ArtikelHikmah

Seimbangkan Dunia dan Akhirat!

ISLAM mengajarkan umatnya untuk hidup seimbang antara memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat, antara memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, atau antara material dan spiritual.

Keseimbangan dunia-akhirat itu dalam pengertian praktisnya adalah bekerja (yang halal) untuk cari harta (nafkah), tapi jangan lupakan kewajiban agama (amal ibadah)! Atau sebaliknya, rajinlah beribadah, tapi jangan lupakan kewajiban bekerja mencari nafkah!

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi…” (Q.S. 28:77).

“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan mati besok” (H.R. Baihaqi).

“Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang  meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia” (H.R. Ibnu ‘Asakir dari Anas).

Islam sangat menekankan umatnya agar bekerja, mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini dengan tangan sendiri. Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada siang hari).

“Dan Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan” (Q.S. An-Naba’:11).

“Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih” (Q.S. Al-A’raf:10).

“Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah” (Q.S. A-Jum’ah:10).

“Demi, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain…” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Bekerja mencari rezeki untuk memberi nafkah keluarga bahkan digolongkan beramal di jalan Allah (Fi Sabilillah). Sebagaimana Sabda Nabi Saw:

“Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan” (H.R. Thabrani).

Rasulullah Saw pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik” (H.R. Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).

Dari sejumlah nash  di atas, maka dapat disimpulkan, Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja. Karenanya, dalam Islam bekerja termasuk ibadah karena bekerja termasuk kewajiban agama.

Islam tidak menginginkan umatnya melulu melakukan ibadah ritual yang sifatnya berhubungan langsung dengan Allah (hablum minallah), tetapi menginginkan umatnya juga memperhatikan urusan kebutuhan duniawinya sendiri (pangan, sandang, dan papan), jangan sampai menjadi pengangguran, peminta-minta, atau menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada orang lain. Wallahu a’lam. (ed/localhost/project/personal/ddhongkong.org/ddhongkong.org).*

Baca juga:

×