DDHK.ORG – Bukan hal aneh jika melihat anak, bayi, dan balitatidak lepas dari gawai atau gadget. Berdasarkan data riset brand smartphone Huawei pada tahun 2022, sekitar 87% orang tua di Indonesia sudah memberikan perangkat elektronik kepada anak sejak kecil.
Sebagian besar dari anak-anak pun sudah memakai gadget ini sejak berusia 5 hingga 8 tahun. Fakta ini dikemukakan Patrick Ru, Country Head Huawei Device Indonesia saat menggelar Zoom press conference HUAWEI MatePad SE Kids Edition, 17 Februari lalu.
Dilansir dari laman Parenting, tak bisa dipungkiri, gawai saat ini sudah dipandang sebagai alat untuk belajar, di samping fitur-fitur lain yang dinikmati anak sebagai hiburan. Sebagai orang tua dari anak-anak generasi alfa, sudah tidak bisa lepas dari penggunaan gadget pada anak.
“Kita bisa melihat, teknologi dan gadget saat ini juga perlu dilihat sebagai alat yang membantu tumbuh kembang anak, walaupun tetap harus penuh pertimbangan, ya,” ungkap Saskhya Aulia Prima, M.Psi, Psikolog Anak.
Dijelaskan kembali oleh Saskhya, memberikan gadget pada anak memiliki banyak keunggulan namun perlu dilakukan secara tepat.
Salah satu hal yang menonjol pada anak-anak alfa saat ini, mereka mudah menyerap informasi dan skill baru dari mana pun, termasuk gawai. Anak bisa mengembangkan kosakata bahasa Inggris dengan berinteraksi maupun beraktivitas menggunakan gawai.
Setelah anak mendapatkan pelajaran di kelas atau sekolah, anak bisa memanfaatkan gawai untuk mengulang pelajarannya. “Penggunaan gadget bisa menjadi alat belajar efektif karena saat anak mencari informasi dalam gadget, juga melibatkan sensori dan motorik anak sehingga ia lebih termotivasi belajar,” ungkap psikolog yang juga co-founder Tiga Generasi ini.
Saat menerapkan aturan waktu layar dan penggunaan gawai pada anak, orang tua juga menjadi role model untuk anak. Misalnya, tidak menggunakan gawai saat makan, tidak membawa gawai ke kamar mandi, dan seterusnya. Hal ini penting untuk menegakkan aturan dan kebiasaan baik bergawai pada anak.
Anak sekarang cepat sekali kemajuannya terutama di bidang teknologi. Sebagai orang tua kita juga harus update. Apa yang sedang berkembang di kalangan anak, seperti apa interaksinya, bagaimana mekanismenya, dan seterusnya.
“Selain itu, kita juga harus paham bahwa kemampuan konsentrasi anak itu meningkat pelan-pelan dan harus dilatih. Orang tua harus tahu kapan anak bisa diberi gadget dan durasinya berapa lama,” pesan psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia ini.
Siapkan hati anak, terutama berkaitan dengan timing penggunaan gawai. Menegakkan aturan waktu layar memang penting, tapi juga perlu menggunakan trik agar anak tidak ‘meledak’.
“Misalnya sebelum waktu bermain habis atau kurang lima atau sepuluh menit, ibu bisa mengingatkan dulu. Atau kalau perlu, siapkan aktivitas lain yang bisa dilanjutkan setelah waktu layar habis, jadi anak tidak mendadak berhenti dan mengamuk,” saran psikolog yang kini juga sangat aktif menjadi konten kreator tersebut.
Pada anak yang sudah lebih besar, waktu layar tidak bisa dipukul rata antara waktu layar belajar dan waktu layar hiburan. Jika anak lebih banyak menggunakan gawai untuk aktivitas belajar, alokasikan waktu terpisah untuk mendapatkan hiburan dari gawai. Namun tentu dengan pertimbangan kesehatan anak juga.
Di samping itu, saat anak beraktivitas di gawai, orang tua juga jangan abai. Manfaatkan kesempatan yang ada untuk tetap menjalin bonding, seperti bermain bersama di gawai dan sebagainya.
Hal terakhir yang tak kalah penting, menurut Saskhya, anak-anak generasi alfa ini perlu diberi pengalaman untuk memahami cara survive tanpa harus kembali ke gawai.
“Beri mereka pengalaman bahwa tidak harus semua kembali ke gawai. Misalnya, ajak anak beraktivitas di luar tanpa gawai, atau beri permainan seru selepas waktu layar habis, seperti menggambar, atau yang lain,” pesan Saskhya untuk para orang tua Indonesia. [DDHK News]