BeritaDunia Islam

Srikandi Laut Tanah Rencong

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Akademi Militer Kesultanan Aceh Darussalam sedang sibuk. Lapangan depan istana telah dihadiri ribuan warga Aceh. Mereka ingin menyaksikan peristiwa besar hari itu: wisuda lulusan Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis; pendidikan militer kesultanan Aceh Darussalam yang dikenal melahirkan pejuang-pejuang tangguh Aceh. Di atas panggung, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qohhar dan para pejabat kerajaan telah hadir. Di belakangnya berbaris para perwira militer Aceh, termasuk beberapa orang instruktur militer Ma’had Baitul Maqdis asal Turki yang dikirim oleh Khalifah Utsmaniyah atas permintaan Sultan Aceh Darussalam.

Di antara para wisudawan akademi militer yang berbaris rapi di tengah lapangan, ada seorang perempuan muda yang juga diwisuda. Namanya Keumalahayati. Ia bukan wisudawan biasa, tapi terpilih sebagai lulusan terbaik akademi militer Ma’had Baitul Maqdis. Di era kesultanan Islam Nusantara, kaum wanita mendapat peran terhormat dan aktif dalam aktivitas pemerintahan dan kemasyarakatan sebelum dibatasi perannya oleh Belanda di masa penjajahan.

Keumalahayati lahir di tahun 1550. Ia mewarisi darah pejuang dari ayah dan kakeknya. Ayahnya, Laksamana Mahmud Syah gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Pangkalan Militer Portugis La Formosa Malaka tahun 1575. Kakeknya, Muhammad Said Syah, juga seorang laksamana. Kakek buyutnya sendiri merupakan pendiri kerajaan Aceh Darussalam yang bernama Sultan Ibrahim Ali Mughoyat Syah.

Malahayati, begitu ia lebih sering dipanggil, terjun ke dunia militer bersama suaminya yang bernama Laksamana Muda Ibrahim Zainal Abidin; Panglima Armada V Angkatan Laut Aceh Darussalam. Dalam pertempuran melawan serangan Portugis di Teluk Haru, Malahayati bersama suaminya bahu-membahu memimpin pasukan maritim Aceh. Insiden itu bermula saat Portugis merampas kapal dagang Banten di tengah laut. Sebagai penjaga kawasan laut, Aceh tak bisa tinggal diam hingga pecah pertempuran. Suaminya gugur dalam pertempuran itu karena terkena Meriam Portugis. Malahayati mengambil alih komando dan dengan luar biasa berhasil mengalahkan pasukan Portugis.

Sultan Mansyur Syah mengucapkan bela sungkawa sekaligus memberikan penghargaan kepada Malahayati. Sultan Banten Maulana Yusuf pun mengirimkan utusan untuk mengucapkan terima kasih kepada Malahayati. Dua bulan kemudian, Malahayati diangkat menjadi Wakil Panglima Armada V.

“Paduka Sultan, lebih dari seribu prajurit Aceh gugur sebagai syuhada dalam pertempuran melawan Portugis. Dan sekarang ada seribu perempuan Aceh yang menjadi janda para syuhada. Mereka meminta ijin untuk bisa bergabung menjadi prajurit Aceh dan ikut membela negara jika musuh menyerang,” papar Malahayati di depan Sultan Mansyur Syah.

Sultan Mansyur Syah tertegun. Gugurnya seribu lebih prajurit dalam perang mengusir Portugis itu memang menyisakan duka, terutama bagi para istri mereka. Tapi para janda syuhada ini tak larut dalam kesedihan dan meratapi suaminya. Mereka justru ingin ikut berjuang menjaga negaranya.

Setelah berkonsultasi dan meminta fatwa hukum kepada ulama besar Syekh Syamsuddin as-Sumatrany yang menjadi Qadhi Malikul Adil kesultanan Aceh, Sultan Mansyur Syah akhirnya mengijinkan Malahayati membentuk batalyon wanita dalam struktur militer Aceh Darussalam yang diberi nama Inong Balee yang terdiri dari janda-janda syuhada perang Teluk Haru. Dari jumlah seribu orang, Inong Balee terus berkembang hingga dua kali lipat jumlahnya.

Tahun 1581, Sultan Mansyur Syah menugaskan Malahayati menyerang Portugis di benteng La Formosa. Ini pertempuran bersejarah karena ayahnya gugur di pertempuran La Formosa enam tahun sebelumnya. Dengan kekuatan 10.000 pasukan, Malahayati berhasil memporak-porandakan kapal-kapal perang Portugis. Meski belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka, kemenangan Aceh membuat perairan Riau aman dari perampokan yang dilakukan Portugis terhadap kapal-kapal dagang. Atas jasa-jasanya, Sultan Mansyur Syah mengangkat Malahayati menjadi Panglima Armada V di tahun 1582.

Tahun 1585, terjadi kudeta pemerintahan yang dilakukan oleh Panglima Raja Buyung, putera Gubernur Indrapura yang menjabat Komandan Garnizun Ibukota. Sultan Mansyur Syah dibunuh. Malahayati yang menolak bergabung dalam kudeta ditangkap dan dikenai tahanan rumah.

Tahun 1588 Malahayati berhasil meloloskan diri dan kemudian pergi menemui pasukannya di Pangkalan Militer Armada V di Jambo Air. Kedatangannya disambut gembira oleh pasukan Armada V. Laksamana Mahara Lela yang ditunjuk sebagai pengganti Malahayati berhasil ditawan. Malahayati pun berangkat ke ibu kota untuk melawan Panglima Raja Buyung dengan 24 kapal perang.

Mengetahui pasukan Malahayati bergerak ke ibu kota, pasukan Armada III di pangkalan militer Biereun yang dipimpin Laksamana Muda Zaenal Abidin ikut bergabung. Begitu pula Armada VII pimpinan Laksamana Husin di Ulele.

Maret 1588, pasukan gabungan pimpinan Malahayati mengepung istana dan memberikan ultimatum kepada Panglima Raja Buyung yang mengangkat dirinya menjadi sultan untuk menyerah. Melihat besarnya kekuatan Malahayati, Panglima Raja Buyung pun menyerah.

Malahayati kemudian mengambil alih kekuasaan. Sebagai pewira militer yang setia kepada konstitusi, Malahayati menghidupkan kembali Majelis Kerajaan yang dibekukan oleh Panglima Raja Buyung. Malahayati meminta Majelis Kerajaan bersidang untuk memilih sultan yang baru. Majelis Kerajaan menetapkan Pangeran Zainul Abidin menjadi sultan dengan gelar Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Mukammil. Majelis Kerajaan juga menetapkan Pangeran Iskandar Muda, Putra mendiang Sultan Mansyur Syah yang tewas dikudeta, sebagai putra mahkota. Sultan kemudian mengangkat Malahayati menjadi Panglima Angkatan Laut Aceh dengan pangkat Laksamana penuh. Ia tercatat sebagai panglima angkatan laut wanita pertama di dunia.

Di bulan Juni 1588 Malahayati mendapat kabar bahwa Portugis akan menyerang Ternate. Serangan Portugis ke Ternate di tahun 1575 gagal total karena mendapat perlawanan sengit dari Sultan Baabullah. Rupanya wafatnya Sultan Baabullah dimanfaatkan Portugis untuk menyerang Ternate kembali. Penggantinya, Sultan Saiduddin dinilai tak secakap ayahnya.

Sebagai sesama kerajaan Islam, Aceh tak tinggal diam.  Malahayati mengirim surat ancaman kepada Portugis di Malaka. Ia akan menutup Selat Malaka bagi kapal-kapal dagang dan militer Portugis bila rencana serangan itu tidak dicabut. Ancaman itu diikuti dengan penghadangan semua kapal Portugis yang melewati Selat Malaka. Gubernur Portugis di Malaka masih ingat betul siapa Malahayati dan bagaimana kekuatan armada lautnya menghancurkan pasukan Portugis. Rencana serangan Portugis pun dibatalkan.

Suatu sore di bulan Juni 1599, dua kapal berbendera Kerajaan Belanda merapat. Kapal bernama de Leeuw & de Leeuwin itu berisi 225 awak dipimpin dua orang bersaudara Cournelis de Houtman & Frederick de Houtman. Seperti kapal-kapal dagang lainnya, mereka akan singgah di Aceh selama beberapa minggu untuk melakukan transaksi bisnis dengan penduduk Aceh dan kapal-kapal lain dari Palembang, Jawa, Borneo, Gowa, dan Ternate yang membawa rempah-rempah. Dengan posisi yang strategis di jalur maritim Selat Malaka, pelabuhan Aceh memang menjadi tempat pertemuan para pedagang Arab, India, dan Cina dengan pedagang-pedagang Nusantara yang dikenal kaya akan hasil bumi, khususnya rempah-rempah. Aceh sendiri dikenal sebagai penghasil lada terbaik di dunia.

Beberapa bulan di Aceh, Belanda mulai membuat ulah. Malahayati sering mendapatkan laporan dari syahbandar Aceh tentang keluhan para pedagang Nusantara atas sikap orang-orang Belanda yang melanggar etika bisnis dan hukum yang diterapkan kesultanan Aceh bagi para pedagang asing. Syahbandar sebagai pemegang otoritas pelabuhan telah berulang kali menegur tetapi tak digubris oleh Belanda.

“Jika mereka tidak mau mengikuti hukum yang berlaku di Aceh, mereka harus keluar dari Aceh,” jawab Malahayati kepada syahbandar.

Hari itu, 11 September 1599, Malahayati memerintahkan beberapa kapal Angkatan Laut Aceh menggiring kapal-kapal Belanda keluar dari pelabuhan. Tak ada pilihan bagi Belanda kecuali meninggalkan Aceh. Tapi belum jauh meninggalkan pelabuhan Aceh, kapal-kapal Belanda tiba-tiba menyerang. Terjadilah pertempuran jarak dekat antara kapal-kapal Belanda dengan kapal militer Aceh.

Belanda telah mempersiapkan serangan itu. Selain persenjataan yang lengkap, kapal-kapal Belanda juga dilengkapi dengan meriam yang digunakan untuk mengantisipasi situasi konflik seperti ini. Pengalaman mereka yang sering diusir di Banten, Madura, dan Bali membuat mereka melengkapi diri dengan persenjataan lengkap. Pengusiran itu sebenarnya diakibatkan sikap mereka sendiri yang kasar dan ingin memonopoli perdagangan di tempat mereka singgah.

Malahayati akhirnya turun tangan. Saat kapalnya merapat ke kapal Belanda, Malahayati melompat ke atas geladak kapal Belanda dan langsung berhadap-hadapan dengan Cournelis de Houtman. Dengan rencong di tangan, Malahayati bertempur melawan de Houtman yang bersenjatakan pedang dalam duel satu lawan satu. Dan di satu kesempatan, Malahayati berhasil menusukkan rencongnya ke jantung lawan. Cournelis de Houtman tewas bersimbah darah. Pertempuran pun berhenti. Adik Cournelis, Frederick de Houtman, ditangkap dan dipenjara. Sisa pasukan Belanda yang tak tertangkap melarikan diri.

Belanda akhirnya mengirim utusannya, Prins Maurits, untuk meminta maaf kepada Malahayati dan memintanya melepaskan tawanan. Setelah Belanda menandatangani perjanjian untuk tidak mengulangi tindakannya dan membayar ganti rugi, akhirnya Malahayati melepaskan Frederick de Houtman.

Ternyata Belanda mengingkari janjinya. Tahun 1600, Belanda merampok kapal dagang Aceh yang penuh rempah-rempah. Laksamana Malahayati membalasnya dengan menghadang kapal-kapal Belanda yang melintasi perairan Aceh. Di tahun 1601, dalam sebuah pertempuran laut, Laksamana Malahayati menangkap Admiral Jacob van Neck.

Akhirnya Belanda menyesali keputusannya. Memusuhi Aceh tak menguntungkan mereka. Aceh memiliki angkatan laut kuat yang menjaga perairan Aceh dari siapapun yang mengganggunya. Nama Malahayati cukup membuat mereka berpikir dua kali untuk mengganggu Aceh. Belanda akhirnya mengirimkan utusannya kembali untuk meminta maaf dan meminta ijin untuk melintasi perairan Aceh agar kapal-kapal dagang mereka dapat berlayar ke Nusantara. Admiral Laurens Bicker dan Gerard de Roy membawa surat permintaan maaf kerajaan Belanda kepada kesultanan Aceh dan memberikan ganti rugi sebesar 50.000 gulden sebagai kompensasi.

Kebesaran Aceh dan nama besar Laksamana Malahayati semakin dikenal di Eropa. Kerajaan Inggris lebih memilih langkah diplomatik untuk masuk Selat Malaka daripada harus berhadapan dengan Malahayati. Ratu Elizabeth I mengirim James Lancester untuk bernegosiasi dengan Aceh agar diberikan ijin melintasi Selat Malaka bagi kapal-kapal dagang mereka. Atas keberhasilan negosiasi ini, James Lancester dianugerahi gelar Knighthood oleh Ratu Elizabeth I.

Tahun 1604 terjadi konflik internal di pemerintahan Aceh. Pangeran Mahmud Syah, putra sang Sultan, menyingkirkan ayahnya dan memproklamirkan dirinya menjadi sultan. Itu dilakukan karena sesuai keputusan sidang Majelis Kerajaan di tahun 1588, pengganti sultan berikutnya adalah Pangeran Iskandar Muda. Malahayati yang menolak mendukung kudeta ditangkap bersama Pangeran Iskandar Muda dan para pejabat yang dianggap berseberangan. Malahayati berhasil meloloskan diri dan memilih menyingkir ke Pidie bersama Pangeran Iskandar Muda untuk menghindari perang saudara.

Portugis memanfaatkan kesempatan ini. Mereka mengunjungi Malahayati dan menawarkan bantuan untuk merebut tahta kerajaan.

“Pergilah! Masalah Aceh akan diselesaikan sendiri oleh orang Aceh. Bangsa lain tak boleh turut campur,” jawab Malahayati tegas.

Portugis tak kehilangan akal. Melihat perpecahan di tubuh pemerintahan, mereka memutuskan menyerang Aceh. Tahun 1607, pasukan perang Portugis berangkat dari Malaka untuk menyerang Aceh. Portugis memperkirakan Malahayati tak akan membantu Sultan Mahmud Syah.

Ternyata, perhitungan Portugis meleset. Malahayati meradang. Dalam kondisi sakit, ia mengambil baju perangnya dan menggerakkan pasukannya yang masih setia.

“Bangsa Portugis harus kita usir dari bumi Aceh. Kita lupakan pertikaian di antara kita,” kata Malahayati kepada Pangeran Iskandar Muda.

Bersama Pangeran Iskandar Muda, Malahayati dan pasukannya langsung menyerang ibukota yang telah dikuasai Portugis. Ia memberikan komando dari kapal perang Kuta Alam. Malahayati berhasil mendesak Portugis dan memindahkan pertempuran ke darat. Dalam kondisi sakit, Malahayati memimpin pertempuran dari atas tandu. Setelah bertempur selama satu minggu, Portugis pun menyerah. Sultan Mahmud Syah meninggal, dan tahta kesultanan diberikan kepada Pangeran Iskandar Muda.

Tahun 1607, Keumalahayati wafat. Jenazah wanita pemberani ini dikebumikan di kaki bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Namanya tak hanya dikenang rakyat Aceh, tapi juga dunia internasional sebagai penjaga stabilitas perdagangan dunia di masanya. Pada tanggal 6 November 2017 Pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar pahlawan nasional. [Sumber: www.fatchuri.com] [DDHK News]

Fatchuri Rosidin adalah Direktur IMZ Consulting, konsultan dan pembicara publik di bidang motivasi, pengembangan SDM, leadership, parenting, dan pemberdayaan masyarakat.

Baca juga:

×