ArtikelHikmah

Teladan Ikhlas Khalid bin Walid

Kita kenal Khalid bin Walid sebagai ahli perang yang tangguh, baik sebelum ia masuk Islam maupun sesudahnya. Khalidlah pemimpin pasukan kafir Quraisy yang memukul mundur pasukan Islam dalam Perang Uhud.

Khalid pula yang tampil sebagai panglima perang yang tangguh setelah masuk Islam. Berbagai peperangan melawan musuh-musuh Islam dimenangkan kaum Muslimin berkat kepemimpinannya, sehingga ia dijuluki Saifullah (Pedang Allah) karena kepiawaiannya berperang membela agama Allah.

Ternyata, bukan keahlian berperang saja kelebihan yang dimiliki Khalid, melainkan juga sikap mental yang terpuji. Salah satunya adalah keikhlasannya berjihad membela agama dan umat Islam.

Diceritakan, saat berkecamuk Perang Yarmuk melawan balatentara Romawi, tiba-tiba datang seorang utusan membawa sepucuk surat dari Khalifah Umar bin Khattab. Surat itu berisi perintah agar Khalid bin Walid meletakkan jabatan sebagai panglima perang, dan digantikan oleh Abu Ubaidah.

Tanpa melakukan protes atau merasa keberatan, Khalid segera menyerahkan jabatan itu kepada Abu Ubaidah dan tetap berperang sebagai prajurit biasa. Ia tidak terpengaruh oleh perubahan posisinya karena yang selama ini memotivasinya berjihad bukanlah jabatan yang disandangnya, bukan pula ingin mendapat penghargaan dari Umar atau orang lain, melainkan semata-mata ikhlas karena Allah SWT dan demi menegakkan kalimat-Nya (li i’la-i kalimatillah).

Khalid sendiri mengatakan, ia berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah.

KISAH populer yang menggambarkan sikap mental Khalid di atas mengandung pesan luhur: ikhlas karena Allah harus mendasari setiap Muslim dalam beramal. Dewasa ini betapa sulit kita menemukan figur semacam Khalid yang berjuang semata-mata karena Allah, bukan mengejar keuntungan materi, popularitas, pangkat, pujian orang, penghargaan, ataupun “bintang jasa”.

Dalam dunia tasawuf, ikhlas termasuk maqam atau station yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Ikhlas juga merupakan salah satu syarat diterimanya amal-ibadah kita oleh Allah SWT (maqbul). Hal ini berdasarkan beberapa ayat al-Quran yang mengisyaratkannya.

“Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah pada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) pada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus…” (Q.S. al-Bayinah:5, lihat juga Q.S. 4:146, 7:29, az-Zumar:2,11, 2:139, Luqman:32).

Dalam kisah di atas, Khalid telah menunjukkan bagaimana seorang mukhlis bersikap. Karena motif berjuangnya ikhlas, ia bahkan rela meletakkan jabatan tingginya. Ia tidak peduli dengan status dan keuntungan duniawi berupa pangkat ataupun popularitas, karena yang ditujunya adalah keridhaan Allah.

Lawan ikhlas adalah riya, yaitu ingin dipuji orang lain. Orang yang berbuat kebajikan tetapi tujuannya untuk mendapatkan keuntungan duniawi seperti popularitas, pujian, dan lain-lain, itu namanya ria. Dan amal semacam ini tidak bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Ikhlas adalah sikap mental yang menjadikan keridhaan Allah (mardhatillah) sebagai satu-satunya motif dan orientasi amal ibadah atau perbuatan baik. Firman-Nya,

“Dan di antara manusia ada orang yang menjual dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun pada hamba-hamba-Nya” (Q.S. 2:207).

Seorang mukhlis tidak mencari hal lain kecuali mardhatillah dalam amaliahnya. Ia tidak menginginkan pujian orang, penghargaan, popularitas, ataupun dihormati dan disegani orang lain karena amalnya, akan tetapi semata-mata mencari mardhatillah, ikhlas karena Allah SWT.

Amal yang tidak dilakukan dengan ikhlas akan sia-sia belaka. Tidak mendapatkan pahala atau tidak akan tercatat sebagai amal kebajikan. Nabi Saw mengisyaratkan hal ini dengan sabda-Nya, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Sungguh bagi seseorang menurut apa yang diniatkannya…” (H.R. Bukhari).

Dengan demikian, sebagai contoh, jika seseorang melakukan shalat karena ingin dipuji orang, maka sebatas pujian oranglah balasannya. Jika seseorang berderma karena ingin publikasi, popularitas, atau dikenal orang sebagai dermawan, maka sebatas itulah “pahalanya”. Wallahu a’lam. (ASM. Romli).*

Baca juga:

×