ArtikelHikmah

Tidak Perlu Nunggu Kaya untuk Berzakat

SUATU hari, Imam Syafi’i datang ke suatu kampung. Di sana ada sahabatnya. Bukan seorang Mufti, bukan seorang Qadhi (hakim), tapi penggembala kambing. Penampilannya sederhana, khas penggembala di kampung terpencil. Ialah Syaiban ar-Ra’i, sahabat spiritual Imam Syafi’I, layaknya Uwais al-Qarni di mata Umar bin al-Khattab.

Saat sang imam bertanya kepadanya, murid sang Imam bahkan sempat tersinggung. Seolah, gurunya tidak sepantasnya bertanya pada orang kampung itu. Tidak level.  “Mitsluka tas’alu hadza al-Badawi? (Wahai Imam, apakah orang seperti mu masih harus bertanya pada orang Badui ini?)

Melihat kambing ar-Ra’i yang tidak lebih dari 10 ekor, ia bertanya, “Apakah kambingmu ini wajib dizakati? “Menurut madzhabmu atau mazhabku?”, tanya Syaiban kembali. “Ala mazhabika…”, jawab sang Imam. “Menurutku, kambing ini sudah wajib dizakati. Meskipun, dalam Fiqihmu belum masuk wajib zakat. Karena aku tidak bisa menjamin harta yang kumiliki ini, pasti bebas Syubhat”, tambah Syaiban.

Syaiban berpendapat, meskipun belum mencapai 1 nishob (1/40 kambing), seseorang tetap wajib menyisihkan sebagian hartanya. Di setiap karunia, di situ pula ada hak-hak orang lain. Harta wajib zakat tidak harus sampai Nishob di awal dan akhir tahun zakat (bulughu an-Nishob tharfai al-Haul). Adalah kesalahan besar, jika seseorang menganggap bahwa yang ia miliki adalah sepenuhnya miliknya.

Dialog penuh nutrisi antara sang Imam, Ulama Fiqih (formal) dan seorang Sufi yang menguasai Fiqih (syari’at). Hubungan mutualistik yang apik antara kecerdasan dan kesucian jiwa.

Dalam kapasitas seorang Hakim, Imam Syafi’i tidak mewajibkan zakat kecuali sudah mencapai nishob, haul, dan syarat-syarat wajib zakat lainnya. Wajar. Karena seandainya apa yang dikatakan ar-Rai itu dijadikan keputusan yang mengikat (putusan hakim) maka cenderung memberatkan masyarakat. Lantas, siapa yang jadi mustahiq (golongan yang berhak menerima zakat), jika semuanya Muzakki?

Idealnya, untuk menggapai yang lebih utama, kita perlu mengkolaborasikan pendapat as-Syafi’i dengan ar-Ra’i. Kita harus melampaui hukum syari’at kebanyakan orang. Pengecualian selalu untuk yang tidak awam (khawash). Syariat dan hakikat jika digabungkan, akan semakin mempermudah kita untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Salah satunya, mulai dengan menunaikan zakat yang belum 1 nishob. Wallahu a’lam.[]

__

Sukron Makmun, Dai Ambassador Dompet Dhuafa 2019

Baca juga:

×