ArtikelBeritaDunia IslamFiqihKonsultasi

Melakukan Hubungan di Bulan Ramadan

DDHK.ORG – Kekeliruan yang dilakukan saat Ramadan memiliki konsekuensi. Misalnya saat berpuasa di bulan Ramadan, tidak diperbolehkan melakukan hubungan intim bagi suami istri. Namun bagaimana bila dilanggar? Simak jawabannya dalam rubrik konsultasi berikut ini.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, saya keliru melakukan hubungan intim dengan istri saya. Walaupun kami belum menikah secara sah, tetapi kami tinggal bersama dan tindakan itu terjadi setelah waktu fajar selesai.

Jadi pertanyaan saya apakah saya dapat berpuasa hari ini atau saya berhenti di sini dan melakukan kewajiban puasa dua bulan berturut-turut? Atau semua hari puasa dibatalkan atau hanya hari ini?

Salam

Fulanah

 

Jawab

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bismillah…

Puasa secara bahasa adalah imsãk yang artinya menahan. Sedangkan menurut istilah syariat, puasa adalah menahan dari makan & minum, serta hal-hal yang bisa membatalkannya disertai dengan niat, dari terbit fajar hingga tenggelam matahari.

Di antara hal-hal yang bisa membatalkan puasa adalah berhubungan badan antara suami & istri pada saat mengerjakan puasa. Adapun ketika malam hari di saat mereka tidak berpuasa, maka itu diperbolehkan. Sebagaimana Allah Subhanãhu wa Ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمۡ لَیۡلَةَ ٱلصِّیَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَاۤىِٕكُمۡۚ {سُورَةُ البَقَرَةِ: ١٨٧}

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu.” {Q.S. Al-Baqarah: 187}

Lalu jika suami istri terlanjur melakukan hubungan badan pada saat mereka puasa Ramadan, apa yang harus dilakukan?

Suami istri yang terlanjur melakukan hubungan badan pada saat puasa Ramadan, maka keduanya mendapati dosa, puasanya rusak, tetap melanjutkan puasa sampai maghrib, & wajib qadla.

Adapun bagi suami ada tambahan harus membayar kaffarah yaitu dengan:

  1. Membebaskan budak wanita muslimah, atau
  2. Puasa dua bulan berturut-turut, atau
  3. Memberi makan 60 orang miskin masing-masing 1 mud atau seperempat ukuran zakat fitrah. Menurut madzhab Syafi’i 1 mud sama dengan 07,15 kg atau 7,15 ons. 1 mud juga bisa diartikan 1 porsi makan orang dewasa.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallãhu ‘anhu:

“Bahwa Nabi shallallãhu ‘alaihi wasallam didatangi oleh seorang pria dan berkata: ‘Aku binasa, wahai Rasulullah. Dia berkata: Dan apa yang menghancurkanmu? Dia berkata: Saya bersetubuh dengan istri saya di (siang) Ramadan, dan beliau berkata: Apakah Anda menemukan sesuatu untuk membebaskan budak (wanita muslimah)? dia bilang tidak. Beliau berkata: Bisakah Anda berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Dia bilang tidak. Beliau berkata: Bisakah Anda memberi makan enam puluh orang miskin? Dia bilang tidak. Kemudian dibawakan sekeranjang kurma kepada Nabi shallallãhu’alaihiwasallam. Dia berkata: Saya. Beliau berkata: Ambil ini dan berikan sebagai sedekah. Pria itu berkata: Kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Tuhan, tidak ada seorang pun di antara dua tanah hitam dari rumah tangga yang lebih miskin melebihi daripada orang-orang di rumah saya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai terlihat gigi taringnya, lalu beliau bersabda: Beri dia makan untuk keluargamu.” (H.R. Bukhari)

Menurut madzhab Maliki & Hanafi, kewajiban kaffarah dibebankan kepada suami & istri karena mereka sama-sama menikmati & merasakan hubungan badan antara keduanya.

Namun menurut madzhab Syafi’i & Dhohiri, & jumhur Ulama, kewajiban kaffarah hanya berlaku bagi suami, karena sesuai dengan dhohir riwayat di atas bahwa Nabi shallallãhu ‘alaihi wasallam hanya memerintahkan kaffarah kepada suami bukan istri. Dan juga biasanya hubungan badan lebih cenderung suami yang mengajak daripada seorang istri.

Imam Nawawi rahimahuLlah berkata: “Sungguh telah kami sebutkan bahwa pendapat yang benar menurut madzhab kami (Syafi’i) adalah tidaklah wajib bagi seorang istri membayar kaffarah. Ini juga yang dikatakan oleh Imam Ahmad. Sedangkan Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur, & Ibnu Al-Mundzir berkata: Wajib atas (istri) membayar kaffarah, ini juga termasuk satu riwayat lain dari Imam Ahmad.”

Namun pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur yang hanya mewajibkan kaffarah hanya bagi suami saja. Wallãhu a’lam.

Namun yang ingin saya tambahkan adalah bagi pasangan yang masih melangsungkan pernikahan secara sirri, segeralah meresmikan secara negara demi kemaslahatan bersama.

Semoga bermanfaat…

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Dijawab oleh Ustadz Very Setiawan.

#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419. [DDHK News]

 

Baca juga:

×