ArtikelFiqih

Kamar Sempit, Tidak Bisa Menghadap Kiblat Saat Rukuk dan Sujud

DDHK.ORG — Hukum menghadap kiblat diwajibkan saat melaksanakan shalat fardhu karena merupakan syarat sah shalat berdasarkan ayat 144 surat Al-Baqarah. Akan tetapi pemaknaan kiblat sendiri berbeda seiring dengan posisi orang yang shalat apakah dia melihat ka‘bah, atau tidak melihat ka‘bah namun melihat masjid, atau tidak melihat masjid sama sekali karena posisi yang jauh dari ka‘bah.

Ulasan:

Diriwayatkan dari Imam Malik, ia berkata;

أَنَّ الْكَعْبَةَ قِبْلَةَ أَهْلَ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةَ أَهْلَ مَكَّةٍ، وَمَكَّةُ قِبْلَةَ أَهْلَ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمُ قِبْلةَ أَهْلَ الدُّنْيَا

“Bangunan ka‘bah adalah kiblat jamaah di dalam masjid, masjid adalah kiblat penduduk Makkah, Makkah adalah kiblat penduduk al-Haram (hijaz), sedangkan al-Haram adalah kiblat penduduk dunia”.  (Bâ‘alawî, Bughyah al-Mustarsyidin, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet.5, 2016), hal.53)

Ibnu Rusyd mengatakan;

أَمَّا إِذَا أَبْصَرَ الْبَيْتَ فَالْفَرْضُ عِنْدَهُمْ هُوَ التَّوَجُّهُ إِلَى عَيْنِ الْبَيْتِ وَلَا خِلَافٌ فِي ذَالِكَ. أَمَّا إِذَا غَابَتِ الْكَعْبَةَ عَنِ الْأَبْصَارِ فَاخْتَلَفُوا مِنْ ذَالِكَ فِي مَوْضِعَيْنِ: أَحَدُهُمَا هَلِ الْفَرْضُ هُوَ الْعَيْنُ أَوِ الْجِهَةُ؟ وَالثَّانِي هَلْ فَرْضُهُ الْإِصَابَةَ أَوِ الْاجْتِهَادَ: أَعْنِي إِصَابَةُ الْجِهَةِ أَوِ الْعَيْنِ عِنْدَ مَنْ أَوْجَبَ الْعَيْنَ؟ فَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّ الْفَرْضَ هُوَ الْعَيْنُ وَذَهَبَ آخَرُوْنَ إِلَى أَنَّهُ الْجِهَةَ.

Adapun apabila seseorang dapat melihat ka‘bah maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa wajib baginya menghadap ke bangunannya. Sedangkan apabila dia tidak dapat melihat ka‘bah maka ulama berbeda pendapat dalam dua hal berikut; (1) Apakah yang diwajibkan menghadap ke bangunan ka‘bah ataukah ke arah ka‘bah? (2) Apakah harus tepat mengenai arah atau bangunan ka‘bah ataukah cukup ada upaya mengarahkan? Sekelompok ulama mewajibkan harus menghadap persis ke bangunan, sedangkan yang lain cukup menghadap ke arahnya”. [Ibnu  Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Kairo : Dar al-Hadis, cet.1, 2004), vol.1, hal.118.]

Yang dimaksud dengan bangunan adalah ka‘bah; batu hitam berbentuk kubus yang ditunjuk oleh Nabi sebagai kiblat saat beliau berada di dalam masjid haram sebagaimana riwayat Ibnu ‘Abbas;

لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي نَوَاحِيْهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ، وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ

Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam ka‘bah, beliau berdoa menghadap ke semua arah dan beliau tidak shalat hingga akhirnya keluar. Di luar ka‘bah beliau mendirikan shalat dua rakaat menghadap ka‘bah. Lalu beliau berkata; Inilah kiblat”. [HR. Al-Bukhari, no.383­.]

Riwayat ini menjelaskan bila seseorang berada di dalam masjid haram dan melihat ka‘bah maka kiblatnya adalah bangunan ka‘bah karena posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengisyaratkan itu berada di dalam masjid haram dan melihat ka‘bah. Sedangkan orang yang tidak dapat melihat ka‘bah, maka banyak ulama yang mengatakan cukup menghadap ke arah kiblat, artinya jika orang yang jauh tidak tepat menghadap ke bangunan ka‘bah maka shalatnya tetap sah.

Ibnu Rusyd melanjutkan;

وَاتِّفَاقُ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى الصَّفِ الطَّوِيْلِ خَارِجَ الْكَعْبَةِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْفَرْضَ لَيْسَ هُوَ الْعَيْنُ أَعْنِي إِذَا لَمْ تَكُنِ الْكَعْبَةَ مُبْصِرَةً. وَالَّذِي أَقْوَلُهُ إِنَّهُ لَوْ كَانَ وَاجِبًا قَصْدَ الْعَيْنِ لَكَانَ حَرَجًا وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} فَإِنَّ إِصَابَةَ الْعَيْنِ شَيْءٌ لَا يُدْرَكُ إِلَّا بِتَقْرِيْبِ وَتَسَامُحِ بِطَرِيْقِ الهَنْدَسَةِ وَاسْتِعْمَالِ الأَرْصَادِ فِي ذَلِكَ فَكَيْفَ بِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ طُرُقِ الْإِجْتِهَادِ وَنَحْنُ لَمْ نُكَلِّفِ الْإِجْتِهَادِ فِيْهِ بِطَرِيْقِ الْهَنْدَسَةِ الْمَبْنِيِّ عَلَى الْأَرْصَادِ الْمُسْتَنْبِطِ مِنْهَا طُوْلَ الْبِلَادِ وَعَرْضَهَا.

Shaf lurus umat muslim yang memanjang di luar ka‘bah menunjukkan bahwa yang diwajibkan bukanlah menghadap ke bangunan ka‘bah, yaitu bila ka‘bah tidak terlihat. Karena saya memandang jika mereka harus menghadap bangunan ka‘bah tentunya akan menyulitkan, padahal Allah ta‘âlâ berfirman; “Kami tidak menjadikan kesukaran bagimu di dalam agama”. Lebih-lebih lagi bahwa menghadap pas ke bangunan ka‘bah sulit tergambarkan kecuali dalam posisi dekat atau menggunakan sain dan ilmu meteorologi. Lalu bagaimana halnya hanya dengan berijtihad murni, padahal kita pun tidak dibebani berijtihad menggunakan teknologi yang dapat digunakan untuk mengetahui panjang dan lebar suatu daerah”. [Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, vol.1, hal.119.]

Terkait dengan pertanyaan di atas, jika seseorang dalam keadaan darurat sebagaimana yang digambarkan berada pada ruangan sempit, baik sama sisi maupun persegi panjang, maka perlu dilihat jika ruangan berbentuk persegi panjang, sedangkan yang mengarah ke kiblat adalah sisi lebarnya yang tidak muat untuk rukuk maupun sujud, maka seseorang dapat sedikit memiringkan ke kanan atau ke kiri agar lebih memberi ruang baginya untuk rukuk dan sujud, karena sedikit memiringkan tidak menjadikan seseorang keluar dari arah kiblat. Hal itu berdasarkan makna Syathr pada ayat;

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ

Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”. [Surat Al-Baqarah, ayat 144]

Imam al-Bahuti mengatakan;

وَفُرِضَ مَنْ بَعَدَ عَنِ الْكَعْبَةِ اسْتِقْبَالُ جِهَتَهَا فَلَا يَضُرُّ التَّيَامُنِ وَلَا التَّيَاسِرِ الْيَسِيْرَانِ عُرْفًا

Orang yang jauh dari ka‘bah diwajibkan menghadap ke arah ka‘bah, sehingga tidak mengapa jika sedikit miring ke kanan atau ke kiri secara lumrah”. [Al-Bahuti, al-Rawdh al-Murabba‘, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t), hal.64.]

Yang dimaksud dengan arah adalah arah mata angin dimana kiblat berada. Bagi penduduk belahan timur makkah, maka kiblatnya adalah ke arah barat. Dan bagi penduduk belahan utara makkah, maka kiblatnya adalah ke selatan, dst. Sebagaimana ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Madinah dan menghadap ke arah Makkah di sebelah selatan, beliau bersabda;

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

Arah yang terbentang antara timur dan barat adalah kiblat”.

Di dalam riwayat itu juga Ibnu Umar berkata saat berada di Madinah;

إِذَا جَعَلَتِ الْمَغْرِبُ عَنْ يَمِيْنِكَ وَالْمَشْرِقُ عَنْ يَسَارِكَ فَمَا بَيْنَهُمَا قِبْلَةٌ إِذَا اسْتَقْبَلَتِ الْقِبْلَةُ

Bila kamu menghadap kiblat, arah barat di sebelah kananmu, arah timur di sebelah kirimu, maka yang terbentang antara keduanya adalah kiblat”. [HR. Al-Tirmidzi, no.344.]

Dalam riwayat lain, Usman Ibn ‘Affan juga berkata saat beliau berada di Madinah;

كَيْفَ يُخْطِئُ الرَّجُلُ الصَّلَاةَ وَمَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ مَا لَمْ يَتَحَرَّ الشَّرْقَ عَمَدًا

Bagaimana mungkin seseorang salah dalam arah shalatnya padahal arah antara timur dan barat itu adalah kiblat, selama dia tidak sengaja menghadap ke timur (arah kiri ketika posisi di Madinah)”. [Ibnu Abdil Barr, Al-Tamhid, (Kairo : Muassasah Quthubah, t.t), vol.17, hal.59.]

Semua riwayat ini menjelaskan bahwa sedikit miring ke arah kanan maupun ke arah kiri selama tidak total menghadap ke kanan dan ke kiri tidak membatalkan shalat, dan shalatnya tetap sah. Oleh karena itu jika seseorang berada di dalam ruangan persegi panjang yang sisi lebarnya mengarah ke arah kiblat, maka dia bisa sedikit mengarahkan sedikit ke kanan maupun ke kiri sehingga mendapatkan ruang untuk rukuk dan sujud, karena arah tersebut tetap disebut dengan kiblat.

Kesimpulannya, ada dua opsi dari permasalahan di atas:
  1. Tetap menghadap kiblatnya ketika takbiratul ihram dan posisi berdiri, dan miring sedikit ketika ruku’ dan sujud.
  2. Diqiyaskan dengan orang sakit atau safar, jadi diperbolehkan dengan duduk akan tetapi menghadap kiblat.

Wallahu a’lam.

Sumber: Fiqih Minoritas [DDHK News]

Baca juga:

×