ArtikelHikmah

Mengapa Kita Harus Menjauhi Yang Diharamkan Oleh Allah SWT

Oleh: Ustadz Rochmad, M.A. (Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)

ALLAH Swt. memberikan amanah besar kepada manusia untuk menjadi Khalifah (pemimpin/pengelola) di muka bumi. Amanah tersebut sungguh amat berat, maka Allah Swt. Yang Maha Tahu atas ciptaan-Nya memberikan rambu-rambu kehidupan. Salah satunya, rambu-rambu tentang halal dan haram, yang pada sejatinya memang untuk kebaikan manusia itu sendiri.

Sungguh aneh memang, jika manusia justru mengabaikan apa yang semestinya harus dijauhi karena membahayakan dirinya sendiri. Kesadaran untuk mengkonsumsi produk yang halal cukup gamblang digambarkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw., dan tidak jarang disertai dengan ancaman yang keras, sebagaimana tercatat dalam sejarah awal penciptaan manusia, bahkan jauh sebelum manusia diturunkan ke muka bumi.
Belajar dari Kisah Adam dan Hawa

Ketika itu Adam dan Hawa hidup penuh kenikmatan di surga. Di surga semuanya tersedia dan dapat dinikmati, hanya satu hal yang diharamkan yaitu memakan buah Khuldi. Adam dan Hawa pun melanggar lalu terbukalah aurat mereka dan diusir dari surga.

Sejarah besar kemanusiaan itu mengingatkan, bahwa pelajaran pertama bagi manusia adalah pelajaran tentang halal dan haram. Bahkan, sebelum diturunkan ke muka bumi. Maka permasalahan halal dan haram adalah masalah yang sangat serius menurut agama Islam. Bahkan menurut Al-Sya’rowi, alampun bertumpu kepada hukum halal dan haram, termasuk di dalamnya timbangan kehidupan umat manusia. Al-Sya’rowi juga melanjutkan bahwa menjaga diri dari perbuatan haram berarti menjaga aurat di hadapan orang lain, entah aurat jiwa, fisik, maupun perilaku. Melakukan hal yang diharamkan berarti telah membuka auratnya sendiri di hadapan orang lain, sebagaimana kisah Adam dan Hawa yang terbuka auratnya setelah melanggar perintah Tuhan.

Dan kita harus tahu bahwa dari sekian kenikmatan yang dapat dinikmati Adam dan Hawa, hanya satu yang diharamkan, yaitu buah Khuldi. Artinya, jauh lebih banyak yang dihalalkan daripada yang diharamkan. Saking banyaknya hal yang dihalalkan, Allah swt hanya akan memberitahukan mana yang diharamkan. Maka kita tidak akan pernah mendapati redaksi dalam Al-Qur’an yang berbunyi: “atlu ma ahalla Robbukum” (marilah kubacakan apa yang dihalalkan oleh Tuhan kalian) akan tetapi yang tertera di dalam Al-Qur’an adalah: “atlu ma harroma Robbukum” (marilah kubacakan apa yang diharamkan oleh Tuhan kalian),

Hikmah Menjauhi Produk Yang Haram

Perhatian Al-Qur’an terhadap kehalalan makanan sedemikian besar, sampai-sampai menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa’i, “Telah menjadi kebiasaan Allah dalam Al-Qur’an bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang ciptaan-Nya, kemudian memerintahkan untuk makan (atau menyebut makanan)”. Ini sebuah isyarat, bahwa ada hikmah yang besar yang patut direnungkan.

Imam Ghozali memberikan ilustrasi menyangkut ‘illat (katakanlah “sebab”atau “hikmah”) dari larangan-larangan Ilahi. “Seorang ayah memiliki anak yang tinggal bersama di satu rumah. Sebelum kematian menjemputnya, sang ayah mewasiatkan kepada anaknya: ‘jika engkau ingin memugar rumah ini silakan, tetapi tumbuhan yang terdapat di serambi rumah jangan ditebang.’ Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal, dan anak pun memperoleh rezeki yang memadai. Rumah dipugarnya dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir, ‘Apakah gerangan sebabnya ayah melarang menebangnya?’ Pikirannya kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum.

Dan di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan tumbuhan lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia pun memutuskan menebang tumbuhan itu dan menggantikannya dengan tumbuhan yang lebih sedap. Tetapi apa yang terjadi? Tidak lama kemudian muncul seekor ular, yang hampir saja menggigitnya, dan ketika itu ia sadar bahwa rupanya aroma tumbuhan itu merupakan penangkal kehadiran ular. Ia hanya mengetahui sebagian dari ‘illat larangan ayahnya, bukan semuanya, bahkan bukan yang terpenting darinya.” Demikian kurang lebih ilustrasi Imam Ghozali.

Banyak yang berdalih bahwa teknologi bisa dan mampu mengahalalkan yang haram hanya karena merasa mampu melihat suatu ‘illat tertentu. Padahal bisa jadi sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Ghozali bahwa ada banyak hal yang tidak bisa diketahui ‘illatnya secara jelas dan banyak mengandung unsur ta’abbudi.

Karena itulah upaya para ulama dan pakar dalam melihat ‘illat atau hikmah dari sesuatu yang diharamkan terus menerus muncul bahkan dari segala aspek. Al-Harraliy (w. 1232 M) misalnya, berpendapat bahwa jenis daging dapat mempengaruhi sifat-sifat mental seseorang. Ia menyimpulkan hal itu, antara lain, dari penggunaan kata rijs yang diartikannya dengan “kejelekan budi pekerti” yang ditegaskan Al-Qur’an dalam kaitannya dengan larangan memakan makanan dan minuman tertentu (QS 5: 90, 6: 145).

Quraish Shihab dalam karyanya “Membumikan Al-Qur’an” juga mengutip pendapat seorang ulama muslim kontemporer, Syaikh Taqi Falsafi, bahwa: “pengaruh dari campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran, belum lagi diketahui secara sempurna. Pendapat kedokteran menyangkut hal ini tidak memiliki kecuali sedikit nilai, karena belum lagi diadakan percobaan-percobaan dalam waktu yang memadai terhadap manusia guna membuktikan pengaruh makanan tertentu bagi mereka. Namun, tidak dapat diragukan bahwa perasaan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.”

Tidak dapat diragukan adanya pengaruh makanan terhadap selain jasmani. Rasulullah Saw. mengaitkan antara terkabulnya doa dengan makanan halal. Memang kita boleh saja bertanya atau mencari jawaban tentang mengapa Allah Swt. mengharamkan makanan tertentu. Boleh jadi kita puas atau tidak puas dengan jawaban yang ditemukan itu, walau sangat memuaskan tidak dijadikan sebagai satu-satunya jawaban.

Menjauhi yang Diharamkan Merupakan Jati Diri Seorang Muslim

Firman Allah Swt.:
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS Al-Baqarah: 29)

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. (QS Al-Jatsiyah: 13)

Dalil-dali di atas menunjukkan bahwa begitu melimpahnya karunia dari Tuhan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia, Al-Qur’an bahkan mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah Swt. untuk manusia:

قُلۡ أَرَءَيۡتُم مَّآ أَنزَلَ ٱللَّهُ لَكُم مِّن رِّزۡقٖ فَجَعَلۡتُم مِّنۡهُ حَرَامٗا وَحَلَٰلٗا قُلۡ ءَآللَّهُ أَذِنَ لَكُمۡۖ أَمۡ عَلَى ٱللَّهِ تَفۡتَرُونَ
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah? (QS Yunus: 59)

Faktanya, manusia tidak puas terhadap apa yang dihalalkan baginya, sehingga menghalalkan yang haram. Sifat seperti ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an, merupakan sifat orang kafir. Mereka menentukan mana yang halal dan mana yang haram sesuai selera mereka. Dan harus kita tahu bahwa Allah Swt. dengan jelas menyebutkan mana yang halal dan mana yang haram, supaya kelak di hari kiamat tidak ada yang akan membantah-Nya.

Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah, baik melalui Al-Qur’an maupun Rasul. Sedangkan pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa dan raganya. Atas dasar ini turun perintah-Nya antara lain dalam surat Al-Baqarah: 168,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu

Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa selain halal makanan itu juga harus thayyib. Kata halal berasal dari akar kata yang berarti “lepas”atau “tidak terikat”. Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.

Kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menentramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluwarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Kita dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman.

Al-Qur’an dalam banyak ayatnya menunjukkan, bahwa perintah untuk melakukan amal saleh didahului oleh perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib (misalnya QS 25: 20, 23; 51, 67: 15, 1: 60, 6: 142). Karena aktivitas yang baik didukung oleh asupan makanan yang baik pula.

Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang ditujukan kepada seluruh manusia, kepada Rasul maupun kepada orang-orang mukmin, selalu dirangkaian dengan kata halal atau dan thayyibah (baik). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua sifat tersebut.

Sudah menjadi kewajiban kita sebagai seorang muslim, untuk menjauhi sifat yang demikian buruk, yaitu mudah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah Swt. agar jati diri kemusliman kita tetap terjaga.#

Baca juga:

×