DDHK.ORG – Saat ini penggunaan inhaler sangat umum di kalangan penderita asma. Namun ternyata, pemakaian berlebih justru menimbulkan risiko peningkatan serangan asma.
Seperti dilansir Republika, Medical Director AstraZeneca Indonesia, dr Feddy, mengatakan, ada perubahan signifikan selama 30 terakhir terkait panduan tatalaksana asma dari Global Initiatives for Asthma (GINA). Pedoman GINA pada 2019 tidak lagi merekomendasikan penggunaan short acting beta-2 agonist (SABA) inhaler, misalnya salbutamol, sebagai terapi tunggal yang bersifat pelega pada serangan asthma.
“Sampai sekarang diperkuat lewat studi global yang sudah dikeluarkan di 2020 di mana Indonesia tergabung di dalamnya,” kata dr Feddy di Jakarta, Rabu (10/5/2023).
Pada program SABA use IN Asthma (SABINA) di Indonesia juga ditunjukan bahwa penggunaan SABA untuk asma justru meningkatkan risiko tersendiri. Penggunaan SABA berlebihan terbukti bisa menimbulkan risiko berat pada asma.
Dokter Feddy mengatakan, ternyata penggunaan SABA empat sampai enam canister bisa meningkatkan serangan asma 25 persen. Pemakaian enam sampai 10 canister bisa meningkatkan serangan 67 persen.
“Dan lebih dari 20 atau 11 canister ke atas meningkatkan risiko asma berat dua setengah kali lipat,” tutur dr Feddy.
Menurut dr Feddy, hal tersebut juga yang mendasari perubahan panduan GINA. Sementara itu, studi di Indonesia, yakni SABINA, menunjukan 37 persen pasien di Indonesia menggunakan SABA lebih dari tiga canister per tahun.
Kecenderungan lainnya adalah masyarakat kerap membeli sendiri obat tanpa pengawasan dokter. Untuk tes pemeriksaan ketergantungan SABA, AstraZeneca memperkenalkan situs stopketergantungan.id.
Di situ, masyarakat dapat melihat seberapa tinggi tinggi risiko asma berat karena ketergantungan SABA. Tes pemeriksaan tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh tenaga medis maupun pengidap asma. Pengguna situs dapat mengetahui lebih jauh tentang tingkat bahaya SABA saat digunakan berlebihan.
“Dari kami juga tersedia BPJS untuk obat, kami usahakan terbuka untuk semua rakyat. Untuk kategori berat tidak terkontrol sedang didaftarkan,” kata dr Feddy.
Panduan GINA terbaru juga didasari bukti ilmiah tentang penggunaan SABA tunggal yag tidak mampu memberikan proteksi bagi penderita dari asma eksaserbasi yang berat. Penggunaan SABA tunggal dalam jangka panjang, baik secara regular maupun sering, dapat meningkatkan risiko kekambuhan.
Penderita asma harus semakin menyadari pentingnya obat pengontrol, bukan lagi sekadar obat golongan jenis SABA. Ketika selesai memakai obat pelega dan tidak terjadi serangan, seharusnya mendapat obat kedua, yaitu pengontrol berbasis long-acting beta-agonist (LABA), agar penyakit lebih terkontrol dalam jangka panjang. [DDHK News]