ArtikelHikmah

Cari Rezeki, Jaga Harga Diri

“Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).

ISLAM sangat menekankan agar umatnya bekerja, mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini dengan tangan sendiri, dan tidak menjadi beban orang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk hidup seimbang antara memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi… (QS. 28: 77).

“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan mati besok” (HR. Baihaqi). “Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia” (HR. Ibnu ‘Asakir dari Anas).

Memenuhi kebutuhan rohani adalah aktivitas peningkatan keimanan dan ketakwaan, seperti mendalami ajaran Islam, mengikuti pengajian, mendengarkan ceramah agama, khusyu’ mendengaran khutbah umat, membaca dan mengkaji Alquran, mendukung syi’ar Islam atau dakwah Islamiyah, dan lain-lain.

Tentu saja, aktivitas pokok memenuhi kebutuhan rohani adalah shalat lima waktu. Shalat adalah simbol kemusliman seseorang. Dengan shalat, ia melakukan dialog dengan Allah SWT sekaligus berdoa dan mengadukan persoalan hidupnya. Menginfakkan harta di jalan Allah, membayar zakat mal, menyumbang dana kegiatan dakwah Islamiyah, menyantuni fakir-miskin atau membantu kaum /dhuafa/, termasuk pemenuhan kebutuhan rohani mereka sebagai bukti kedermawanan yang diridhai Allah SWT.

Memenuhi kebutuhan jasmani adalah mencari rezeki atau nafkah hidup buat diri sendiri dan keluarga. Dalam hal itu, Islam sangat menekankan agar umatnya bekerja, mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini dengan tangan sendiri.

Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada siang hari). Dan Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan (QS. An-Naba’: 11). Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih (QS. Al-A’raf: 10). Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah (QS. Al-Jum’ah: 10). Demi, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain.. (HR. Bukhari dan Muslim).

Bekerja mencari rezeki untuk memberi nafkah keluarga bahkan digolongkan beramal di jalan Allah (Fi Sabilillah). Sebagaimana Sabda Nabi SAW, “Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah.

Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan” (HR. Thabrani). Rasulullah SAW pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).

Dari sejumlah nash di atas, maka dapat disimpulkan, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja. Itulah sebabnya, dalam Islam bekerja termasuk ibadah karena bekerja termasuk kewajiban agama. Islam tidak menginginkan umatnya melulu melakukan ibadah ritual (hablum minallah), tetapi menginginkan umatnya juga memperhatikan urusan kebutuhan duniawinya sendiri (pangan, sandang, dan papan), jangan sampai menjadi pengangguran, peminta-minta, atau menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada orang lain.

Dalam bekerja, Islam juga memberikan arahan atau tuntunan — inilah etika bekerja dalam Islam atau “etos kerja Islami”. Umat Islam diharuskan:

Pertama, bekerja dengan sebaik-baiknya. “Sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seorang pekerja jika ia berbuat sebaik-baiknya” (HR. Ahmad).

Kedua, bekerja keras atau rajin. “Siapa bekerja keras hingga lelah dari kerjanya, maka ia terampuni (dosanya) karenanya” (Al-Hadis). “Berpagi-pagilah dalam mencari rezeki dan kebutuhan hidup. Sesungguhnya pagi-pagi itu mengandung berkah dan keberuntungan” (HR. Ibnu Adi dari Aisyah).

Ketiga, menekankan pentingnya kualitas kerja atau mutu produk. “Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya” (Al-Hadis).

Keempat, menjaga harga diri serta bekerja sesuai aturan yang ada.
“Carilah kebutuhan hidup dengan senantiasa menjaga harga diri. Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (HR. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).

Menjaga harga diri bisa berarti tidak melanggar aturan, tidak melakukan perbuatan yang membawa aib pada diri sendiri, namun sebaliknya, berusaha maksimal mencapai prestasi dan prestise. Pencuri, perampok, koruptor, pemeras, dan semacamnya, tentu termasuk “tidak menjaga harga diri dalam mencari kebutuhan hidup” dan itu dilarang keras oleh Islam. Yang dimaksud “segala persoalan berjalan menurut aturan” artinya mematuhi tata tertib perusahaan atau bekerja sesuai prosedur yang berlaku (tidak boleh menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan).

Karena bekerja dalam Islam termasuk ibadah, maka mulailah setiap pekerjaan dengan basmalah, sebagai tanda mohon perkenan, dan pertolongan Allah dalam kelancaran bekerja, dan akhiri dengan hamdalah sebagai tanda syukur kepada-Nya. Bekerja tentu saja mendatangkan uang atau harta. Maka, gunakanlah harta itu di jalan Allah, hanya untuk hal-hal yang diridhai-Nya, menafkahi diri dan keluarga, membayar zakatnya, menyedekahkannya untuk kaum dhuafa, serta menginfakkannya untuk kepentingan agama dan umat Islam.

Di akhirat nanti, soal harta, Allah akan meminta pertanggungjawaban kita dari dua hal: asal harta itu atau cara memperolehnya dan penggunaannya. Semoga Allah senantiasa memberi kita kekuatan iman untuk tidak melanggar aturan-Nya. Amin! Wallahu a’lam. (ASM. Romli/ddhongkong.org).*

Baca juga:

×