ArtikelBeritaDunia IslamHikmah

Perjalanan Cucu Rasulullah ke Nusantara

Kufah, 17 Mei 660 M

Situasi politik di pusat pemerintahan Islam Kufah masih tak menentu pasca terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib oleh seorang Khawarij bernama Abdurahman bin Muljam. Umat Islam di Kufah mendesak Hasan bin Ali bin Abi Thalib untuk bersedia dibai’at sebagai khalifah dan meredakan situasi.

Qais bin Sa’ad, panglima perang Ali bin Abi Thalib, meraih tangan Hasan bin Ali[1].

“Aku bai’at engkau sebagai khalifah, wahai Hasan, “ katanya lantang.

Putera sulung Ali bin Abi Thalib itu tersentak kaget. Ia pun menolaknya. Tapi desakan ummat Islam begitu kuat memintanya menjadi khalifah. Hari itu, Hasan bin Ali resmi menjadi khalifah setelah dibai’at di masjid.

Muawiyah yang saat itu menjadi Gubernur Damaskus, tak menerima pengangkatan Hasan bin Ali karena tidak dihadiri oleh sahabat-sahabat senior yang memang telah tersebar di berbagai daerah. Sebagai Gubernur Damaskus, ia juga merasa lebih berpengalaman sebagai pemimpin pemerintahan dan militer dibandingkan Hasan. Muawiyah pun menolak ajakan damai Hasan; bahkan menyiapkan pasukan untuk menyerang Hasan bin Ali.

Di puncak krisis di mana kedua pasukan sudah berhadapan, Hasan bin Ali yang berperangai lembut lebih memilih jalan damai. Ia tak mau perang saudara antar umat Islam di perang Shiffin terulang kembali. Perundingan antara Hasan dan Muawiyah menyepakati bahwa Hasan akan menyerahkan pemerintahan kepada Muawiyah. Muawiyah juga harus menjalankan pemerintahan sesuai al-Qur’an dan Sunnah, menjaga keselamatan dan tidak mencaci keluarga Ali bin Abi Thalib, serta tidak boleh menunjuk penerusnya sebagai khalifah, melainkan menyerahkan pemilihan khalifah kepada umat Islam.

Hasan kemudian kemudian  memilih menetap di Madinah hingga wafat di tahun 670 M.

Makkah, tahun 680 M

Husein bin Ali bin Abi Thalib di Makkah kedatangan utusan penduduk Kufah. Sang utusan menjelaskan bahwa penduduk Kufah tak menyukai khalifah Yazid bin Muawiyah dan meyakinkannya bahwa 100.000 penduduk Kufah akan membaiatnya menjadi khalifah. Pengangkatan Yazid sebagai khalifah membuktikan Muawiyah telah melanggar janji untuk tidak menunjuk penggantinya dan menyerahkan pemilihan khalifah kepada umat Islam.

“Pergilah ke Kufah dan selidiki keberanannya!” kata Husein bin Ali kepada Muslim bin ‘Aqil sepupunya.

Yazid bin Muawiyah yang menggantikan ayahnya sebagai khalifah di Damaskus mengetahui perkembangan di Kufah dan segera bertindak cepat. Ia mengirim Ubaidillah bin Ziyad untuk menjadi Gubernur Kufah yang baru dan mengamankan kota itu. Ubaidillah menangkap Muslim bin ‘Aqil, menekan masyarakat Kufah, dan mengirimkan pasukan untuk mencegat Husein.

Hari itu, 10 Oktober 680 M, 4.000 orang pasukan kiriman Ubaidillah menyerang Husein bin Ali dan 72 orang yang bersamanya di padang Karbala. Husein pun syahid. Kepalanya dipenggal dan diserahkan kepada Ubaidillah[2].

Basyrah, tahun 928 M

Imam Ahmad bin Isa, keturunan Rasulullah ke-9 dari nasab Husein bin Ali, memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Kekhalifahan Bani Umayyah yang selalu menganggap keturunan Ali bin Abi Thalib sebagai ancaman memang sudah runtuh. Tapi para khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad pun bersikap sama. Untuk menghindari bahaya yang mengancam keturunan Rasulullah, Imam Ahmad bin Isa memutuskan hijrah dari Basyrah.

“Basyrah terlalu dekat dengan Baghdad. Madinah lebih aman untuk tempat tinggal kita,” kata Imam Ahmad bin Isa kepada keluarganya.

Saat mengunjungi Makkah untuk berhaji di tahun berikutnya, Ahmad bin Isa bertemu dengan rombongan haji dari Hadramaut Yaman.

“Umat Islam di Hadramaut akan bergembira jika engkau berhijrah dan tinggal di Hadramaut. Mereka juga membutuhkan ulama untuk memperkuat aqidah dari pengaruh paham Khawarij yang kini marak di sana,” kata pemimpin rombongan haji Hadramaut.

Selepas ibadah haji tahun 317 Hijriyah, Imam Ahmad bin Isa pun kembali berhijrah. Kali ini ia membawa keluarga besarnya ke kota Tarim di Hadramaut Yaman hingga ia dikenal sebagai Ahmad al-Muhajir[3]. Kedatangannya disambut dengan suka cita umat Islam di Hadramaut. Ia berdakwah di sana, dan secara perlahan akhirnya mengikis paham Khawarij dan menggantinya dengan pemahaman ahlus sunnah madzhab Syafii.

Hadramaut Yaman, tahun 1179 M

Allawi Amil al-Faqih Muhammad bin Ali mengucapkan syukur. Hari itu lahir putranya yang pertama. Ia memberinya nama Abdul Malik. Saat tumbuh dewasa, Sayyid Abdul Malik membuat sejarah baru keluarga keturunan Rasulullah itu. Ia dan sebagian keluarga Allawiyin, nama keluarga dari garis keturunan Allawi, hijrah ke India. Mereka menetap di kota Nashr Abad, 400 km sebelah barat daya New Delhi.

Di kota Nashr Abad pula putra-putrinya lahir, salah satunya Sayyid Abdullah. Kecerdasan dan keluasan wawasan Sayyid Abdullah tentang Islam, sejarah, dan negeri-negeri di dunia membuatnya diangkat menjadi diplomat kesultanan India. Ia pun mendapat gelar kebangsawanan Khan. Karena ia pun masih memiliki nasab Rasulullah, ia bergelar Sayyid Abdullah Azmatkhan.

Sayyid Abdullah Azmatkhan memanfaatkan lawatan luar negerinya sebagai kesempatan untuk berdakwah di negeri-negeri yang dikunjungi. Sejarah mencatat bagaimana ia bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina. Anaknya, Sayyid Ahmad Syah Azmatkhan, juga mengikuti jejak sang ayah menjadi diplomat.

Malabar India, 1310 M

Kota di pantai barat India itu menjadi saksi lahirnya seorang tokoh bernama Sayyid Husein Jamaludin Akbar Azmatkhan[4]. Ia anak pertama dari Sayyid Ahmad Syah Azmatkhan dan generasi ke-19 Rasulullah dari jalur Husein bin Ali bin Abi Thalib[5]. Seperti ayah dan kakeknya, ia juga seorang ulama sekaligus diplomat kerajaan yang kerap bertugas ke berbagai penjuru dunia.

Sayyid Husein Jamaludin Akbar Azmatkhan pernah bertugas dan berdakwah di Samarkand Uzbekistan selama beberapa tahun. Dalam tugas dakwah tersebut, ia menikah dengan putri Raja Uzbekistan bernama Amira Fatimah. Dari pernikahan ini, ia dikarunia 5 anak; salah satunya Maulana Ibrahim Assamarkandi yang saat dewasa pergi berdakwah di nusantara.

Sepulang dari dakwah di Samarkand, Sayyid Husein kembali ke Delhi. Ia menikah dengan putri Sultan Delhi Nizamul Muluk. Dikarunia 3 anak, salah satunya Maulana Muhammad al-Baqir. Saat dewasa, Maulana al-Baqir berdakwah di Jawa dan dikenal sebagai Syeikh Subakir. Saat menjalin hubungan diplomatik di Maroko, Sayyid Husein Jamaludin Akbar menikah dengan Laila Fatimah. Dikaruniai 1 anak bernama Maulana Muhammad al-Maghribi yang juga mengikuti jejaknya berdakwah di nusantara.

Di masa-masa berikutnya, Sayyid Husein Jamaludin Akbar Azmatkhan memfokuskan dakwah di Asia Tenggara. Ia berangkat bersama adiknya Sayyid Thana’uddin dan anaknya yang lahir di Samarkand Maulana Ibrahim Assamarkandi. Daerah yang dituju adalah kerajaan Champa yang terletak di wilayah Laos dan Vietnam sekarang. Dakwahnya disambut baik oleh masyarakat Champa. Anaknya, Maulana Ibrahim Asssamarkandi, akhirnya diambil menantu oleh raja Champa. Pernikahan ini kemudian melahirkan tokoh ulama bernama Sayyid Ali Murtadho dan Sayyid Ali Rahmatullah atau Sunan Ampel[6].

Dakwah dilanjutkan ke Kelantan Malaysia, Samudera Pasai di Aceh, dan Majapahit di Jawa Timur. Di Kelantan, Husein Jamaludin Akbar menikah dengan puteri Sultan Baki Syah bernama Puteri Syahirah. Melahirkan 2 anak, salah satunya Sayyid Ali Nurul Alam. Sayyid Ali Nurul Alam adalah mertua dari Nyai Rara Santang puteri Prabu Siliwangi yang kemudian melahirkan Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.

Tuban, 1403 M

Pelabuhan Tuban hari itu dipenuhi kapal-kapal besar dari berbagai penjuru dunia. Sebagai kerajaan terbesar di nusantara, Majapahit menjadi magnet bagi para pedagang dari Arab, India, dan Cina untuk mendapatkan rempah-rempah; salah satu komoditas termahal di dunia saat itu.

Ibrahim Assamarkandi turun dari kapal yang membawanya dari Champa. Ia datang untuk memulai dakwah di Majapahit bersama dua putranya, Sayyid Ali Murtadho dan Sayyid Ali Rahmatullah serta keponakannya Abu Hurairah yang merupakan putra Raja Champa[7].

“Pelabuhan Tubah ini ramai sekali. Banyak kapal-kapal dari berbagai negara. Pedagang-pedagang muslim dari Arab, India, dan Melayu juga banyak terlihat di sini,” kata Ali Murtadho setelah turun dari kapal.

“Majapahit sudah tak asing dengan Islam,” kata Ibrahim Assamarkandi, “para pedagang muslim yang menguasai jalur perdagangan laut telah banyak berdatangan di pulau Jawa untuk membeli rempah-rempah. Sebagian kemudian tinggal dan menetap di kota-kota pelabuhan pantai utara Jawa sejak abad ke-11. Islam juga telah dianut oleh sebagian pejabat kerajaan Majapahit.”

“Insya Allah kita akan meneruskan dakwah ulama-ulama terdahulu. Semoga kelak Islam akan menerangi bumi Allah yang subur ini,” kata Ali Rahmatullah.

“Insya Allah. Kita akan meneruskan dakwah ulama-ulama pendahulu kita,” kata Ibrahim Assamarkandi.

Mereka memang bukan ulama-ulama delegasi pertama yang berdakwah di Majapahit. Pendahulu mereka, Husein Jamaludin Akbar telah lebih dulu berdakwah di Jawa. Tahun 1371, Maulana Malik Ibrahim juga telah berdakwah di Gresik bersama beberapa ulama lain seperti Yusuf Mahrabi dan Maulana Mahpur[8].

Sayyid Ali Murtadho kemudian berdakwah di Madura. Ia dikenal sebagai Raden Santri dan kemudian mendapat gelar Raja Pendito Wunut dari Raja Majapahit[9]. Sayyid Ali Rahmatullah berdakwah di Surabaya dan dikenal sebagai Sunan Ampel. Padepokan Ampeldenta yang didirikannya bahkan menjadi lembaga pendidikan karakter dan ilmu pemerintahan para pangeran dan anak-anak pejabat Majapahit. Sunan Ampel juga melahirkan ulama-ulama besar pulau Jawa yang dikenal sebagai Walisongo.

Salah satu murid Sunan Ampel yang bernama Raden Paku melanjutkan dakwah gurunya dengan mendirikan padepokan Giri Kedaton yang menjadi pusat pendidikan ilmu pemerintahan terbesar di nusantara. Ia dikenal sebagai Sunan Giri. Murid-murid Sunan Giri kemudian menyebar dan mengajarkan Islam ke pelosok Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Madura, dan Nusa Tenggara. Murid-muridnya juga banyak menjadi raja-raja kesultanan Islam nusantara pasca runtuhnya Majapahit. [Sumber: www.fatchuri.com]

Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin.

Fatchuri Rosidin adalah Direktur IMZ Consulting, konsultan dan pembicara publik di bidang motivasi, pengembangan SDM, leadership, parenting, dan pemberdayaan masyarakat.

CATATAN:

[1] Imam Jalaludin Assuyuti. Tarikh al-Khulafa. Mesir. Al-Maktap al-Thaqafy. 2006

[2] HR Bukhori no. 3748

[3] Kholili Hasib. Mazhab Aqidah dan Sejarah Perkembangan Tasawuf Ba’alawi. Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Kalimah vol 15 no 1. Maret 2017

[4] Beberapa literatur menyebut Sayyid Husein Jamaludin Akbar Azmatkhan lahir tahun 1270

[5] Idrus Alwi al-Masyhur. Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi SAW di Indonesia. Saraz Publishing. 2012

[6] Rijal Mumazziq. Jejak Ulama Uzbekistan di Nusantara. Jurnal Falasifa vol 10 no 1. Maret 2019

[7] Muhammad Kholil dalam buku Punjer Walisongo menyebut Sayyid Ali Murtadho mulai berdakwah di Madura pada tahun 1403

[8] Agus Sunyoto. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN Jakarta. 2016

[9] Muhammad Kholil & Syafrawi. Ulama Fenomenal dan Berkharismatik Syaikhona Kholil Bangkalan. Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam UIM Pamekasan vol 7 no 2. Juli 2020 [DDHKNews]

Baca juga:

×