BeritaDunia Islam

Reformasi di Negeri Para Raja

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Siang itu sebuah kapal dagang dari Jawa merapat di pelabuhan Ternate, ibu kota kerajaan Gapi. Seperti kapal dagang lainnya, mereka biasanya akan berlabuh beberapa minggu dan melakukan transaksi perdagangan. Ternate merupakan kota pelabuhan paling timur dalam gugusan pulau penghasil rempah-rempah terbaik dunia. Tak heran banyak kapal-kapal dagang dari Jawa, Goa, Banjar, Malaka, India, hingga Arab yang berlabuh di Ternate.

Di antara rombongan kapal dagang itu, ada seorang ulama muda bernama Maulana Husein. Ia datang untuk berdakwah di wilayah kerajaan Gapi. Sebagai seorang Muslim, adalah kebahagiaan besar jika bisa menjadi jalan sampainya hidayah bagi orang lain. Maulana Husein memutuskan untuk menetap di kota Ternate. Sebagai kota pelabuhan internasional, masyarakatnya lebih terbuka dengan orang asing yang datang seperti dirinya.

Kerajaan Gapi berdiri tahun 1257; hasil dari penggabungan 4 klan yang masing-masing dipimpin oleh seorang momole. Setelah bergabung, mereka memilih seorang momole menjadi kolano atau raja. Ternate ditetapkan sebagai ibu kota. Persekutuan 4 klan ini memperkuat Gapi. Wilayahnya terus berkembang tak hanya di Maluku bagian utara, tapi juga meluas ke timur hingga Sulawesi bagian utara, timur, dan tengah. Di utara, wilayah Gapi sampai ke bagian selatan kepulauan Filipina. Gapi bahkan pernah menaklukkan kepulauan Marshall di Samudra Pasifik, sebelah timur laut Papua Nugini. Meski namanya tak seterkenal Majapahit, kerajaan Gapi merupakan kerajaan terbesar di Nusantara bagian timur.

Maulana Husein datang ke Ternate untuk melanjutkan dakwah yang telah dimulai oleh ulama-ulama terdahulu sejak abad ke-13. Sebagai seorang Qari’, bacaan Qur’annya yang merdu dengan cepat menarik perhatian masyarakat Ternate. Keindahan suaranya menjadi buah bibir kota itu hingga terdengar sampai istana.

Suatu hari, seorang utusan kerajaan datang ke pesantren Maulana Husein.

“Tuan Guru, hamba diminta oleh Yang Mulia Kolano Baguna untuk mengundang Tuan Guru ke istana,” kata sang utusan.

“Ada apakah gerakan Yang Mulia memanggil hamba?” tanya Maulana Husein heran.

“Kemerduan suara Tuan Guru saat membacakan kitab suci sudah menjadi buah bibir rakyat,” jawab sang utusan, “Yang Mulia Kolano Baguna ingin mendengar bacaan Tuan Guru di istana bersama para pejabat dan tetua kerajaan.”

Maulana Husein mengucap syukur dalam hati. Inilah jawaban Allah atas doa-doanya selama ini agar dakwahnya dapat diterima masyarakat Gapi.

Pagi itu di tahun 1465, Maulana Husein membacakan al-Qur’an di depan Kolano Baguna II, para momole, jogugu (perdana menteri), bobato (dewan 18), dan para pembesar kerajaan lainnya. Tak hanya membacakan al-Qur’an, Maulana Husein juga menjelaskan kandungan isinya hingga membuat banyak bangsawan Gapi memeluk Islam. Kolano Baguna II bahkan meminta Maulana Husein mengajarkan Islam kepada para pejabat kerajaan.

Tahun 1486 Kolano Baguna II wafat dan digantikan putranya yang bernama Zainal Abidin. Saat itu, Islam telah menjadi agama penting di istana Gapi. Kolano Zainal Abidin sendiri merupakan murid Maulana Husein.

“Tuan Guru,” ujar Kolano Zainal Abidin suatu hari kepada gurunya, “Kebesaran dan kemasyhuran kekhilafahan Islam hingga menjadi imperium terbesar di dunia terus mengganggu mimpiku. Aku ingin memperdalam ilmu pemerintahan Islam agar Gapi menjadi pusat peradaban Islam di belahan dunia timur. Ke manakah aku harus menimba ilmu?”

Maulana Husein yang memahami kegundahan muridnya pun menjawab, “Di tanah Jawa ada seorang ulama yang sangat menguasai ilmu pemerintahan. Namanya Maulana ‘Ainul Yaqin. Ia dikenal dengan gelar Sunan Giri yang mendirikan pesantren di Giri Kedaton. Giri Kedaton merupakan pusat pendidikan para bangsawan Majapahit dan kerajaan-kerajaan sekutunya. Bangsawan-bangsawan dari Palembang, Malaka, Pasai, Gowa, Buton, Banjar, Martapura, dan Kutai pun menimba ilmu di sana.”

Maka, suatu hari di tahun 1494, Kolano Zainal Abidin berangkat ke Majapahit untuk menimba ilmu di pesantren Giri Kedaton. Ia berangkat dengan membawa hadiah cengkeh yang menjadi komoditas utama negerinya hingga dikenal di Giri Kedaton sebagai Sultan Bualawa yang berarti sultan negeri penghasil cengkeh.

Di Giri Kedaton Zainal Abidin dengan tekun mempelajari ilmu pemerintahan dari Sunan Giri sekaligus memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Ia juga menjalin persahabatan dan saling belajar dari bangsawan berbagai kerajaan yang belajar di sana. Setelah merasa cukup, Zainal Abidin pulang ke Maluku untuk menerapkan ilmunya. Tak lupa ia mengajak beberapa santri Giri Kedaton untuk menjadi ulama-ulama yang mengajarkan Islam kepada rakyat Gapi.

Sesampainya di Ternate, Zainal Abidin langsung melakukan reformasi politik. Ia mengumumkannya di depan seluruh pejabat kerajaan.

“Seperti yang kalian tahu, aku pergi ke tanah Jawa untuk menimba ilmu pemerintahan dari Yang Mulia Sunan Giri. Dan hari ini aku mengumumkan perubahan pemerintahan Gapi,” Kolano Zainal Abidin mengawali pengumuman reformasinya pagi itu.

“Nama kerajaan Gapi aku ganti menjadi kesultanan Ternate. Gelar kolano berubah menjadi sultan. Dewan 18 akan dibagi 2: bobato hitam untuk urusan pemerintahan umum dan bobato putih untuk urusan keagamaan. Bobato Putih bertugas  menyusun undang-undang bernafas Islam, membuat perangkat hukum berdasarkan syariat Islam, mengelola implementasi hukum Islam di masyarakat, dan mengembangkan pendidikan Islam. Struktur Boboto Putih sendiri terdiri atas seorang qadhi, 4 imam, 8 khatib, dan 16 moding. Aku akan menjadi pembina Islam dengan gelar Amiruddin yang membawati Boboto Putih. Sekolah-sekolah Islam akan dibuka di Ternate dengan guru-guru yang telah aku datangkan dari Jawa.”

Sultan Zainal Abidin menjadikan Ternate sebagai kesultanan Islam pertama di nusantara bagian timur. Ternate bahkan telah menjadi kerajaan Islam sebelum berdirinya kesultanan Demak yang dikenal sebagai kesultanan Islam pertama di pulau Jawa. Di bawah kepemimpinan Sultan Zainal Abidin, reformasi pemerintahan Ternate menjadi inspirasi kerajaan-kerajaan lain di Indonesia timur. Sistem pemerintahan kesultanan Ternate kemudian ditiru oleh kerajaan-kerajaan lain seperti Tidore dan Bacan yang semua berubah menjadi kesultanan. Itulah sebabnya Ibnu Batutah yang pernah singgah di Ternate menyebut wilayah ini sebagai jazirotul muluk atau negeri para raja. Istilah jazirotul muluk kemudian bertransformasi menjadi maluku.

Tepat di pergantian abad, di tahun 1500 masehi, Sultan Zainal Abidin wafat setelah menyelesaikan reformasi politik di Ternate. Ia telah meninggalkan warisan berharga tidak hanya bagi kesultanan Ternate, tapi juga bagi kerajaan-kerajaan lain di nusantara yang sedang banyak berproses menjadi kesultanan Islam. [Sumber: www.fatchuri.com] [DDHK News]

Source
www.fatchuri.com

Baca juga:

×