdeka atau hamba, lelaki atau perempuan diantara kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim.)
Syarat Wajib Zakat Fitrah adalah sebagai berikut (3Al- Mausu’ah Al fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah 23/337.):
- Jumhur Ulama sepakat bahwa zakat fitrah tidak wajib bagi orang kafir.
- Menurut jumhur fuqaha’ zakat fitrah tidak wajib bagi hamba sahaya karena mereka tidak memiliki apa-apa termasuk dirinya sendiri ([1]Menurut hanabilah hamba sahaya wajib membayar zakat fitrah sesuai dengan hadits).
- Mampu untuk membayar zakat fitrah. Yaitu bagi mereka yang memiliki kelebihan makanan pada malam dan hari idul fitri. Berbeda dengan zakat mal (harta), menurut Ibnu Qudamah: “hutang tidak menghalangi dalam membayar zakat fitrah”. Yaitu jika seseorang memiliki kadar yang cukup untuk membayar zakat fitrah namun juga memiliki hutang sebanyak zakat tersebut, dia wajib mengeluarkan zakat fitrah kecuali hutang tersebut sudah jatuh tempo. Dia mesti membayar hutang dan tidak wajib membayar zakat fitrah. ([1]Ulama berbeda pendapat mengenai makna “mampu” di sini. Menurut hanafiyyah yang dimaksud dengan mampu di sini adalah jika seseorang memiliki harta yang sudah mencapai nishab baik nishab emas, perak, binatang ternak, atau niaga. Sedangkan menurut malikiyyah, zakat fitrah wajib dibayar jika seseorang memiliki kelebihan harta walaupun Cuma 1 sha’ bahkan wajib berhutang untuk membayar zakat fitrah jika orang tersebut mampu untuk membayarnya setelah itu. Jika tidak mampu maka tidak wajib. Sedangkan menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah mampu di sini berarti seseorang memiliki kelebihan makanan pada malam dan hari idul fitri, jika seseorang membutuhkan zakat fitrah untuk mencukupi kehidupannya maka dianggap tidak mampu dan tidak wajib membayar zakat fitrah.
[darsitek number=3 tag=”artikel”]
Ketika seseorang telah memenuhi syarat di atas maka dia wajib membayar zakat untuk dirinya dan orang-orang yang wajib dia nafkahi seperti istri, anak-anaknya yang masih kecil, atau anaknya yang sudah dewasa tetapi tidak berakal (gila), karena mereka berhak atas harta yang dimilikinya.
Zakat fitrah pertama kali disyariatkan pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriyyah, tepat pada tahun diwajibkannya puasa Ramadhan. Diantara hikmah pensyariatan zakat fitrah adalah berlemah lembut dan berbagi kebahagiaan dengan orang miskin pada hari raya idul fitri. Selain itu, tentu saja untuk mensucikan diri kita dan menambal kekurangan puasa kita. Waqi’ ibn Jarrah berkata, “Zakat fitrah pada bulan Ramadhan seperti sujud sahwi dalam shalat, yaitu melengkapi kekurangan pahala puasa sebagaimana sujud sahwi melengkapi shalat” (5Mausu’ah al- fiqh al-islamiy 3/54).
Kadar Zakat Fitrah
Kadar zakat fitrah adalah 1 sha’ kurma, gandum, atau jenis makanan pokok masing-masing negeri. Yaitu, berupa beras untuk sebagian besar wilayah Indonesia. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengkonversikan 1 sha’ ini setara dengan 2,156 kilogram, namun ini adalah timbangan untuk qamah (gandum)—( [1] Fiqh Az-zakah 2/953). Di Indonesia biasanya dikonversikan menjadi 2,5 kilogram, barangkali pendapat ini lebih cocok karena beras lebih berat dari pada gandum ([1]1 sha’ setara dengan 4 mud. Namun mud ini adalah takaran dalam bentuk volume seperti liter bukan berat. Jika takaran tersebut dikonversikan menjadi satuan berat (kg), tentu akan berbeda-beda sesuai dengan jenis bahan makanan yang ditakar. 1 mud setara dengan 812,5g menurut hanafiyyah, atau 510g menurut jumhur, jadi jika dikonversikan 1 sha’ setara dengan 4×812,5= 3,250kg (hanafiyyah) atau 4×510= 2,040kg (jumhur).( Kitab Al-makayil wal mawazin as-syar’iyyah hal. 37)).
Jumhur ulama (malikiyyah, syafi’iyyah dan hanabilah) berpendapat bahwa zakat fitrah sejatinya dibayarkan dalam bentuk bahan makanan pokok berupa beras, gandum, jagung, dan sebagainya. Namun, hanafiyyah membolehkan membayar dalam bentuk uang senilai harga makanan pokok tersebut, bahkan itu lebih baik untuk memudahkan fakir miskin dalam membeli sesuatu yang diperlukan pada hari raya ([1]Al- Mausu’ah Al fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah, 23/344.).
Waktu Pembayaran Zakat Fitrah
Ulama berbeda pendapat mengenai waktu seseorang terhitung wajib menunaikan zakat fitrah. Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah berpendapat waktu wajib menunaikan zakat fitrah adalah ketika terbit fajar hari raya. Sedangkan menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah waktu wajib menunaikan zakat fitrah adalah setelah matahari akhir Ramadhan tenggelam.
Pendapat di atas berimplikasi ketika ada seseorang yang meninggal setelah matahari akhir Ramadhan tenggelam. Menurut syafi’iyyah orang tersebut wajib dibayarkan zakat fitrahnya sedangkan menurut Hanafiyyah tidak wajib karena orang tersebut sudah meninggal sebelum waktu diwajibkan baginya zakat. Adapun anak yang dilahirkan atau orang yang masuk Islam setelah matahari akhir Ramadhan tenggelam, menurut Hanafiyyah mereka wajib membayar zakat fitrah karena ketika waktu diwajibkan mereka sudah memenuhi kriteria. Sedangkan menurut syafi’iyyah mereka tidak wajib membayar zakat fitrah karena ketika diwajibkan mereka belum memenuhi syarat.
[darsitek number=3 tag=”hikmah”]
Adapun waktu pembayarannya, zakat fitrah juga boleh ditunaikan sebelum waktu diwajibkan, semenjak awal bulan Ramadhan sebagaimana pendapat Hanafiyyah. Ulama sepakat bahwa zakat ini wajib dibayarkan sebelum sholat ‘ied, jika tidak maka dianggap sedekah sunah biasa ([1]Menurut Syafi’iyyah makruh membayar zakat fitrah setela sholat ‘ied, dan diharamkan menunaikannya setelah hari raya jika tidak ada udzur. Jika menunda pembayarannya setelah hari raya maka berdosa dan wajib diqadha’ (diganti)).
عن ابن عباس رضي الله عنه قال فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمه المساكين, من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan haram, serta makanan bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum sholat ‘ied maka itu adalah zakat yang diterima. Dan siapa yang mengeluarkannya setelah sholat ‘ied maka itu adalah sedekah biasa.” (6HR. Abu Dawud)
Asnaf dan Tempat Pembayaran Zakat Fitrah
Ulama berbeda pendapat tentang ashnaf zakat fitrah:
- Pendapat masyhur mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa zakat fitrah wajib dibayarkan kepada 8 asnaf yang ada, sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat At-taubah: 60.
- Jumhur ulama menyebutkan boleh membayar zakat fitrah kepada 8 asnaf, karena zakat fitrah masuk dalam umum firman Allah Swt tersebut.
- Sedangkan mazhab malikiyyah berpendapat bahwa zakat fitrah khusus untuk fakir miskin saja. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimiyyah ([1] Fiqh Az-zakah 2/969 . Al- Mausu’ah Al fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah, 23/344).
Dari 3 pendapat di atas dapat digabungkan bahwa zakat fitrah lebih diutamakan untuk fakir miskin, karena tujuan utama dari zakat fitrah adalah untuk mencukupkan dan berbagi kebahagiaan dengan fakir miskin di hari raya. Hal ini tidak berarti dilarang memberikannya pada ashnaf yang lain ketika ada kebutuhan atau maslahat.
[darsitek number=3 tag=”konsultasi”]
Menurut Syafi’i dan Hambali, tempat yang paling utama untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah di tempat muzakki (yang mengeluarkan zakat) tinggal dan berpuasa. Namun jika muzakki tersebut melaksanakan puasa Ramadan di tempat lain di luar tempat tinggal aslinya karena melakukan perjalanan atau semisalnya, maka zakatnya dibayarkan di tempat dia berpuasa. Karena zakat fitrah berkaitan dengan badan.
Sebagian ulama membolehkan untuk mengirim zakat tersebut ke tempat lain jika di tempat muzakki tinggal tidak ada orang fakir dan miskin atau ada hajat lain. Wallahu a’lam. [Sumber: Fikih Zakat Kontemporer] [DDHKNews]