ArtikelHikmah

Mempertegas Pentingnya Ukhuwwah Islamiyyah

Oleh: Dai Cordofa DDHK, Ustadz Rochmad, M.A

DI tengah kondisi zaman seperti ini, kesolidan umat Islam semakin diuji. Bagaimana tidak, hampir seluruh negara atau daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam selalu dilanda pertikaian, peperangan, maupun penindasan. Iraq, Palestina, Yaman, Suriah, dan Libya menjadi kawasan penuh bahaya. Di sisi lain, bangsa-bangsa yang berada di bawah koalisi Israel semakin solid dan kuat. Bukankah seharusnya umat Islam yang lebih berhak atas pencapaian tersebut? Bukankah konsep Islam tentang persatuan dan kesatuan ataupun ukhuwwah Islamiyyah sangat lengkap?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan di atas, karena memang begitu banyak faktor yang meliputi suatu masalah sosial. Bukan hanya nan jauh di sana di Timur Tengah. Melihat kenyataan umat Islam di sekitar kita, atau yang baru saja terjadi di Rohingya, menjadi ujian serius bagi umat Islam. Sudahkah kita jemu untuk membantu? Sudahkah kita lupa arti ukhuwwah Islamiyyah kita? Atau bahkan, berputus asakah kita melihat fenomena yang ada?

Untuk itu perlu kiranya kembali merenungi dan saling memotivasi akan pentingnya peran ukhuwwah Islamiyyah dalam menjalani jalan terjal kehidupan modern saat ini.

Pengertian Ukhuwwah Islamiyyah

Ukhuwwah pada mulanya berarti “persamaan dalam banyak hal”. Dalam kamus-kamus bahasa, ditemukan bahwa kata akh juga digunakan dalam arti teman akrab atau sahabat. Dalam Al-Qur’an, kata akh dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali. Bentuk jamak dari kata akh dalam Al-Qur’an ada dua macam. Pertama, ikhwan yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali. Kedua, adalah ikhwah yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali. Keseluruhannya digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan (kecuali satu ayat: Innamal mu’minuna ikhwah (Al-Hujurat: 10).

Menarik untuk dianalisa mengapa Al-Qur’an, ketika berbicara tentang ukhuwwah imaniyyah/Islamiyyah itu menggunakan kata ikhwah yang selalu digunakannya untuk arti persaudaraan seketurunan. Atau dengan kata lain, mengapa Al-Qur’an tidak menggunakan kata ikhwan padahal kata ini digunakannya untuk makna persaudaraan tidak seketurunan.

Menurut M. Quraish Shihab, hal tersebut mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antarsesama Muslim. Seakan-akan hubungan tersebut dijalin bukan saja oleh keimanan, tetapi ia seakan dijalin pula oleh persaudaraan seketurunan. Sehingga tidak ada satu alasan pun untuk meretakkan hubungan antar mereka.

Kemudian, apa kedudukan kata Islamiyyah? Apakah ia merupakan pelaku ukhuwwah itu, sebagaimana sering dipahami selama ini, sehingga istilah tersebut seakan berarti “persaudaraan antar sesama Muslim”, ataukah kata Islamiyyah itu berfungsi sebagai ajektif sehingga ukhuwwah Islamiyyah berarti “persaudaraan secara Islam”?. M. Quraish Shihab cenderung memahaminya dalam arti terakhir ini, walaupun tentunya harus diakui bahwa persaudaraan antarsesama Muslim, yang kemudian diistilahkan dalam bahasa pembangunan kita dengan “kerukunan intern umat Islam”, merupakan salah satu pokok ajaran Islam, yang juga termasuk dalam bagian ukhuwwah Islamiyyah itu.


Terlepas dari perbedaan ulama tentang penggunaan istilah yang tepat, istilah “ukhuwwah Islamiyyah” masih populer di kalangan ulama yang lainnya untuk mewakili maksud “persaudaraan antar sesama Muslim.”

Pentingnya Ukhuwwah Islamiyyah Menurut Ulama

Masih ingatkah dengan kisah putra Nuh a.s yang membangkang?. Kisah tersebut di antaranya terdapat dalam Surat Hud ayat 46:

قَالَ يَٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيۡسَ مِنۡ أَهۡلِكَۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَيۡرُ صَٰلِحٖۖ فَلَا تَسۡ‍َٔلۡنِ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۖ إِنِّيٓ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ ٤٦
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”

Menurut Sayyid Qutub dalam kitab “fi Dlilalil Qur’an”, ayat ini merupakan bukti bahwa hubungan keimanan lebih kuat daripada hubungan atau ikatan darah (keturunan). Hal tersebut ditegaskan dalam redaksi إِنَّهُۥ لَيۡسَ مِنۡ أَهۡلِكَۖ (sesungguhnya dia (putra Nuh) bukanlah termasuk keluarga Nuh a.s), karena putranya memutuskan diri dari kebenaran keimanan yang disampaikan ayahnya.

Ukhuwwah Islamiyyah menurut Isma’il Ali Muhammad dalam bukunya “Al-Ukhuwwah al-Islamiyyah Faridhoh Syar’iyyah wa Dhoruroh ‘Asyriyyah” merupakan sebuah ikatan syar’i Robbani yang menyatukan seluruh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Ukhuwwah ini adalah salah satu inti dalam syariat Islam, yang di mana ketika seseorang mengikrarkan diri sebagai Muslim dengan mengucapkan kalimat syahadat maka secara otomatis dia telah terikat secara syariat dan menyatakan diri sebagai saudara dari seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia, dia pun memiliki hak dan kewajiban sebagai seorang muslim. Hal ini sesuai dengan penafsiran Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya “Al-Jami’ Liahkamil Qur’an” ketika menafsirkan surat Ali Imron ayat 103:

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءٗ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا ١٠٣
Bahwa makna فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦٓ إِخۡوَٰنٗا adalah: “lalu menjadilah kamu karena nikmat Islam, orang-orang yang bersaudara.”
Imam Fakhruddin Al-Rozi dalam magnum opusnya “Mafatihul Ghoib” ketika menafsirkan surat Al-Hujurat ayat 10, “bahwa Islam bagaikan seorang Ayah, dan persaudaran (ikhwah) sangat utama bagi sesama Muslim, maka jika ada seorang Muslim yang meninggal lalu meninggalkan warisan maka hartanya adalah hanya untuk saudara yang Muslim, dan warisan tersebut tidak berlaku bagi saudaranya yang kafir.”

Bahkan, ikatan persaudaraan yang terbatas hanya kepada ikatan nasabiyyah (keturunan), tanah kelahiran, bahasa dan jenis kulit merupakan pemahaman yang mundur ke belakang, sebagaimana apa yang dipahami oleh masyarakat jahiliyah ketika itu. Kedatangan Islam adalah untuk menghapuskan semua sekat-sekat tersebut, walaupun memang tidak dipungkiri ada banyak macam ikatan atau ukhuwwah dalam kehidupan umat manusia.

Pondasi ukhuwwah ini adalah Islam dan dan intinya adalah iman, dan inilah hakikatnya, yaitu ikatan dalam keimanan yang sama. Langkah pertama Rasulullah SAW, setelah hijrah ke Madinah adalah mendamaikan umat yang berseteru, yaitu dengan cara membuat peraturan atau perundang-undangan tentang ukhuwwah.

Hal tersebut dapat ditemukan dalam pernyataan beliau:
“بسم الله الرحمن الرحيم, هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه وسلم, بين المؤمنين والمسلمين من قريش ويثرب, ومن تبعهم فلحق بهم, وجاهد معهم, إنهم أمة واحدة من دون الناس”
“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah surat dari Muhammad SAW, bahwa kaum Mukminin dan Muslimin dari kalangan Quraish dan Yatsrib, dan dari siapa pun yang mengikuti dan berjihad bersama mereka, mereka adalah umat yang satu selain umat yang lainnya”.

Perubahan yang besar, menegakkan Kalam Allah SWT membutuhkan persatuan dan ikatan yang solid antara satu dengan lainnya. Ketika Hujjatul Wada’ pun Rasulullah SAW menegaskan pentingnya ukhuwwah Islamiyyah.
Menurut M. Quraish Shihab semua ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang berbicara mengenai petunjuk-petunjuk dalam bidang ekonomi, bertujuan untuk memantapkan ukhuwwah tersebut. Dimulai dari larangan melakukan transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS 2: 278), anjuran menulis hutang (QS 2: 282), larangan mengurangi dan melebihkan timbangan (QS 83: 1-3) dan sebagainya.

Menguatkan Kembali Ukhuwwah Islamiyyah

Zaman ini begitu banyak cobaan yang akan menguji keimanan dan keIslaman. Pola hidup yang individualis, sekat-sekat fanatisme kebangsaan, keturunan/ras dan hedonisme menjadi hiasan utama kehidupan yang mendapat julukan “kehidupan modern” ini. Mirisnya, perpecahan justru banyak berasal dari kalangan umat Islam sendiri. Fanatisme madzhab, aliran maupun partai membuat makna ukhuwwah Islamiyyah tereduksi.

Sudahkah umat Islam merasa, bahwa saat ini merupakan puncak daripada kelengahan mereka dalam memperhatikan ukhuwwah Islamiyyah? Ataukah perlu menunggu bencana lainnya terjadi yang akan menyadarkan umat Islam akan pentingnya ukhuwwah Islamiyyah? Sudahkah umat Islam rela meninggalkan kepentingan individu kelompoknya masing-masing untuk menegakkan kembali ukhuwwah Islamiyyah yang sesungguhnya?

Semoga umat Islam Indonesia khususnya termasuk golongan yang konsisten dalam menguatkan nilai-nilai ukhuwwah Islamiyyah. Barang siapa yang telah melaksanakannya maka dia telah melaksanakan apa yang disampaikan oleh Allah SWT:
وَٱلَّذِينَ يَصِلُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيَخۡشَوۡنَ رَبَّهُمۡ وَيَخَافُونَ سُوٓءَ ٱلۡحِسَابِ ٢١
dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk (Ar-Ra’d: 21)
dan barang siapa yang meninggalkannya maka termasuk orang yang merugi:
وَٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱللَّعۡنَةُ وَلَهُمۡ سُوٓءُ ٱلدَّارِ ٢٥

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam) (Ar-Ra’d: 25)

Kewajiban antar sesama Muslim untuk saling menolong dan melindungi guna menuju puncak kejayaan tidak akan dapat terwujud tanpa didahului oleh kekuatan ukhuwwah. Segala sesuatu yang dapat menyempurnakan sebuah kewajiban adalah hal yang wajib pula (ما لا يتم الوجب إلا به فهو واجب).

Wallahu khoirul musta’an.

Baca juga:

×