BeritaDunia Islam

Kisah Musa dari Tanah Jawa

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Kerajaan Blambangan sedang berduka. Sudah beberapa bulan ini Blambangan terkena pandemi. Setiap hari Prabu Menak Sembuyu mendapat laporan bertambahnya jumlah penduduk yang terserang penyakit aneh. Sudah ratusan penduduk yang terjangkit, termasuk putri Prabu Menak Sembuyu yang bernama Dewi Sekardadu. Semua tabib telah dikerahkan untuk mengobati sang putri tapi tak ada yang berhasil.

“Paduka Prabu, hamba mendapat laporan ada seorang pandito dan tabib yang sudah menyembuhkan banyak rakyat Blambangan dari wabah penyakit.”

Wajah Prabu Menak Sembuyu berseri-seri dan segera memerintahkan Patih Blambangan untuk meminta bantuan sang tabib yang tak lain adalah Maulana Ishaq, seorang ulama lulusan kedokteran Universitas al-Azhar, pusat pendidikan terbaik di dunia saat itu. Ia juga putra Maulana Malik Ibrahim yang telah lebih dulu berdakwah di Gresik Majapahit. Blambangan dipilih Maulana Ishaq sebagai pusat dakwahnya.

Setelah dirawat beberapa hari, Dewi Sekardadu sembuh dari sakitnya. Maulana Ishaq pun akhirnya diberikan tugas oleh Prabu Menak Sembuyu untuk mengatasi pandemi yang menimpa Blambangan. Atas jasa-jasanya, Prabu Menak Sembuyu akhirnya menikahkannya dengan Dewi Sekardadu.

Ketinggian ilmu, keluhuran budi, dan keberhasilannya mengatasi pandemi membuat dakwah Maulana Ishaq semakin mudah diterima penduduk Blambangan. Perkembangan ini justru mengkhawatirkan sebagian pejabat kerajaan. Untuk menghindari konflik, akhirnya Maulana Ishaq memilih berdakwah di luar istana. Sejarah mencatat Maulana Ishaq pindah dan berdakwah ke Tuban, kemudian pindah ke Samudera Pasai dan menjadi ulama besar di sana.

Di Blambangan, Dewi Sekardadu melahirkan anak Maulana Ishaq dan memberinya nama Raden Paku. Kedengkian beberapa oknum kerajaan ternyata belum mereda. Mereka tidak ingin pengaruh Maulana Ishaq semakin besar jika Raden Paku menjadi raja. Maka, skenario melenyapkan Raden Paku pun dibuat. Raden Paku yang masih bayi dibuang dan dihanyutkan ke laut.

Allah ternyata berkehendak lain. Peti berisi bayi Raden Paku yang mengapung di laut ditemukan oleh kapal dagang yang sedang melintas. Mereka mengambilnya dan melaporkannya kepada Koja Makhdum, Syahbandar Pelabuhan Gresik Majapahit. Nyi Ageng Pinatih, istri Koja Makhdum, merasa iba melihat bayi mungil yang dibawa suaminya dan akhirnya mengasuhnya sebagai anak. Bayi itu diberi nama Jaka Samudra.

Gresik saat itu merupakan salah satu pelabuhan penting Majapahit. Ternyata dakwah Islam yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dan dilanjutkan oleh putranya Sunan Ampel cukup berhasil hingga banyak pejabat Majapahit yang telah masuk Islam. Beberapa jabatan bahkan dipercayakan kepada para pendatang muslim. Salah satunya Syahbandar Gresik Koja Makhdum. Maka seperti kisah Musa yang diselamatkan Allah dari kedzaliman Fir’aun, Raden Paku yang kini bernama Jaka Samudra pun tinggal dan diasuh oleh keluarga muslim Koja Makhdum.

Saat usia Jaka Samudra menginjak 12 tahun, Nyi Ageng Pinatih mengirimnya belajar di padepokan Ampeldenta di Surabaya. Saat itu, padepokan Ampeldenta yang didirikan oleh Raden Rahmat alias Sunan Ampel dikenal sebagai pusat pendidikan Islam dan tata negara yang masyhur. Banyak pejabat Majapahit dan adipati-adipati daerahnya yang mengirimkan anaknya belajar di Ampeldenta. Tak heran model pengelolaan kerajaan di generasi berikutnya semakin bercorak Islam. Pasca runtuhnya Majapahit, Islam telah menjadi agama mayoritas kerajaan-kerajaan di pulau Jawa dan sekitarnya.

Jaka Samudra tumbuh menjadi murid yang cerdas dan menonjol di Ampeldenta. Belakangan akhirnya Sunan Ampel mengetahui identitas asli Jaka Samudra yang ternyata anak dari Maulana Ishaq. Itu berarti Jaka Samudra masih kerabat dekatnya karena orang tua mereka adalah anak-anak dari ulama besar Jamaludin Akbar al-Husaini yang lebih dulu berdakwah di Nusantara.

“Ananda Raden Paku,” kata Sunan Ampel suatu hari, “sudah saatnya kau pergi dan belajar kepada ayahmu di Pasai. Pergilah ke sana dan sampaikan salamku kepada ayahmu Maulana Ishaq.”

Hari itu, berangkatlah Raden Paku ke Pasai untuk bertemu dan menimba ilmu kepada Maulana Ishaq. Ia pergi menumpang kapal dagang yang berangkat ke Pasai, ditemani salah satu putra Sunan Ampel yang bernama Maulana Makhdum Ibrahim.

“Allah telah mempertemukan kita,” ujar Maulana Ishaq menyambut kedatangan putranya, “ilmu Allah meliputi seluruh makhluknya di muka bumi hingga tak ada yang lepas dari pandangan-Nya. Aku selalu yakin suatu saat akan Allah pertemukan kita kembali. Mulai saat ini aku memberimu nama Maulana ‘Ainul Yaqin.”

Setelah belajar selama 3 tahun di Pasai, Raden Paku dan Makhdum Ibrahim pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu kepada ulama-ulama besar di tanah suci. Mengikuti nasehat ayahnya, Raden Paku pun kemudian kembali ke pulau Jawa untuk memulai dakwahnya. Raden Paku kembali ke Gresik, sedangkan Maulana Makhdum Ibrahim berdakwah di Tuban dan dikenal dengan nama Sunan Bonang.

Tahun 1481 Raden Paku mendirikan padepokan di sebuah bukit yang kemudian dikenal dengan nama Giri Kedaton. Di situlah Raden Paku membuka pendidikan Islam dan ilmu pemerintahan. Raden Paku kemudian mendapat julukan Sunan Giri.

Kecerdasan, ketinggian ilmu, dan kemampuan manajemen Raden Paku membuat Giri Kedaton berkembang menjadi pusat pendidikan terbaik di Majapahit. Pasca wafatnya Sunan Ampel di tahun 1487, Giri Kedaton makin dikenal bahkan lebih masyhur dibandingkan padepokan Ampeldenta. Murid-muridnya bukan hanya anak para bangsawan Majapahit, tetapi juga para putra bangsawan dari berbagai kerajaan di Sumatera, Buton dan Gowa Sulawesi, Banjar–Martapura–Kutai di Kalimantan, Maluku, Madura, dan Lombok. Ilmu pemerintahan yang diajarkannya menjadi rujukan sistem pengelolaan negara di banyak kerajaan. Tak heran memang karena rujukan Sunan Giri adalah sistem pemerintahan kekhilafahan Islam yang merupakan sistem pemerintahan terbaik di dunia saat itu.

Meski banyak putra bangsawan yang belajar di Giri Kedaton, Sunan Giri tetap memperhatikan dakwah kultural di masyarakat. Metode dakwahnya sangat mengena di masyarakat karena disampaikan melalui pendekatan budaya lokal. Sunan Giri menciptakan lagu dan permainan rakyat yang kental dengan muatan ajaran Islam. Salah satunya tembang Cublak-Cublak Suweng yang mengajak rakyat untuk menahan hawa nafsu dan bersikap rendah hati. Ia juga menjadikan kesenian wayang sebagai sarana berdakwah.

Dalam struktur organisasi generasi kedua Wali Songo, kedudukan Sunan Giri juga disegani menggantikan peran Sunan Ampel di generasi pertama. Dakwah Islam saat itu bukan hanya menyebar di kalangan rakyat jelata, tapi juga ke dalam pemerintah kerajaan-kerajaan nusantara. Dan para bangsawan muslim di kerajaan-kerajaan Hindu-Budha saat itu sebagian besar adalah murid-murid Sunan Giri.

Sunan Giri bukan hanya menguasai ilmu agama dan pemerintahan, ia juga seorang pebisnis ulung. Sebagai kota internasional tempat bertemunya saudagar dari Jawa, Arab, Cina, Malaka, Gowa, dan Ternate, Gresik menjadi salah satu pusat perekonomian Majapahit. Mencontoh Rasulullah yang juga seorang pengusaha, Sunan Giri masih menyempatkan diri mengelola bisnisnya. Itu sebabnya ia dikenal bukan hanya sebagai ulama, tapi juga seniman, ahli tata negara dan pengusaha.

Setelah 25 tahun mengembangkan dakwah di nusantara, di tahun 1506 Sunan Giri wafat. Tapi Sunan Giri telah berhasil melakukan kaderisasi kepemimpinan di Giri Kedaton sehingga terus berkembang menjadi rujukan pusat pendidikan pemerintahan terbaik selama 200 tahun. Puncak keemasannya terjadi di masa Sunan Prapen. Giri Kedaton menjadi lambang legitimasi raja-raja nusantara. Tak jarang pelantikan raja nusantara dilakukan oleh Sunan Prapen. [Sumber: www.fatchuri.com] [DDHK News]

Baca juga:

×