BeritaDunia Islam

Cahaya dari Serambi Mekah

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Raja Peureulak Dalam, Sultan Ibrahim Syah, terus memperhatikan perkembangan yang terjadi di kesultanan Peureulak Pesisir yang sedang berjuang menghadapi serangan pasukan Sriwijaya. Jika Sriwijaya berhasil mengalahkan Peureulak Pesisir, hanya tinggal menunggu waktu mereka akan melanjutkan penyerangan ke Peureulak Dalam dan menguasai seluruh Aceh. Ia harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk itu.

Perlak Pesisir dan Perlak Dalam dulunya satu kesultanan; didirikan oleh Sultan Abdul Aziz Syah tepat saat tahun baru hijriyah, 1 Muharam 225 H, atau tahun 840 M.  Peureulak atau Perlak merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara; bahkan berdiri jauh lebih dulu dibandingkan kerajaan Majapahit yang baru berdiri di tahun 1293. Sebagai kerajaan maritim yang menguasai jalur perdagangan internasional, posisi Perlak di selat Malaka memang strategis. Perlak menjadi tempat transit dan pertemuan para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, dan kerajaan-kerajaan Nusantara. Tak heran Sriwijaya berambisi untuk menguasai Perlak.

Apa yang dikhawatirkan oleh Sultan Ibrahim Syah pun terjadi. Perlak Pesisir jatuh ke tangan Sriwijaya. Sultan Perlak Pesisir Maulana Mahmud Syah gugur dalam pertempuran. Sultan Ibrahim Syah langsung bergerak cepat. Ia menyatukan kedua kesultanan dan memimpin rakyat Perlak bertempur melawan pasukan Sriwijaya.

“Wahai rakyat Perlak, kini waktunya kita bersatu setelah terpecah selama bertahun-tahun. Perpecahan telah membuat kita lemah. Kita mudah dihancurkan oleh musuh. Sekarang tak ada lagi rakyat Perlak Pesisir dan Dalam. Semua rakyat Perlak. Mari bersama-sama kita berjuang melawan musuh yang telah membunuh saudara-saudara kita,” Sultan Ibrahim Syah berorasi menyatukan rakyat dan mengobarkan semangat untuk melawan Sriwijaya.

Peperangan antara Sriwijaya dan Perlak berlangsung bertahun-tahun. Sriwijaya mengirimkan pasukan berkali-kali sejak tahun 986. Dengan gagah berani Perlak bertahan melawan gempuran pasukan maritim Sriwijaya. Kegigihan itu akhirnya berbuah hasil. Tahun 1006, setelah 20 tahun menyerang, Sriwijaya akhirnya menarik pasukannya mundur. Peperangan yang panjang itu menguras energi dan perhatian Sriwijaya sehingga tidak menyadari datangnya serangan dari kerajaan Medang dari pulau Jawa yang dipimpin langsung oleh Prabu Dharmawangsa.

Sultan Ibrahim Syah akhirnya bisa bernafas lega dan mulai membangun kembali negerinya yang hancur akibat perang. Di bawah kepemimpinannya, Perlak kembali menjadi negara besar dan pusat perdagangan maritim internasional. Perlak bukan hanya negara maritim tapi juga dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbaik dunia sejak abad ke-9, khususnya lada. Lada sendiri sebenarnya bukan komoditas asli Aceh. Bibit lada berasal dari Madagaskar; dibawa oleh para pedagang Arab dan Persia yang menyusuri pantai-pantai Sumatera dalam perjalanan dagangnya sejak abad ke-7. Ternyata kondisi alam Aceh sangat cocok untuk budidaya tanaman lada.

Tahun-tahun berikutnya adalah masa-masa kedamaian. Bersatunya dua kesultanan memperkuat posisi Perlak dan membuat Perlak dapat terus membangun negerinya. Saat itu pelabuhan Malaka belum berkembang. Kapal-kapal dagang dari Arab, India, dan Cina berlayar menuju pulau-pulau di Nusantara melalui sisi barat Selat Malaka, menyusuri pantai-pantai timur Sumatera. Pelabuhan Perlak di Aceh dan Melayu di muara sungai Batanghari Jambi menjadi pelabuhan terpenting tempat berlabuhnya kapal-kapal besar.

Tak hanya makmur secara ekonomi, Perlak juga menjadi pusat dakwah Islam di Nusantara selama 300 tahun. Sultan-sultan yang memerintah Perlak menaruh perhatian besar pada dakwah Islam. Mereka mendatangkan ulama-ulama dari jazirah Arab dan mengirimkannya untuk tugas dakwah ke Malaka, Champa, wilayah-wilayah sepanjang pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Maluku. Perlak menjadi pintu masuk cahaya Islam ke Nusantara, hingga dijuluki sebagai serambi kota Mekah.

Sultan Ibrahim Syah menaruh perhatian penting pada pendidikan. Di setiap kampung, Sultan mendirikan meunasah sebagai tempat pendidikan Islam dasar yang dikelola oleh seorang Teungku Meunasah. Di tingkat lanjut, didirikan pendidikan setingkat SMP dengan nama Dayah yang dikelola oleh seorang Teungku Lube. Lulusan Dayah dapat melanjutkan pendidikan ke Dayah Cut (setingkat SMA). Perlak bahkan sudah mempunyai perguruan tinggi yang disebut Dayah Chik.

Atas jasa raja-raja Perlak, Islam menjadi agama penting dan pusat peradaban di Nusantara bagian barat. Di abad ke-13, telah muncul beberapa pusat peradaban Melayu dan berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam seperti Malaka dan Samudera Pasai. Untuk memperkuat hubungan antar kerajaan Islam, Sultan Muhamad Amin Syah II menikahkan anaknya, Putri Ratna Kemala, dengan Sultan Muhamad Syah dari kerajaan Malaka. Anaknya yang lain, Putri Ganggang, ia nikahkan dengan Sultan Malik al-Saleh dari kerajaan Samudera Pasai. Persekutuan 3 kerajaan ini makin memperkokoh wilayah Aceh dan Malaka sebagai pusat perdagangan dunia yang menghubungkan pedagang-pedagang dari Arab, Persia, Cina, dan Nusantara.

Pasca wafatnya sultan Perlak ke-18, Sultan Abdul Aziz, Perlak disatukan dengan kerajaan Samudera Pasai. Peristiwa itu terjadi di tahun 1292 saat Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Muhamad Malik al-Zakir, putera sultan Malik al-Saleh sekaligus cucu sultan Perlak ke-17 Sultan Muhamad Amin Syah II. Sejak itu kebesaran Aceh dipegang oleh para sultan Samudera Pasai hingga tahun 1521 saat Portugis menyerang dan menguasai Samudera Pasai dalam usaha mencapai ambisinya menguasai perdagangan rempah-rempah Nusantara. [Sumber: www.fatchuri.com] [DDHK News]

Fatchuri Rosidin adalah Direktur IMZ Consulting, konsultan dan pembicara publik di bidang motivasi, pengembangan SDM, leadership, parenting, dan pemberdayaan masyarakat.

Baca juga:

×