BeritaDunia Islam

Jejak Tiga Saudara di Tanah Bugis

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Hari itu di tahun 1593, Sultan Aceh Alauddin Ri’ayat Syah memanggil 3 orang ulama bersaudara dari Minangkabau. Mereka adalah Abdul Makmur yang biasa dipanggil Khatib Tunggal, Sulaeman (Khatib Sulung), dan Ahmad Jawwad (Khatib Bungsu). Mereka merupakan ulama-ulama lulusan padepokan Giri Kedaton di Gresik yang didirikan oleh Sunan Giri. Di samping Sultan, duduk Syekh Syamsuddin as-Sumatrany; ulama yang dihormati di kesultanan Aceh sekaligus penasehat kerajaan dan Qadhi Malikul Adil; pimpinan dakwah dan Hakim Agung kesultanan Aceh Darussalam.

“Aku menerima kabar dari para saudagar Melayu di kerajaan Gowa yang melaporkan gerak-gerik Portugis di sana. Selain berdagang, Portugis menyebarkan para misionaris untuk menyebarkan agama Katolik di Gowa dan kerajaan-kerajaan lain di Bugis. Bukan tidak mungkin akan berujung pada penaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti yang mereka lakukan di Malaka, Samudera Pasai, dan Ternate,” kata Sultan Ri’ayat Syah memulai pembicaraan.

Sejak Portugis menyerang dan menguasai Malaka di tahun 1511, perdagangan di perairan Malaka menjadi rusak. Portugis memonopoli perdagangan untuk menguasai rempah-rempah yang sangat bernilai. Padahal Aceh dan Malaka telah menjadi bandar pelabuhan perdagangan internasional selama ratusan tahun. Akhirnya, para pedagang Melayu, Arab, Cina, India, dan Persia mengalihkan transaksi bisnisnya ke Aceh, Sunda Kelapa, Banten, Cirebon, Gresik, dan Gowa.

Tahun 1542 utusan Portugis Antonio de Payva datang ke Sulawesi untuk menyebarkan misi Katolik. Kedatangan mereka membangkitkan trauma para pedagang muslim Melayu yang telah lama menetap di Gowa sejak pengusiran yang dilakukan Portugis di Malaka.

Tak hanya Malaka, Portugis juga menyerang Sunda Kelapa di tahun 1527. Beruntung Demak, Cirebon, dan Banten bersatu dan berhasil mengusirnya. Tahun 1575 Portugis juga menyerang Ternate. Meski dengan pengorbanan besar, Sultan Baabullah berhasil mempertahankan negerinya.

“Kita akan menjalin kerjasama persahabatan lebih erat dengan kerajaan Gowa-Tallo dan mengirimkan da’i untuk menguatkan dakwah di sana dan membendung misi Katolik Portugis,” sambung Syekh Syamsuddin. “Yang Mulia Sultan Ri’ayat Syah akan menugaskan kalian bertiga berdakwah di Gowa dan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Bagaimana pendapat kalian?”

“Insyaallah kami siap melaksanakannya,” jawab Abdul Makmur setelah berdiskusi dengan kedua saudaranya.

Perjalanan dakwah itupun dimulai. Tiga bersaudara ini berangkat ke Gowa dengan menumpang kapal dagang Aceh. Sulawesi bukan daerah baru bagi Abdul Makmur. Ia sebelumnya pernah berdakwah di sana sebelum pindah ke Kutai Kalimantan dan berdakwah bersama Habib Hasyim bin Musyayakh yang lebih dikenal dengan nama Tuan Tunggang Parangan dan mengislamkan raja Kutai.

Bandar pelabuhan Gowa dipenuhi oleh kapal-kapal dari Jawa, Melayu, Arab, India, Persia, Cina, dan Eropa. Sejak Malaka dan Ternate dikuasai Portugis, Gowa menjadi salah satu pusat perdagangan internasional di Nusantara bagian timur. Pedagang-pedagang Melayu yang paling dominan. Mereka membeli rempah-rempah dan memasarkannya ke wilayah India dan Arab.

Eksodus kedatangan para pedagang Melayu sejak penguasaan Portugis atas Malaka di tahun 1511 lambat laut membuat pelabuhan Gowa semakin ramai dan akhirnya memajukan ekonomi kerajaan Gowa. Banyak diantara mereka yang kemudian tinggal dan menetap di Gowa. Sikap mereka yang ramah membuat mereka mudah berbaur dengan masyarakat Gowa.

Eksistensi para pedagang Melayu semakin kuat sejak Raja Gowa ke-10 Karaeng Tonipalangga mengangkat tokoh muslim asal Melayu bernama I Daeng Mangallekana menjadi Syahbandar Gowa yang bertanggung jawab mengelola lalu lintas perdagangan di pelabuhan. Jabatan itu kemudian secara turun-temurun diberikan kepada para pedagang muslim Melayu selama lebih dari 100 tahun sampai kedatangan dan penaklukan VOC Belanda di tahun 1669.  Tak hanya syahbandar, jabatan-jabatan penting kerajaan seperti juru tulis istana juga dijabat oleh para pendatang muslim dari Melayu. Raja Tonijallo yang memimpin Gowa berikutnya bahkan membangun sebuah masjid sebagai hadiah untuk masyarakat muslim Melayu yang dinilai telah berjasa memajukan perekonomian Gowa.

Tiga ulama inipun sampai di pelabuhan Somba Opu dan disambut oleh masyarakat muslim Melayu. Sebelum memulai dakwahnya, mereka mempelajari struktur dan budaya masyarakat agar lebih mudah menyampaikan dakwahnya. Atas saran para tokoh muslim Melayu, mereka disarankan memulai dakwahnya di Luwu, kerajaan tertua di Sulawesi yang wilayahnya meliputi Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Poso. Luwu merupakan asal-muasal para pemimpin kerajaan lain, sehingga jika Islam telah diterima oleh Raja Luwu, akan memudahkan penerimaan kerajaan-kerajaan lain.

Tiga ulama bersaudara ini pun berangkat ke Luwu melalui Teluk Bone menempuh perjalanan laut sejauh 400 kilometer. Mereka sampai di Luwu dan memulai dakwahnya di daerah Bua, 20 kilometer sebelah selatan Palopo. Masyarakat Luwu menganut kepercayaan Sawerigading dan menyembah dewa-dewa. Sawerigading dipercaya sebagai cucu Batara Guru yang lahir di tahun 564 dan nenek moyang masyarakat Luwu.

Di Bua, dakwah Abdul Makmur dan Sulaeman menarik minat masyarakat dan kemudian menerima Islam, termasuk tokoh adat Madikka Bua bernama Tandipau. Pada tahun 1594, dibangunlah masjid Bua di desa Tana Rigella dan menjadi pusat dakwah Islam.

“Kami ingin mengajak Raja Luwu Datuk Pattiware untuk mengenal Islam,” ujar Sulaeman kepada Tandipau suatu hari. “Bisakah kau mempertemukan kami dengan Raja Pattiware?”

“Tentu saja,” jawab Tandipau. “Saya akan mengantarkan Datuk berdua menemui Paduka Raja. Tapi ijinkan saya tetap merahasiakan keislaman sampai Paduka Raja Pattiware menerimanya.”

Keesokan harinya, mereka berangkat menuju istana Luwu di daerah Malangke. Raja Luwu La Pattiware Daeng Parabu merupakan raja yang sangat dihormati. Tidak hanya oleh rakyat Luwu, tapi juga kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Barat dan Selatan. Ia dikenal sebagai raja yang cerdas dan bijaksana.

“Pencipta manusia tak mungkin sama dengan ciptaan-Nya. Dia bukan ayah siapapun, juga bukan anak siapapun. Dia berdiri sendiri. Dia tak butuh siapapun. Dia tak diciptakan oleh siapapun. Dia ada sebelum dunia ini ada, dan Dia tetap ada meski bumi telah tiada. Dialah Allah, Tuhan seluruh alam semesta,” jelas Sulaeman kepada Raja Pattiware.

“Islam telah menerangi bumi bagian barat; menjadikan negeri Arab yang terbelakang menjadi peradaban paling maju di dunia. Islam telah menjadikan raja-raja yang memeluknya menjadi mulia di mata rakyatnya. Islam menjadikan rakyat berbudi pekerti luhur. Islam memerintahkan rakyat mematuhi pemimpinnya, memerintahkan raja menyayangi rakyatnya. Islam telah meluas hingga Cina, India, Melayu, Jawa, Kutai, dan Ternate. Dan kini Islam telah menyapa Paduka Raja. Kami hanyalah pembawa pesan, diutus oleh Sultan Aceh Darussalam mewakili Khalifah Pemimpin Dunia Islam di ujung barat Asia, mengajak Paduka Raja untuk menyembah Allah dan menebarkan kebaikan di muka bumi,” tambah Abdul Makmur.

Kata-kata itu begitu dalam dan menggetarkan Raja Pattiware. Setelah berdialog berhari-hari tentang Islam, akhirnya hari itu, di tahun 1603, Raja Pattiware mengucapkan syahadat yang diikuti oleh seluruh keluarga kerajaan. Ia kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Waliy Muzahiruddin. Setelah seribu tahun berdiri, kerajaan Luwu kini berubah menjadi kerajaan Islam.

Atas saran Raja Pattiware, dakwah berikutnya difokuskan di Gowa.

“Hanya kemuliaan saja yang ada di Luwu. Sedangkan kekuatan ada di Gowa,” ujar Raja Pattiware saat berdiskusi tentang perluasan dakwah.

Maka, mereka pun berbagi tugas. Sulaeman akan tetap di Luwu melanjutkan dakwah. Sebagai ahli tauhid, ia cocok untuk berdakwah di Luwu yang masih banyak melakukan praktek syirik. Ahmad Jawwad yang ahli tasawuf ditugaskan berdakwah di daerah Bulukumba yang rakyatnya banyak mempelajari sihir. Sementara Gowa yang rakyatnya suka berjudi dan sabung ayam akan didakwahi oleh Abdul Makmur yang ahli fiqih.

Sulaeman kemudian mengajarkan Islam kepada rakyat Luwu dan mendirikan pusat dakwahnya di daerah Pattimang, sebelah utara Palopo. Ia kemudian dikenal dengan sebutan Datuk Pattimang. Ahmad Jawwad berangkat ke Bulukumba dan berdakwah di sana; mendapat julukan Datuk Ri Tiro. Sementara, Abdul Makmur berdakwah di 2 kerajaan bersaudara Gowa & Tallo dan dikenal dengan sebutan Datuk Ri Bandang.

Tahun 1605 Datuk Ri Bandang sampai di pelabuhan Makassar dan disambut raja Tallo I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Katangka. Bagi Karaeng Katangka, Islam bukan hal baru. Para pedagang muslim dari Melayu telah lama tinggal di Tallo dan menjadi salah satu komunitas pendatang yang memajukan perdagangan Tallo. Ia juga mengangkat beberapa tokoh muslim Melayu menjadi pejabat kerajaan. Pertemuannya dengan Datuk Ri Bandang akhirnya mengantarkannya menjadi muslim dan bersyahadat pada tanggal 22 September 1605 di usia 32 tahun. Ia kemudian berganti nama menjadi Sultan Abdullah Awwalul Islam.

Keislaman Raja Tallo memudahkan Datuk Ri Bandang berdakwah di kerajaan Gowa. Raja Tallo merupakan mangkubumi kerajaan Gowa. Maka tak berapa lama kemudian Raja Gowa XVI I Marangani Daeng Manrabia pun masuk Islam di usia 19 tahun dan mengubah gelarnya menjadi Sultan Alauddin.

Pada tanggal 9 November 1607 Sultan Alauddin mengeluarkan dekrit yang isinya menjadikan Islam sebagai agama kerajaan dan menjadikan Gowa-Tallo sebagai pusat dakwah Islam di Sulawesi Selatan. Ia kemudian mengajak raja-raja Bugis lainnya untuk memeluk Islam.

Datuk Ri Bandang wafat dan dimakamkan di Tallo. Makamnya hingga kini masih diziarahi banyak wisatawan; terletak 8 kilometer sebelah timur pelabuhan Makassar. Dakwahnya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Datuk Panggentungang, yang juga menjadi guru dari ulama besar Syeikh Yusuf al-Makassari. [Sumber: www.fatchuri.com]

Fatchuri Rosidin adalah Direktur IMZ Consulting, konsultan dan pembicara publik di bidang motivasi, pengembangan SDM, leadership, parenting, dan pemberdayaan masyarakat.

Baca juga:

×