ArtikelHikmah

Seputar Shalat Jama’ dan Qashar

Islam adalah Agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal, berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya dengan rukhsah (keringanan/kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.

Sungguh, sebuah hal yang ironis jika hari ini kita tidak tahu akan berbagai macam kemudahan dalam Islam sehingga kita merasakan beratnya menjalankan agama ini. Padahal kemudahan tersebut bahkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan kita, baik itu dalam hal aqidah, ibadah, syariat maupun muamalah. Telah banyak dalil dari al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan kepada kita akan hal ini.

Di antaranya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah : 185). Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda : ” Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). ….” (HR. Bukhari).

Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas salah satu di antara berbagai kemudahan dalam agama ini, yakni shalat jama’ dan qashar. Semoga Allah memberikan taufiqNya.

SHALAT JAMA’
Menjama’ shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan ‘Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir.[ Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317].
Jama’ taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan ‘Isya’ dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama’ ta’khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan ‘Isya’dikerjakan dalam waktu, Isya’, Jama’ ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. [Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177].

Menjama’ (menggabungkan) shalat boleh dilakukan karena beberapa sebab, di antaranya :

[1]. Safar (Perjalanan).
Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila akan bepergian sebelum matahari bergeser ke arah barat, beliau menangguhkan shalat dzuhur kemudian (setelah tiba waktu ashar beliau singgah (di suatu tempat), lalu menjama’ keduanya dan apabila matahari tergelincir sebelum berangkat, maka beliau shalat dzuhur, kemudian berangkat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Tabuk apabila akan bepergian sebelum matahari tergelincir bergeser ke arah barat, Rasulullah mengakhirkan shalat dzuhur hingga menjama’nya dengan shalat ashar, beliau mengerjakan keduanya secara jama’. Apabila akan berangkat sebelum maghrib Rasulullah mengakhirkan hingga mengerjakannya dengan shalat isya’ yaitu menjama’nya dengan maghrib dan apabila akan berangkat setelah maghrib, Rasulullah menjama’ shalat isya dengan shalat maghrib.” (HSR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

[2]. Hujan.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjama’ antara dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’ di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena hujan.” (HR. Muslim).

Riwayat di atas menunjukkan bahwa menjama’ shalat karena hujan sudah dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, andaikata tidak demikian tentu tidak bermanfaat menafikan hujan sebagai sebab bolehnya menjama’ shalat. Demikian menurut penjelasan Syaikh al-Albani dalam Irwa-ul GhaIil III: 40.

[3]. Kepentingan yang Mendesak.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjama’ shalat dzuhur dengan shalat ashar di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena safar.” Abu Zubair bertutur, “Saya pernah bertanya kepada Sa’id, “Mengapa Rasulullah berbuat demikian itu?”, maka jawabnya, “Saya pernah bertanya kepada lbnu Abbas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku ini, maka jawab Ibnu Abbas, “Rasulullah tidak ingin memberatkan seorangpun dari kalangan ummatnya.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no: 1068).

Namun, dalam kondisi di atas, Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Sejumlah ulama’ berpendapat bolehnya menjama’ di waktu muqim karena ada hajat (mendesak) (hukumnya) boleh, asalkan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan (Lihat Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219).

Menjama’ Shalat Jum’at dan Shalat Ashar

Menjama’ shalat jum’at dengan ashar, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dan Ashar.

Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378).

Tentang shalat jumat dalam safar, kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat jum’at bersama mereka. [Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370].

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum’at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada’ beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama’ (digabung) dengan Ashar [Lihat : Hajjatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73].

Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur.[Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216].

SHALAT QASHAR

Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat.   [Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Al Mu’jam Al Washit hal 738].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya : ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir” [QS. An-Nisaa’: 101].

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar bin Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat : “Jika kamu takut di serang orang-orang kafir”, padahal (saat ini) manusia telah aman ? Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab : Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab : (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut. [HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami’li Ahkamil Qur’an, Al- Qurthubi 5/226-227]

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata : Aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta’ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” [QS. Al-Ahzaab : 21]. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jarak Safar Untuk Qashar Bagi Musafir

Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak musafir yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Mazhab Hanafi menentukan jaraknya minimal perjalanan tiga hari tiga malam dan tidak mesti perjalanan itu dari pagi sampai sore, tetapi cukup dengan perjalanan dari pagi sampai tergelincir matahari. Sementara jumhur ulama menentukan jarak perjalanan yang membolehkan qashar itu perjalanan selama dua hari atau dua marhalah dengan perjalanan berbeban.

Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, jarak perjalanan tersebut ditaksir empat barid atau 16 farsakh atau 48 mil. Satu mil sama dengan 3500 hasta. Ini ditaksir 89 km atau tepatnya 88,704 km.

Sebagian ulama lainnya, seperti Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata : Tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya.

Dalam hal ini, Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata : ”Dalam suatu nazham (sya’ir kaidah fiqh) disebutkan : ”Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara’, maka lindungilah dengan ketentuan adat (kebiasaan) suatu tempat (‘urf)”.

Jadi, setiap itu disebut safar menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tersebut safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar. Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

“Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menurut ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i. (Lihat Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227)

Batas Wilayah Mengqashar Shalat

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. [Lihat Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138]. Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Safar itu dimulai dari keluarnya seseorang dari negeri/daerahnya, terhitung dari batas daerahnya.

Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.

Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamdi kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at” .[HR. Bukhari dan Muslim].

Sampai Kapan Mengqashar Shalat ?

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk di dalamnya imam empat berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa’di, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun.

Karena tidak ada satu dalil pun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya : Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR. Bukhari).

Dari dalil ini jelaslah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niat untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. [Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312].

Jama’ Dan Sekaligus Qashar

Tidak ada kelaziman antara jama’ dan qashar. Musafir disunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama’, yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada’, yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama [Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam karya Al-Albani].

Beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam pernah melakukan jama’ sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309]. Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam selalu melakukan jama’ sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[Lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz].

Musafir Shalat Di Belakang Muqim

Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang muqim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang muqim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya diqashar (dua raka’at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya : Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab : Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”¨ (HSR.Ahmad, Lihat Irwa’ul Ghalil no.571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317).

Musafir Menjadi Imam Orang Muqim

Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang muqim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang muqim meneruskan shalat mereka (setelah salam) sampai selesai (empat raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia hendak  shalat qashar. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir. (HR. Abu Dawud).

Beliau shallallahu alaihi wa’ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. [Lihat Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269]. Wallahu A’lam. (sumber: http://al-munir.com).*

Baca juga:

×