ArtikelBeritaDunia IslamFiqihKesehatan

Masuk Islam Namun Tidak Ingin Dikhitan

DDHK.ORG – Khitan bagi seorang mualaf, haruskah dilakukan? Suatu kemuliaan yang besar manakala seseorang ingin kembali kepada fitrahnya setelah sebelumnya menjadi kafir.

Namun apabila dia ingin masuk Islam tapi tidak ingin dikhitan, maka ia tetap harus menimbang sesuatu yang penting (al-Muhimm) dan yang lebih penting (al-Ahamm)

Seseorang yang ingin masuk Islam memerlukan tekad kuat dari dalam dirinya karena menjadi muslim yang sesungguhnya tidak cukup hanya dengan bersyahadat. Akan tetapi terkadang muncul tawaran dari mereka yang ingin masuk Islam yaitu dengan syarat seperti tidak ingin dikhitan.

Dalam hal ini umat muslim sendiri harus memahami dengan bijaksana bahwa hal itu tidak lain karena status muallaf masih ada pada dirinya yang memang belum sepenuhnya teguh untuk menjalankan apa saja yang disyariatkan di dalam Islam, sehingga kita pun dituntut untuk bersabar dan bertahap memberikan pemahaman kepadanya.

Mengingat masuk Islam adalah syarat utama seseorang baru dianggap betul-betul beramal kebaikan yang dinilai oleh Allah, maka menjadi muslim Islam adalah sesuatu yang lebih penting (al-Ahamm) dan lebih diprioritaskan.

Sedangkan berkhitan adalah sesuatu yang penting (al-Muhimm) bagi umat muslim baik dari segi pentingnya secara syariat, sekaligus tergolong penunjang sahnya ibadah shalat seseorang dalam mazhab syafi’i dan hanbali, maupun penting dari segi unsur kesehatan pada diri orang tersebut.

Namun begitu, berkhitan ini jika dibandingkan dengan masuk Islam, maka masuk Islam lebih didahulukan karena lebih penting (al-Ahamm), sedangkan berkhitan adalah suatu konsekuensi yang penting (al-Muhimm) setelah masuk Islam.

Mengenai hukum khitan sendiri, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan para ulama sebelum mereka menyimpulkan bahwa khitan diwajibkan bagi laki-laki maupun perempuan.

Dan dalam beberapa riwayat dikabarkan hukum berkhitan adalah sunnat dalam mazhab maliki. Namun makna sunnat dalam mazhab maliki sama dengan wajib dalam mazhab syafi’i dan ahmad.
Bahkan Imam Ibnu Zaid al-Qairuwani di dalam al-Risalahnya sering menggunakan istilah Sunnah Wajibah seperti contoh berikut ;

وَحِجُّ الْبَيْتَ فَرِيْضَةٌ وَالْعُمْرَةُ سُنَّةٌ وَاجِبَةٌ

“Haji ke baitullah hukumnya fardhu, sedangkan umrah hukumnya sunnah wajib”

Imam Badruddin al-‘Aini dari mazhab Hanafi menjelaskan kesalahpahaman sebagian syafi‘iyyah dalam memahami makna sunnat dalam mazhab maliki sembari berkata;

فَإِنَّ مَعْنَى قَوْلُهُ سُنَّةٌ أَيْ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ فِي قُوَّةِ الْوُجُوْبِ

“Sesungguhnya maksud dari sunnat (muakkad) dalam perkataan Malik setara dengan wajib (dalam mazhab lain)”

سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ عِنْدَ مَالِكِ وَأَصْحَابِهِ لَا يُرَخِّصُوْنَ فِي تَرْكِهِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Sunnat muakkad menurut Malik dan malikiyyah adalah tidak diberikan keringan meninggalkannya kecuali karena uzur”

Hingga di sini didapati bahwa jumhur ulama dari Mazhab Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa hukum khitan adalah wajib meski terdapat perbedaan dalam penggunaan istilah wajib.

Kemudian bagi seorang muallaf yang masih belum bersedia dikhitan, tetap berusaha untuk mengokohkan tekad secara bertahap demi kemaslahatan agama dan kesehatannya juga, terlebih hal ini juga menyangkut dengan keabsahan ibadah shalat yang dilakukan karena bagian yang belum dikhitan masih membawa najis. Wallahu a’lam. [DDHK News]

Baca juga:

×