BeritaDunia Islam

Panggilan Sejarah dari Majapahit

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Sudah beberapa bulan Raja Kertawijaya risau. Usahanya membangun kembali Majapahit dari keterpurukan akibat perang Paregreg belum juga menunjukkan hasil.

Perang saudara antara Raja Wikramawardhana dan Bhre Wirabumi di tahun 1404 itu benar-benar telah menghancurkan Majapahit. Ekonomi telah pulih. Tapi di bidang politik, kekuatan Majapahit terus melemah dan membahayakan pengaruhnya, terutama daerah-daerah yang jauh seperti Malaka dan Sumatera. Belum lagi banyak pejabat Majapahit yang kini gemar berjudi, korupsi, pesta, dan mabuk-mabukan.

Ratu Dwarawati, sang permaisuri, mengetahui kegelisahan suaminya dan mengajukan usul. “Saya punya seorang keponakan yang bisa membantu mendidik budi pekerti para pangeran dan bangsawan Majapahit. Namanya Sayyid Ali Rahmatullah dari negeri Champa. Jika Kanda Prabu berkenan, saya akan memintanya untuk datang ke Majapahit.”

Raja Kertawijaya yang bergelar Prabu Brawijaya berseri-seri wajahnya dan dengan cepat mengirimkan utusan ke negeri Champa.

Sayyid Ali Rahmatullah adalah cucu Raja Champa. Ayahnya adalah Maulana Malik Ibrahim, seorang ulama yang sudah lebih dulu berdakwah di Majapahit dan dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Sebelum berdakwah ke Majapahit, Maulana Ibrahim lebih dulu berdakwah di Champa dan menikah dengan putri raja Champa bernama Dewi Chandrawulan, kakak dari permaisuri Majapahit Ratu Dwarawati.

Mendapat permintaan Raja Kertawijaya, Sayyid Ali Rahmatullah merasa ini jalan yang Allah berikan untuk memulai dakwahnya. Darah petualang dan ulama mengalir dalam dirinya.

Ayahnya, Maulana Malik Ibrahim, telah mengenalkan Islam di Majapahit. Ia juga sukses mengembangkan sistem pertanian irigasi di sana hingga mendapat penghargaan dari raja Majapahit sebagai Wong Agung Majapahit. Kakeknya, Jamaludin Akbar al-Husaini, juga seorang ulama yang berdakwah di Jawa dan Sulawesi dan dikenal dengan nama Syeikh Jumadil Kubro.

Tahun 1443 Sayyid Ali Rahmatullah akhirnya sampai di Majapahit dan disambut langsung oleh Prabu Brawijaya di istana. “Nanda Sayyid Ali Rahmatullah, Majapahit sedang dilanda kemerosotan moral. Banyak bangsawan dan rakyat yang suka berjudi dan mabuk-mabukan. Para pejabat korupsi dan berfoya-foya. Bersediakah Nanda Rahmat membantu memperbaiki perilaku para bangsawan dan rakyat Majapahit?” tanya Prabu Brawijaya.

Dengan sopan Sayyid Ali Rahmatullah menjawab, “Dengan senang hati, Baginda Prabu. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mendidik mereka. Saya akan melanjutkan perjuangan Ramanda Sunan Gresik mendidik moral dan perilaku rakyat Majapahit.”

Kecerdasan, keluasan wawasan, dan keluhuran Sayyid Ali Rahmatullah ternyata memikat hati Prabu Brawijaya. Sang raja akhirnya menikahkan salah satu putrinya yang bernama Dewi Candrawati dengan Sayyid Ali Rahmatullah. Otomatis, kini Sayyid Ali Rahmatullah telah menjadi keluarga kerajaan dan kemudian dipanggil dengan sebutan Raden Rahmat.

Raden Rahmat memulai tugasnya dengan membuka pusat pendidikan di daerah Ampeldenta, Surabaya. Selain menguasai agama, Raden Rahmat juga seorang ahli tata negara.

Kemajuan pengelolaan pemerintahan di negeri-negeri Islam menjadi referensi dan kiblat pengelolaan negara masa itu. Ahli-ahli tata negara Islam telah banyak menjadi penasehat pemerintahan di kerajaan-kerajaan di Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Eropa. Buku-buku karya para cendikiawan Muslim di bidang pemerintahan telah dipelajari oleh Raden Rahmat. Praktek langsungnya juga telah ia lihat di Champa dan negeri-negeri Islam lain dalam lawatan dakwahnya.

Di bidang akhlak, Raden Rahmat mengajarkan filosofi Moh Limo. Moh artinya tidak. Limo artinya lima. Raden Rahmat mendidik para muridnya agar tidak melakukan 5 perbuatan buruk: mabok (mabuk-mabukan), main (bermain judi), madon (berzina), madat (narkoba), dan maling (mencuri, merampok, dan korupsi). Di bidang tata negara, Raden Rahmat mengajarkan ilmu politik dan tata kelola pemerintahan.

Tak butuh waktu lama, Padepokan Ampeldenta terkenal ke seantero Majapahit dan menjadi pusat pendidikan para pangeran dan anak-anak bangsawan Majapahit. Tak sedikit dari mereka yang kemudian menjadi Muslim. Di kalangan rakyat, dakwah Raden Rahmat pun meluas dan diterima masyarakat. Ia kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Ampel.

Meski banyak pangeran yang pindah ke agama Islam setelah belajar di Padepokan Ampeldenta, Prabu Brawijaya tak keberatan. Ia melihat bahwa ajaran Sunan Ampel telah mengubah perilaku para pangeran yang dulu suka berjudi dan mabuk-mabukan. Ilmu tata negara yang diajarkannya juga membawa kemajuan positif bagi tata kelola pemerintahan Majapahit.

Darah ulama benar-benar mengalir dalam dirinya. Ia telah mengikuti jejak ayah dan kakeknya menjadi perintis dakwah di Nusantara. Ia pun melahirkan anak-anak yang menjadi ulama besar seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Demak, dan Sunan Lamongan.

Anak-anak perempuannya pun menjadi istri ulama-ulama berpengaruh seperti Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Raden Patah pendiri kesultanan Demak. Di kalangan para ulama di tanah Jawa, Sunan Ampel dianggap sebagai sesepuh dan penasehat bagi ulama-ulama muda yang menyebar hingga ke wilayah barat pulau Jawa. [Sumber: www.fatchuri.com][DDHK News]

Fatchuri Rosidin adalah Direktur IMZ Consulting, konsultan dan pembicara publik di bidang motivasi, pengembangan SDM, leadership, parenting, dan pemberdayaan masyarakat. 

Baca juga:

×