ArtikelHikmah

Pendidikan Keluarga dalam Al-Qur’an

DDHK.ORG — Ada lima tujuan dari tegaknya syariat Islam (Maqoshid asy-Syariah). Yaitu:

  1. Menjaga jiwa;
  2. Menjaga harta;
  3. Menjaga akal;
  4. Menjaga agama;
  5. Menjaga keturunan.

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (Surah Al-Isra: 9)

Pemenuhan hak dan kewajiban keluarga dalam Islam

Konsep pendidikan keluarga menurut pandangan Al-Qur’an adalah acuan terbinanya keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah. Allah berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)

Tentunya, juga harus mengikuti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, bagaimana bergaul dengan istri, anak, keluarga, dan masyarakat.

Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Suami memiliki tanggung jawab besar di dalam keluarga. Kewajibannya memberikan mahar kepada istri (QS An-Nisa:4 dan 24), serta memberikan nafkah (kebutuhan-kebutuhan), sehingga memiliki satu tingkatan lebih tinggi dari istrinya (QS Al-Baqarah: 233 dan QS At-Talaq: 7).

Kewajiban suami lainnya adalah menggauli istrinya dengan cara yang baik (QS An-Nisa:19). Menurut Azar Basyir, menggauli istri dengan cara ma’ruf itu mencakup 3 hal. Yaitu:

  1. Sikap menghormati, menghargai, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan.
  2. Menjaga dan melindungi nama baik istri.
  3. Memenuhi kebutuhan biologisnya.

Kewajiban istri terhadap suaminya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung, tapi dalam bentuk nonmateri, seperti taat dan patuh kepada suaminya (QS An-Nisa: 34) dalam batasan syariat Islam. Selain itu, istri juga harus mengupayakan untuk melaksanakan fungsi reproduksi secara baik dan sehat. Adapun penentuan kapan dan jumlah keturunannya, dilakukan dengan musyawarah diantara keduanya (QS Asy-Syuura: 38).

Sedangkan kewajiban bersama suami dan istri, menurut Syafrudin, bentuknya ada 3. Yaitu:

  1. Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakekat sebenarnya dari sebuah perkawinan (QS An-Nisa: 19 dan Al-Baqarah: 187).
  2. Timbulnya hubungan suami edngan keluarga istrinya dan sebaliknya: hubungan istri dengan keluarga suaminya.
  3. Hubungan saling mewarisi diantara suami-istri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak yang lain apabila terjadi kematian.

Ditambah, jika telah berketurunan:

  1. Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
  2. Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Orang tua memiliki tanggung jawab terhadap anak mereka. Yaitu:

  1. Sejak dalam kandungan. Menurut para ulama, anak sudah memilki hak walaupun belum menerima kewajiban. Hak yang dimiliki anak dalam kandungan, antara lain, hak waris, hak wasiat, dan hak memelihara harta benda.
  2. Orang tua memiliki kewajiban untuk merawat, memelihara, dan mendidik anak, mulai dari persiapan kehamilan, memeriksakan kesehatan janin, melahirkannya secara aman, merawat, memelihara dan mengawasi perkembangannya, serta mendidiknya supaya menjadi anak yang sehat, soleh, dan berilmu pengetahuan luas (hadlonah).

Sedangkan kewajiban anak kepada orang tuanya seperti tertuang di dalam surat Al-Isra: 23:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Juga, di surah Al-Ahqaf: 15:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.

Model-model keluarga dalam Al-Qur’an:

  1. Keluarga Abu Lahab (Surah Al-Lahab: 1-5)
  2. Keluarga Fir’aun (Syrah At-Tahrim: 11)
  3. Keluarga Nabi Nuh AS dan Nabi Luth AS (Surah Nuh: 5-7 dan At-Tahrim: 10)
  4. Keluarga nabi Ibrahim AS dan nabi Muhammad SAW.

Jika terjadi perselisihan antara suami-stri, maka harus dikembalikan kepada tuntunan agama. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Surah An-Nisa: 59)

Solusi  mengatasai perselisihan suami-istri secara islami:

  1. Suami/istri harus mengetahui pangkal masalah atau sebab-sebab terjadinya.
  2. Suami harus mengetahui secara pasti bahwa pada diri istrinya ada tabiat untuk menyipang. Ini merupakan tabiat penciptaan dan fitrah yang diberikan Allah SWT kepadanya.
  3. Seharusnya suami bersyukur, dikaruniai istri yang lebih hebat, lebih cerdas, lebih sabar, dan lebih bijak pendangannya. Namun ini tidak boleh dimaknai istri boleh dieksploitasi untuk kepentingan suami.
  4. Suami adalah pemimpin, tapi ia tidak boleh otoriter, keras, dan kasar. Justru, suami seharusnya melindungi, mendidik, menyayangi, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, baik dengan cara tegas maupun cara lembut.
  5. Suami memberikan nasihat dengan cara-cara yang telah diberikan Allah SWT dalam meluruskan kekurangan istri. Yaitu:
  • Menasihati dengan lemah lembut dan menggugah hati, dilakukan pada waktu yang tepat dan kadar yang tepat pula.
  • Menjauhi tempat tidur istri bila cara pertama sudah tidak mampu.
  • Memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakan agar dapat melunakkan kerasnya hati sang istri, bukan menyakitinya, dan jika diyakini dapat mengubahnya menjadi lebih baik (tapi alangkah lebih baik cara ini dihindarkan).
  • Meminta bantuan kepada juru damai dari kedua belah pihak (suami-istri). Ini merupakan jalan terakhir, ketika cara-cara sebelumnya tidak ada titik temu.

Oleh Ustadz Awang Ridwa, S.Ag., Lc., M.A., disampaikan pada kajian Madrasah Perantau Online DDHK, Sabtu, 27 Maret 2021.

>>>Sahabat Migran di negara manapun berada bisa mengikuti kajian Madrasah Perantau Online setiap hari Sabtu dan Ahad, lewat Zoom dan disiarkan LIVE di Facebook page Dompet Dhuafa Hong Kong.

Baca juga:

×