ArtikelHikmah

Kita Hidup di Empat Alam

MENGETAHUI eksistensi diri, termasuk siapa kita, untuk apa, dan mau ke mana, diikuti kesadaran penuh untuk menerimanya, merupakan langkah baik menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. “Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan”, kata Imam Al-Ghazali, merujuk pada Hadits Nabi Saw, “Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya” (man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu).

Yang dimaksud “mengetahui tentang diri”, kata al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita seperti bentuk muka atau anggota tubuh lainnya; bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi? Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian al-Ghazali.

Salah satu jalan pembuka untuk itu (mengenali keberadaan diri di dunia ini) adalah dengan menyadari bahwa kita telah, sedang, dan akan hidup di empat alam –sebagaimana diisyaratkan al-Quran. Yaitu, alam ruh (QS 7:172), alam dunia (QS 43:32), alam barzakh (QS 23:100), dan alam akhirat (QS 29:64).

Alam Ruh

Alam Ruh yaitu alam di mana umat manusia masih berwujud ruh tanpa raga/jasad. Quran mengisyaratkan, pada waktu itu umat manusia telah secara sepakat bulat mengakui Allah SWT sebagai Tuhan –satu-satunya Tuhan yang akan disembah atau tempat mengabdi.

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu hendak mengembangbiakkan keturunan Adam dari tulang sulbi mereka, lalu diminta-Nya pengakuan mereka atas jiwanya masing-masing: ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Benar, kami mengakui Engkau Tuhan kami’. Hal ini kami lakukan agar nanti di hari kiamat kalian tidak mengatakan: ‘Kami dahulu lupa tentang perjanjian ini’. (QS 7:172)

Ayat tersebut pun mengisyaratkan, semua umat manusia dilahirkan keadaan “Muslim”. Hal ini didukung oleh sebuah hadits yang mengatakan, semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan kedua orangtuanyalah yang bisa menjadikan mereka seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hadits ini tidak menyebut kata Muslim, artinya kata itu sudah inheren dalam kata fitrah.

Alam Dunia

Setelah alam ruh dilalui, manusia menuju dan hidup di alam dunia. Alam ini merupakan alam di mana manusia dihadapkan pada berbagai cobaan, untuk menguji apakah manusia benar-benar menjadikan Allah SWT sebagai Tuhannya. Jadi, dunia ini merupakan ajang ujian dari-Nya.

“Sesungguhnya Kami telah jadikan segala yang ada di bumi ini untuk perhiasan bagi bumi itu sendiri dan penghuninya, untuk menguji siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya.” (QS al-Kahfi:7).

Alam dunia merupakan tempat di mana manusia dituntut untuk melaksanakan atau membuktikan pengakuannya ketika di Alam Ruh (mengakui Allah SWT sebagai Tuhan).

Diakuinya Allah SWT sebagai Tuhan, ketika manusia berada di alam ruh, karena pada waktu itu tidak ada hal-hal yang menggoda yang dapat memalingkan manusia dari-Nya. Di dunia inilah segala godaan itu muncul, dan manusia dituntut keteguhannya menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan (ilah) yang mengendalikan hidupnya, tempat berbaktinya, dan kepada siapa menyembah (beribadah).

Alam Dunia merupakan juga tempat persinggahan manusia –sebagai pengelana– menuju tujuan akhir dari hidupnya, yakni Alam Akhirat dengan “alam transit”-nya di Alam Barzakh atau Alam Kubur. Di Alam Dunia inilah manusia harus pandai-pandai mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhiratnya, berupa amal saleh (ibadah).

Imam al-Ghazali mengibaratkan dunia ini sebagai sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir di tengah perjalanannya ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai pembekalan untuk perjalanan itu.

Untuk menguji pengakuan atau keimanan manusia pada Allah SWT, di alam dunia ini Allah SWT memberikan garis ketentuan yang harus diikuti agar manusia selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Garis ketentuan tersebut tidak lain adalah syariat Islam yang berintikan ajarah tauhid (keesaan Allah SWT).

Untuk memahamkan dan membimbing manusia mengikuti garis ketentuan tersebut, Allah SWT mengangkat diantara manusia sebagai utusan-Nya (Rasul) dengan Rasul terakhirnya Muhammad Saw.

Manusia dalam menjalani hidupnya di dunia ini berstatus sebagai makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, sebagai khalifah-Nya yang harus mewujudkan sifat-sifat Ilahiyah sebatas kodrat kemanusiaannya, dan sebagai pengemban amanah-Nya yang harus menegakkan ajaran-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39).

Setelah Alam Dunia dilalui, manusia akan pergi menuju alam akhirat yang kekal, melalui kematian (ajal), untuk mempertanggungjawabkan segala amal di dunia, baik atau buruk, dan hidup kekal di sana dalam kebahagiaan jika amal kita baik dan menderita jika amal kita buruk. Di alam akhiratlah kebahagiaan dan penderitaan hakiki berada.

Alam Barzakh

Sebagai “alam transit” menuju alam akhirat, manusia lebih dulu tinggal di alam barzakh atau alam kubur, sampai hari kebangkitan tiba.

“(Orang kafir itu senantiasa tidak ingat akan akibat kejahatannya), sehingga manakala kematian datang pada salah seorang dari mereka, baru dia menyesal, katanya, ‘Ya Tuhanku, hidupkanlah aku kembali, agar aku dapat memperbaiki kembali perbuatanku dalam perkara kebajikan yang kusia-siakan itu!’ Tidak, itu hanya alasan belaka. Di belakang mereka terdapat sebuah ’sekat’ (yang menghalangi mereka untuk kembali ke dunia) hingga menjelang hari pembangkitan nanti.” (QS 23:99-100)

Yang dimaksud ’sekat’ dalam ayat di atas adalah alam barzakh. Alam barzakh, menurut sebagian mufasir, adalah semacam dinding yang menghalangi manusia antara dunia dan akhirat. Orang yang sudah meninggal berada di sana sampai datangnya Hari Berbangkit (kiamat).

Di alam barzakh ini, berdasarkan hadits-hadits Nabi Saw, siksaan bagi pendosa mulai diberlakukan. Demikian juga kebahagiaan bagi pembuat amal saleh mulai dirasakan.

Alam Akhirat

Kehidupan di alam dunia ini hanyalah sementara dan bukan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Kehidupan yang sebenarnya dan abadi adalah kehidupan di alam akhirat.

“Kehidupan dunia ini tidak lain hanya sebagai hiburan dan permainan. Kehidupan yang sebenarnya ialah kehidupan akhirat, kalau mereka itu mengerti.” (QS 29:64)

Setelah “transit” di alam barzakh, manusia memasuki alam yang hakiki dan abadi, yakni alam akhirat. Di alam akhirat semua manusia dibangkitkan kembali dan dikumpulkan semuanya. Diperlihatkanlah kepada mereka seluruh amalnya, baik atau buruk, ketika di dunia.

Al-Quran menggambarkan suasana alam akhirat, seperti tercantum dalam QS 23:101-118, antara lain:

* Masing-masing manusia memikirkan dan mencemaskan nasibnya, sehingga hubungan kekeluargaan tidak ada lagi, juga saling tegur-sapa.

* Semua amal perbuatan manusia selama hidupnya di dunia ditimbang atau dihitung (dihisab). Siapa yang lebih berat amal kebaikannya, ia beruntung dan masuk surga. Siapa yang ringan timbangan amal baiknya (lebih berat amal buruknya), maka itulah orang merugi dan kekal di dalam neraka. Wallahu a’lam bish-shawab. (ASM. Romli/ddhongkong.org).*

Baca juga:

×