ArtikelBeritaDunia IslamHikmah

Cahaya di Bukit Jati

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Pelabuhan Malaka pagi itu sudah terlihat sibuk. Puluhan kapal dari Arab, Persia, India, Cina, Sumatera, Jawa, dan Maluku berlabuh untuk melakukan transaksi perdagangan. Dengan posisinya yang strategis di persilangan jalur perdagangan laut dunia yang menghubungkan wilayah Arab, India, Cina, dan Nusantara, Malaka menjadi salah satu pusat perdagangan tersibuk di dunia abad 15.

Syeikh Datuk Ahmad memeluk kedua anaknya yang hendak menaiki kapal menuju Mekkah. Setelah mendapat didikan langsung dari sang ayah sejak kecil, kedua pemuda itu telah siap merantau untuk melanjutkan pendidikan.

“Ayah, kami mohon restu dan doa Ayah,” kata sang sulung, Idhofi Mahdi.

“Mohon doa ayah agar Allah selalu menjaga kami dalam perjalanan dan meridhoi niat kami untuk menuntut ilmu,” sambung sang adik, Bayanullah.

Syeikh Datuk Ahmad melepas pelukannya.

“Pergilah, Nak! Semoga Allah selalu menjaga kalian dan menganugerahkan keutamaan ilmu dan kemuliaan,” ujarnya tegar.

Kedua pemuda itu pun segera bergegas menaiki kapal yang telah menunggu mereka menuju pusat pendidikan Islam di Mekkah.

Sayyid Idhofi Mahdi dan Sayyid Bayanullah masih memiliki garis keturunan Rasulullah. Kakek mereka, Syeikh Datuk Isa, merupakan ulama Malaka keturunan Sayyid Abdullah Azmatkhan yang hijrah dari Hadramaut ke India bersama ayahnya, Sayyid Abdul Malik. Sayyid Abdul Malik adalah putera dari Allawi Amil al-Faqih Muhammad bin Ali yang merupakan keturunan dari Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir, keturunan Rasulullah ke-9 dari jalur Husein bin Ali bin Abi Thalib yang hijrah dari Basyrah ke Hadramaut pada tahun 929 Masehi. Ia hijrah untuk menghindari gangguan dari para khalifah Abbasiyah yang menganggap semua keturunan Ali bin Abi Thalib sebagai ancaman kekuasaan mereka.

Kakek mereka, Syeikh Datuk Isa, juga masih sepupu Sayyid Husein Jamaluddin Akbar, kakek Sunan Ampel dan leluhur para ulama Walisongo yang berdakwah di tanah Jawa. Sejak Abad ke-15 dakwah Islam di Nusantara semakin berkembang dengan kedatangan para ulama; termasuk para ulama keturunan Rasulullah.

Kapal yang ditumpangi Idhofi Mahdi dan Bayanullah bergerak meninggalkan Malaka, negeri indah di pantai barat selat Malaka Malaysia yang didirikan oleh Raja Prameswara. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu di Singapura yang memindahkan pusat kerajaannya ke Malaka karena serangan Jawa dan Siam. Setelah memeluk agama Islam, Prameswara mengubah Malaka menjadi Kesultanan Malaka.

Pantai Malaka sudah tak terlihat. Hanya garis batas biru yang terlihat di ujung horizon. Kapal itu terus menyusuri selat Malaka. Sesampainya di laut Aceh, kapal berbelok ke timur mengarungi Samudera Hindia dan kemudian menyusuri pantai barat India untuk singgah di Gujarat. Setelah berlabuh beberapa hari, kapal dagang tersebut melanjutkan perjalanan menuju teluk Oman dan singgah di Musykat, lalu menyusuri laut Arab menuju pelabuhan internasional Aden di pintu masuk laut Merah. Dari Aden, kapal berbelok ke utara memasuki laut Merah dan bersandar di pelabuhan Jeddah. Perjalanan dilanjutkan lewat jalan darat sejauh 97 kilometer menuju pusat peradaban Mekkah.

Idhofi Mahdi dan Bayanullah menimba ilmu di Mekkah selama beberapa tahun dari para ulama besar abad ke-15. Tak hanya ilmu-ilmu syariah yang berkembang pesat saat itu, tapi juga ilmu-ilmu yang menopang peradaban Islam selama 700 tahun: kedokteran, pertanian, peternakan, astronomi, geografi, filsafat, sastra, sosiologi, hukum, serta ilmu politik dan pemerintahan. Dari pusat pendidikan yang tersebar di Mekkah, Madinah, Baghdad, Mesir, dan Andalusia, ilmu pengetahuan tersebar hingga Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Idhofi Mahdi pergi ke Baghdad dan mengajar di sana. Sementara Bayanullah lebih memilih tetap di Mekkah untuk mengajar sambil berbisnis. Di Baghdad, Idhofi Mahdi menikah dengan Syarifah Halimah, putri Ali Nurul Alam dan adik Sultan Baghdad, Sultan Sulaiman. Syarifah Halimah juga sepupu Sunan Ampel karena mereka bertemu di garis kakek yang sama, Sayyid Husein Jamaludin Akbar.

Suatu hari, Sultan Sulaiman memanggil Idhofi Mahdi di istana Baghdad.

“Kau tahu, aku lahir di Kelantan, tak jauh dari tempat asalmu, Malaka?” kata Sultan Sulaiman membuka percakapan.

Sultan Sulaiman memang lahir di Kelantan, Malaysia. Kakeknya, Husein Jamaludin Akbar, berdakwah di Kelantan dan menikah dengan puteri Sultan Baki Syah bernama Puteri Syahirah. Dari pernikahan itu, lahirlah ayah Sultan Sulaiman yang bernama Ali Nurul Alam. Sultan Sulaiman menjadi penguasa Baghdad karena menikah dengan puteri mahkota Sultan Baghdad sebelumnya.

“Islam telah berkembang cukup baik di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Kerajaan Pasai, Malaka, dan Champa telah menjadi kesultanan Islam yang maju. Tapi Islam belum  banyak berkembang di Jawa, Borneo, Sulawesi, dan kepulauan Mamluk; negeri-negeri sekeping surga di muka bumi. Alangkah mulianya jika Islam menerangi bumi Nusantara,” kata Sultan Sulaiman melanjutkan.

“Untuk itulah aku ingin memberikan tugas kepadamu, saudaraku,” kata Sultan Sulaiman memperjelas maksudnya.

“Tugas apakah itu, kakanda Sultan?” tanya Idhofi Mahdi penasaran.

“Aku ingin menugaskanmu untuk berdakwah di pulau Jawa,” jawab Sultan Sulaiman.

Tahun 1420 Sayyid Idhofi Mahdi memulai perjalanan dakwahnya ke pulau Jawa. Ia berangkat bersama istri dan 12 orang pengikut yang akan membantunya di tempat baru. Karena jauhnya perjalanan, keempat anaknya yang masih kecil tetap tinggal di Baghdad bersama Sultan Sulaiman.

Bagaimana kisah perjuangan Sayyid Idhofi Mahdi berdakwah di pulau Jawa? Apa yang dilakukannya hingga anak-anak Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, menjadi muridnya? Apa hubungannya dengan Sunan Gunung Jati?

Silakan dibaca di ddhk.org dan www.fatchuri.com. [Sumber: www.fatchuri.com]

Fatchuri Rosidin adalah Direktur IMZ Consulting, konsultan dan pembicara publik di bidang motivasi, pengembangan SDM, leadership, parenting, dan pemberdayaan masyarakat.

Baca juga:

×