DDHK.ORG – Istinja dengan tisu apakah dianggap sah dan diperbolehkan secara hukum fiqh? Secara nih di berbagai toilet umum seperti di hotel, mal, dan perkantoran, hal ini sudah lazim. Simak yuk uraian berikut.
Alat istinja yang disebutkan dalam hadis-hadis adalah air dan batu. Penyebutan batu dalam hal ini adalah karena sama-sama dapat menghapus benda najis tersebut dari tempatnya, baik qubul maupun dubur sebagaimana air juga dapat menghanyutkan najis tersebut.
Rasulullah bersabda;
مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ
“Siapa yang berwudhu, maka basuhkan rongga hidungnya. Dan yang beristinja’ dengan batu, maka ganjilkanlah”
Dalam hadis di atas tidak ada pembatasan alat yang digunakan untuk beristinja’ tersebut harus berupa air dana harus batu, yang artinya seseorang dapat menggunakan alat lainnya yang memiliki sifat yang dapat menghilangkan najis kotoran tersebut sebagaimana air dan batu seperti kertas, tisu, kayu, dsb.
Beristinja pun tidak wajib harus dengan air meskipun itu lebih afdhal, sehingga Imam al-Syirazi dalam al-Muhadzzab mengatakan;
“Jika seseorang beristinja’ hanya dengan batu saja, maka dia harus melakukan dua syarat : (1) Batu itu harus bisa menghapus kotoran najis tersebut sehingga tidak ada bekas lagi kecuali hanya bekas yang hanya dapat dihilangkan dengan air, (2) Harus dilakukan sebanyak tiga kali usapan, karena terdapat riwayat seseorang berkata kepada Salman (al-Farisi) radhiyallahu ‘anhu ; Nabimu telah mengajarkan segala hal hingga soal buang air besar. Lalu Salman mengiyakan, dan berkata, Nabi melarang kita mengusapkan batu kurang dari tiga batu, lalu jika seseorang beristinja’ dengan satu batu namun dengan tiga kali usapan (pada sisi berbeda) maka itu sudah cukup, karena yang dituju adalah tiga kali usapannya, yang dengannya seseorang telah melakukan istinja”.
Berdasarkan keterangan ini, jika tisu memang dapat menghilangkan najis sebagaimana air dan batu, maka statusnya sama-sama dapat digunakan untuk beristinja’. Wallahu a’lam. [DDHK News]