Suami Kelewat Pelit, Saya Harus Bagaimana?
Assalamu’alaikum. Ustadz, saya mau bertanya.
Suami saya semakin hari semakin pelit. Lalu, bagaimana menurut hukum Islam?
Ceritanya, pada awal Agustus saya bekerja menjadi relawan vaksin dengan gaji di atas UMR (upah minimum regional). Tapi karena suami saya usaha buka warungnya di rumah mertua saya, dia jadi kuatir saya membawa virus Covid kalau saya pulang kerja, dengan alasan saya kerjanya menghadapi kerumunan orang yang mau disuntik vaksin setiap hari.
Saya pun dipaksa suami mengundurkan diri dari pekerjaan. Saya menuruti untuk mengundurkan diri, ustadz. Padahal, kondisi saya enggak punya uang.
Sebetulnya, saya kerja, selain ingin punya pemasukan, juga ingin membantu perekonomian orang tua saya, yang kebetulan merawat anak pertama saya. Biaya anak saya semuanya ditanggung orang tua saya, karena anak saya dari suami pertama saya. Suami saya yang sekarang blass enggak pernah membantu membiayainya.
Sekali lagi, saya mengalah dan mengundurkan diri dari pekerjaan yang saya dapatkan, demi mempertahankan hubungan rumah tangga. Saya pikir, suami saya mau berubah, agak longgar dalam menafkahi saya. Tapi ternyata, tetap saja jatah saya diberi uang harian, sehari Rp25 ribu.
Itu sempit sekali, sebab sayuran serba mahal. Selain itu, kendaraan seperti mobil dan motor juga disimpannya di rumah oorang tuanya. Kadang, suami pulang ke rumah malah naik ojeg. Padahal, kendaraan yang layak pun ada. Motor 4, mobil 2, tapi jarang dibawa pulang.
Saya sudah malas membahasnya dengan suami tentang masalah ini, cuma bisa membatin dan kesakitan di dalam hati. Saya kurang apa sebagai istri? Tidak ada perubahan sama sekali dari suami saya. Malah, dia semakin pelit. Jadi saya enggak semangat mendoakan usaha dan rejekinya.
Saya juga tidak semangat lagi dalam keseharian saya. Saya sudah lelah sekali mendoakan supaya suami saya tidak pelit sekali seperti ini. Hati saya semakin terpuruk.
Lalu, saya harus bagaimana, Ustadz?
Terima kasih, Ustadz.
Salam, Fulanah
JAWAB:
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.
Bismillah… Saudariku yang dirahmati Allah SWT. Menjalankan bahtera rumah tangga tidaklah mudah. Kita akan dihadapkan tanggung jawab besar di dalamnya. Setiap anggota keluarga tentunya mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing. Di antaranya adalah nafkah lahir dan batin seorang suami terhadap istrinya. Namun terkadang, seorang istri dihadapkan pada suami yang pelit dan kikir. Islam sangat mencela sifat pelit dan kikir, bahkan itu termasuk amalan yang telah membinasakan kaum-kaum sebelumnya.
Memberikan nafkah harta kepada istri merupakan amalan utama bagi suami. Rasulullah ﷺ bersabda:
وإنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت بها، حتى ما تجعل في في امرأتك. (متفق عليه)
“Dan sesungguhnya engkau tidak akan berinfak dengan sesuatu melainkan engkau akan diberi pahala karenanya, sehingga engkau menjadikannya pada mulut istrimu”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Maksud hadits di atas adalah bahwa infak seorang lelaki yang sudah menikah tidak akan diterima Allah sehingga ia menafkahi istrinya terlebih dahulu.
Namun apabila seorang suami mempunyai sifat pelit dan kikir, serta tidak memberi nafkah yang cukup kepada istrinya atau kurang, maka istri berhak mengambil harta suaminya dengan makruf atau sesuai kebutuhannya saja. Hal ini sesuai dengan riwayat Ummul mukminin Aisyah, bahwa Hindun binti Utbah menghadap Rasulullah ﷺ seraya berkata:
يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم فقال خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف. (متفق عليه)
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki pelit, ia tidak memberi harta yang cukup untuk diriku dan anakku kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Rasulullah bersabda: Ambillah hartanya yang cukup untuk dirimu dan anakmu dengan makruf”. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Adapun nafkah kepada anak tiri, maka seorang lelaki tidak wajib memberikannya. Namun Islam sangat menganjurkan berbuat baik kepada siapapun.
Jika ada suami dan istri bercerai, dan mempunyai anak hasil dari pernikahannya, maka ayahnya tetap wajib menafkahi anak kandungnya meskipun ia sudah bukan lagi menjadi suami bagi ibu anaknya. Namun jika suami meninggal dunia, maka yang berkewajiban menafkahi anak tersebut adalah saudara-saudara ayahnya atau paman-pamannya.
Semoga suadariku bisa bersabar menghadapi situasi seperti ini, tetap menjadi istri yang baik, nasihati suami dengan lembut dan baik, serta selalu memohon kepada Allah SWT agar diberikan jalan keluar.
Wallâhu a’lam bish-showâb.
Salam!
(Dijawab oleh: Ustadz Very Setiyawan, Lc., S.Pd.I., M.H.)
#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419. [DDHKNews]