Info DD

Pemerintah Indonesia Sayangkan Mantan Majikan Erwiana Tak Ditahan

DDHK News, Indonesia — Pemerintah Indonesia menyayangkan keputusan yang diambil oleh Pengadilan distrik Kwun Tong, Hong Kong, lantaran tidak menahan Law Wan Tung, mantan majikan Erwiana Sulistyaningsih. Law masih bisa menghirup udara bebas setelah membayar uang jaminan sebesar HK$1 juta atau setara Rp1 miliar.

Hal itu diungkap Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Bantuan Hukum Indonesia (BHI), Tatang Budi Utama Razak, yang dihubungi VIVAnews melalui sambungan telepon, Kamis (23/1). Kendati demikian, menurut Tatang, Pemerintah RI tetap menghormati sistem hukum yang berlaku di negara-negara persemakmuran, termasuk Hong Kong.

Hong Kong dikuasai oleh Inggris dan akhirnya dikembalikan ke China pada tahun 1997. Namun, sistem hukumnya masih mengadopsi hukum Inggris.

“Sistem di negara-negara persemakmuran termasuk Hong Kong, memungkinkan adanya uang jaminan. Namun kami percaya bahwa sistem hukum yang berlaku di Hong Kong cukup ketat,” ujar Tatang.

Bukan berarti mantan majikan Erwiana itu tidak ditahan, imbuh Tatang, lantas dia sepenuhnya telah menghirup udara bebas. Law masih dikenai wajib lapor setiap harinya hingga saat persidangan lanjutan digelar tanggal 24 Maret 2014. Proses hukum pun, lanjut Tatang, masih terus berlanjut.

Saat ditanya soal pembedaan kasus yang menimpa mantan majikan TKI bernama Kartika Puspitasari, yang sejak awal ditahan di tahun 2013, Tatang menyebut pengadilan memiliki pertimbangan khusus. Namun, dia tidak mengetahui alasan di balik kesempatan pemberian uang jaminan bagi Law.

“Sistem pengadilan di sana tidak akan main-main. Walau dia tidak ditahan tapi yang bersangkutan kan tidak boleh meninggalkan Hong Kong dan berada dalam pengawasan. Apalagi kasus ini sudah disorot oleh publik,” kata dia.

Kementerian Luar Negeri RI pun, ungkap Tatang, akan terus mengawal proses hukum yang berjalan di sana.

Saat ditanya soal seringnya majikan yang menganiaya TKI, Tatang menjelaskan tidak bisa memukul rata setiap majikan. Menurut dia, itu tergantung kepada karakter individu masing-masing.

“Tidak semua orang mampu dan tega melakukan tindak kekerasan demikian. Namun, apabila hal itu sampai terjadi, berarti manusia tersebut memang memiliki niat dan sifat jahat,” ujarnya berpendapat.

Dari data yang dimiliki oleh Kemenlu tindak kekerasan paling banyak menimpa TKI yang bekerja di Arab Saudi dan Malaysia. Namun, Tatang menggarisbawahi, aksi kekerasan semacam itu tidak hanya dialami oleh TKI.

“Beragam perlakuan seperti aksi kekerasan, gaji tidak dibayar juga dialami oleh tenaga kerja asing dari Filipina, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal dan Ethiopia,” kata dia.

Padahal kemampuan tenaga kerja asing asal Filipina, ujar Tatang, jauh lebih mumpuni, khususnya dalam hal komunikasi. Kendati banyak kasus tindak kekerasan yang menimpa TKI di Hong Kong, Tatang tetap menyebut penegakkan hukum di kota administratif itu masih jauh lebih baik ketimbang di negara penempatan lainnya.

“Di Hong Kong tidak ada TKI yang ilegal. Artinya, untuk bisa masuk dan bekerja di Hong Kong membutuhkan visa dan disetujui oleh KJRI. Selain itu untuk bekerja di Hong Kong, harus dikirim oleh PJTKI dan tidak bisa oleh individu,” ujarnya.

Belum lagi ada persyaratan-persyaratan khusus seperti penguasaan Bahasa Mandarin dan keterampilan, menyebabkan TKI yang masuk ke Hong Kong sangat selektif.

“Kalaupun tindak kekerasan tetap terjadi, itu artinya kan terjadi di luar kondisi normal. Pada umumnya, di Hong Kong proses penegakkan hukumnya kuat. Bahkan, kami salut terhadap respons tanggap dari polisinya yang langsung terjun ke Indonesia,” kata Tatang.

Hal itu menunjukkan proses hukumnya masih berjalan. Dia pun menepis polisi Hong Kong bertindak cepat lantaran kasus ini tengah disorot publik.

“Apa pun itu, pada faktanya proses penegakkan hukum di Hong Kong memang demikian adanya. Sementara bagi Pemerintah, ada pemberitaan dan tekanan atau tidak, kami akan tetap bekerja,” ujarnya.  (VIVA.co.id).*

Baca juga:

×