DDHK.ORG — Praktek shalat yang dilakukan dari zaman nenek moyang kita sampai saat ini umumnya banyak yang menggunakan standar shalat yang dijelaskan oleh madzhab Syafi’iy. Hal ini terjadi sebab mayoritas penduduk Indonesia umumnya bermadzhab Syafi’iy. Para ulama yang menyebarkan Islam di Nusantara tentu saja juga ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’iy. Sehingga dengan sendirinya praktek shalat pun berpatokan pada fiqih madzhab Syafi’iy.
Melalui tulisan berseri ini DDHK News memaparkan sifat shalat Nabi Muhammad ﷺ berdasarkan madzhab Syafi’iy, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Ajib, Lc., MA. dalam bukunya “Dalil Shahih Sifat Shalat Nabi Ala Madzhab Syafi’iy”.
***
Pada bagian bab terakhir ini penulis akan menyebutkan beberapa hal yang termasuk dalam sunnah hai’at. Sunnah haiat adalah sunnah yang apabila tertinggal karena lupa atau sengaja ditinggalkan maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu sujud sahwi.
Melafadzkan niat
Ketika seseorang hendak sholat dibolehkan untuk melafadzkan niat sholat sebelum mengucapkan takbiratul ihram. Adapun dalam madzhab Syafi’iy masalah melafadzkan niat ini hukumnya hanya sunnah saja dan bukan wajib.
Artinya, jika tidak melafadzkan niat juga tidak apa apa. Sebab yang paling terpenting dan wajib dilakukan justru adalah niat dalam hati ketika takbiratul ihram.
Melafadzkan niat biasanya dengan menggunakan redaksi seperti “Usholli Fardhosh-Shubhi Rak’ataini Mustaqbilal Qiblati Ada’an Makmuman Lillahi Ta’ala” (contoh untuk lafadz niat sholat Subuh sebagai makmum).
Dalam masalah melafadzkan niat, madzhab Syafi’iy menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Dari sahabat Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu tergantung dengan niat. Dan setiap orang mendpatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa hijrahnya karena Allah dan rasulnya maka hijrahnya benar-benar kepada Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa hijrahnya karena dunia atau wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya hanya pada itu saja. (Hadits riwayat Bukhrari & Muslim)
Wajhul istidlalnya adalah dalam hadits ini Nabi ﷺ tidak menyebutkan apakah niat harus dilafadzkan atau disirrkan dalam hati. Artinya, kedua duanya boleh dilakukan.
Dan juga qiyas kepada niat ibadah haji yang dilakukan oleh Nabi ﷺ. Dalam hadits yang shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Nabi ﷺ melafadzkan niat ibadah haji.
Dan juga qiyas kepada niat puasa sunnah yang dilafadzkan oleh Nabi ﷺ yang terdapat dalam kitab shahih Muslim.
[Bersambung] [DDHKNews]