ArtikelHikmah

Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Dalam Al-Qur’an

Oleh: Ustadz Rochmad, M.A. (Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia–IIUM)

DALAM Al-Qur’an hampir tidak ditemukan sebuah ayat yang nihil dari unsur pendidikan, karena Rasulullah SAW sendiri telah berikrar bahwa beliau diutus sebagai pendidik dan pemandu umat. Untuk itu begitu banyak konsep-konsep, teori-teori, maupun praktek pendidikan yang dapat ditemukan isyaratnya dalam Al-Quranul-Karim. Berapa banyak penelitian dan karya tentang pendidikan dalam Al-Qur’an yang telah lahir dengan berbagai macam sudut pandang, semuanya memiliki sisi kebenaran yang kuat, sekaligus sebagai bukti bahwa Al-Qur’an hammalun dzu wujuh, atau memiliki makna yang luas dan beraneka ragam, sehingga saling menguatkan dan saling melengkapi.

Tulisan ini merupakan salah satu dari proses tersebut, proses mengarungi samudra Al-Qur’an yang tak bertepi untuk menemukan mutiara-mutiara yang beraneka ragam tentang pendidikan dalam Al-Qur’an.

Keteladanan Merupakan Kunci Utama Pendidikan

Keteladanan lebih baik dari seribu nasihat dan sejuta arahan, demikian pepatah berpesan. Untuk itulah Allah SWT mengutus seorang Rasul sebagai role model bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman-Nya:

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab: 21)

Rasulullah SAW sukses mendidik para sahabat dan selalu berada di tengah-tengah mereka dalam segala macam aktivitas. Rasulullah SAW bukanlah sosok pemimpin dan pendidik yang berada di belakang meja. Beliau merupakan figur dalam segala aspek kehidupan: Mulai dari ibadah, politik, keluarga, perang, dan lain sebagainya.

Dalam beribadah, seringkali terdengar kisah bahwa kaki Rasulullah SAW sampai bengkak akibat sering melakukan shalat sunnah di malam hari. Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mendirikan shalat, dan Rasul pun tampil sebagai teladan yang paling depan, walaupun telah dijanjikan surga untuknya.

Dalam peperangan Rasulullah SAW selalu tampil paling depan, terutama dalam 27 peperangan yang dipimpin olehnya. Bahkan dalam sebuah riwayat dikatakan, ketika Perang Khandaq beliau mengikatkan batu di perutnya dan turut berpartisipasi membangun parit yang begitu besar. Beliau selalu membaur bersama para sahabat, duduk di bawah, tidur di kasur yang sangat keras, dan tidak jarang berpuasa karena tidak ada makanan yang dapat dimakan.

Ketawadhuan Rasulullah SAW sangat banyak sekali. Contohnya, Rasulullah saw. seringkali menolak barangnya untuk dibawakan oleh orang lain, beliau bersabda:

صاحب شيء أحق بحمله
“ pemilik suatu barang lebih berhak untuk membawa barangnya sendiri.”

Dan tentu saja, masih sangat banyak sekali kisah-kisah keteladanan Rasulullah SAW yang tidak akan habis untuk diceritakan dan ditulis. Para pendidik diharapkan mampu meniru Rasulullah SAW, selalu hadir dalam setiap kegiatan peserta didik, entah di lingkungan keluarga maupun sekolah dengan keteladan yang total dan penuh jiwa.

Mengasah Kemampuan Tafakkur dan Tadabbur

Begitu banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk tafakkur dan tadabbur. Maka bagi para pendidik diharapkan memiliki kemampuan yang baik. Dalam hal ini agar dapat menularkannya kepada para peserta didik, entah di lingkungan sekolah maupun keluarga, karena salah satu tujuan pendidikan adalah mengantarkan siswa untuk mampu berpikir dengan benar, sistematis, metodologis, kritis, radikal hingga ke akar, dan sampai kepada hikmah. Spirit tafakkur dan tadabbur salah satunya dapat dijumpai dalam firman Allah SWT:

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shad: 29)

Tafakkur yang diajarkan dalam Al-Quran biasanya mengacu kepada aktivitas merenungi kebesaran Allah lewat ciptaan-Nya, khususnya alam semesta, untuk kemudian dapat mempertebal keimanan dan ketaqwaan. Lalu muara dari keimanan dan ketaqwaan yang hakiki akan nampak dalam perilaku sehari-hari. Untuk itu bagi para pendidik seyogyanya bukan hanya mengajarkan cara berpikir yang rasional dan sistematis, akan tetapi harus sampai kepada nilai-nilai tauhid yang benar dan berimbas kepada perubahan perilaku.

Dikisahkan bahwa para sahabat pun ketika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Quran tidak akan berpaling dari ayat tersebut sebelum benar-benar paham dan mengamalkannya. Maka para sahabat berkata:

فتعلمنا القرآن والعلم والعمل جميعا
“kita mengkaji Al-Quran sekaligus mendalami maknanya dan langsung mempraktekannya sekaligus”.

Memperhatikan Momen dan Even Yang Tepat Dalam Mendidik

Allah dan Rasul-Nya mendidik umat secara praktis, aplikatif, faktual, dan membumi. Inilah pelajaran dan hikmah dari asbabu nuzuli ayah (sebab turunnya ayat) atau asbabu wurudil-hadits (sebab-sebab adanya sebuah hadits).

Ketika Perang Badar misalnya, turunlah surah Al-Anfal, sehingga surah ini disebut juga dengan Surah Badar. Surah ini turun pada waktu dan momen yang tepat, yaitu ketika sebuah peristiwa besar terjadi. Jika Allah dan Rasul-Nya diibaratkan sebagai pendidik, keduanya menyampaikan pesan pendidikan yang penting pada saat yang tepat, sehingga materi yang disampaikan bisa sangat membumi.

Dalam dunia pendidikan saat ini, alangkah baiknya jika para pendidik berusaha untuk mengaitkan pesan pendidikan kepada kejadian dan fakta yang nyata. Hal tersebut membantu para murid untuk bisa menyikapi kenyataan dan mempraktekkan ilmunya di masyarakat, serta memiliki nalar dan analisa terhadap sebuah fenomena.

Membumikan ilmu menjadi pekerjaan besar para pendidik. Misalnya dalam sebuah praktek pendidikan, para pendidik menyampaikan materi tentang keihklasan, kesabaran, dan tidak tabdzir ketika puasa Ramadhan. Hal ini akan membuat ilmu sangat melekat karena para peserta didik bisa langsung mengamalkan atau bahkan sempat mengevaluasi perilakunya sendiri.

Memperhatikan Keadaan Anak Didik

Sudah menjadi sunnatullah bahwa makhluk di muka bumi ini diciptakan dengan kemampuan yang berbeda-beda, entah dari kemampuan fisik maupun intelektual. Untuk itu Islam mengajarkan agar benar-benar memperhatikan kondisi anak didik dalam menyampaikan pengajaran. Allah SWT berfirman:
لَيۡسُواْ سَوَآءٗۗ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ أُمَّةٞ قَآئِمَةٞ يَتۡلُونَ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ وَهُمۡ يَسۡجُدُونَ
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang)” (QS. Ali Imran: 113)

Kemudian dalam surat Al-Baqarah:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286)

Terkait hal ini begitu jelas pula digambarkan dari sikap Rasulullah saw. Rasul bersabda:

حدثوا الناس بما يعرفون, وفي بعض الروايات: على قدر عقولهم
“Sampaikan kepada manusia sesuai apa yang mereka ketahui” atau dalam riwayat lain dikatakan: “sesuai dengan kemampuan intelektual mereka” (Fathul Bari, Hadits 49)

Maka Rasulullah SAW ketika menjawab suatu pertanyaan jawabannya bisa berbeda-beda sesuai dengan lawan bicaranya. Misalnya ketika Rasul ditanya: “siapakah orang Islam yang paling baik dan perbuatan apa yang dapat mengantarkannya ke surga?” Untuk menjawab pertanyaan seperti ini Rasulullah SAW memiliki banyak jawaban. Muslim yang baik adalah: “Orang yang membuat saudara Muslim lainnya selamat dari perkataan dan perbuatannya.” Di lain kesempatan Rasul bersabda: “perbuatan seorang Muslim yang paling baik adalah menyembah hanya kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan puasa Ramadhan.” Dalam riwayat lain: “jihad di jalan Allah dan Haji mabrur.” Berikutnya: “memberi makan orang faqir, menyampaikan salam kepada orang yang dikenal atau yang tidak dikenal.” Bagi orang tertentu beliau menjawab: “katakan dan ikrarkan bahwa kamu beriman kepada Allah kemudian istiqomahlah”.

Ini tidaklah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW itu plin plan, akan tetapi ini menjadi pelajaran bagi umat Islam bahwa Rasulullah SAW memberikan jawaban sesuai dengan lawan bicaranya. Begitu pula para pendidik, seyogyanya menyampaikan pesan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan kemampuan pesdik.

Menggunakan Wasailul Idhoh (Alat Peraga) Dalam Pendidikan dan Pengajaran

Al-Quran seringkali menyebut kata sam’u (pendengaran), bashar (penglihatan), kemudian qolb/afidah (hati), sebagaimana yang didapati dalam firman-Nya:

قُلۡ هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَكُمۡ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفۡ‍ِٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ
“Katakanlah: “Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al-Mulk: 23)

Allah SWT bermaksud untuk menyentuh fitrah manusia lewat sindiran kepada fungsi pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai pintu masuknya hidayah dan segala macam kebaikan. Dengan penyebutan kepada hal-hal yang visual tersebut diharapkan akan lebih membekas bagi manusia dan membangkitkan nalar serta nurani yang tulus, hingga sampai kepada titik kesadaran.

Al-Qur’an pun sering menggunakan tasybih (permisalan atau perumpamaan), misalnya firman Allah SWT:

يَوۡمَ يَكُونُ ٱلنَّاسُ كَٱلۡفَرَاشِ ٱلۡمَبۡثُوثِ ٤ وَتَكُونُ ٱلۡجِبَالُ كَٱلۡعِهۡنِ ٱلۡمَنفُوشِ ٥
“4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran 5. dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan” (QS. Al-Qariah: 4-5)

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)

Dalam hadits pun ditemukan banyak sekali permisalan-permisalan. Salah satunya adalah sabda Rasulullah SAW dalam kitab Riyadus Sholihin hadits 1039:

عن أبي هريرة رضي الله عنه: سمعت رسول الله يقول: أرأيتم لو أن نهرا بباب أحدكم؟ يغتسل منه كل يوم خمس مرات هل يبقى من درنه شيء؟ قالوا: لا يبقى من درنه, قال: فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن بين الخطايا
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “bagaimana jika ada sebuah sungai di depan rumah salah satu dari kalian? lalu membersihkan diri dengannya sebanyak 5 kali sehari, masihkah ada kotoran yang tersisa?, mereka berkata: “tidak ada sisa sedikitpun”, lalu Rasul melanjutkan: “maka itulah permisalan dari shalat 5 waktu, Allah SWT menghapus semua dosa lewat shalat.”

Rasulullah SAW pun sering menggunakan isyarat tangan dan anggota tubuh, sebagaimana beliau menggambarkan kedekatan beliau dengan anak yatim seperti jari telunjuk dan jari tengahnya (sambil menunjukkan jarinya).

Yang tidak kalah penting dari semua penjelasan ini adalah bahwa pendidikan harus dibangun lewat sentuhan jiwa dan doa. Maka sebaik-baiknya hubungan antara pendidik dan peserta didik adalah hubungan ubuwwah (mengayomi sebagai orang tua) dan bunuwwah (anak didik sebagai anak), sebagaimana Rasulullah SAW melewati semua sekat-sekat formal dalam mendidik para sahabat, berbaur dan melebur dalam bingkai kekeluargaan.#

Baca juga:

×