DDHK.ORG – Menjamak sholat saat hujan, sakit, atau cuaca ekstrim apa hukumnya ya? Apakah ada keringanan?
Imam Malik di dalam kitab Al Mudawamah menyebutkan, kebolehan menjamak sholat maghrib dan isya’ pada malam hari yang pada malam itu terjadi hujan ataupun gelap dan becek.
Istilah cuaca ekstrim belum ditemukan secara harfiyah di dalam kitab-kitab fiqh lama, namun ucapan hujan, gelap dan becek (Mali, Al Mudawanah, 1/203) mengindikasikan perubahan cuaca yang ekstrim.
Ini dikarenakan Madinah tempat tinggal Imam Malik tidak mengalami musim hujan seperti Indonesia dan beberapa negara lain, apalagi setelah terjadi global warming yang mana cuaca dapat merubah secara seketika.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka menjamak sholat pada saat terjadi hujan atau cuaca ekstrim menjadi alternatif yang dapat dijadikan jalan keluar.
Ini diperkuat oleh ungkapan Abu Salamah bin Abdurrahman yang mengatakan di antara sunnah adalah menjamak maghrib dan isya’ pada saat musim hujan.
Pendapat ini disepakati oleh Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan Ishak bin Rohuyah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai menjamak sholat zuhur dan ashar apabila turun hujan.
Imam Ibnu Kuddaamah dari mazhab Hanbali mengatakan, pendapat yang benar adalah tidak boleh. Bahkan, Imam Ibnu Kuddamah mengatakan, mengkiyaskan jamak zuhur dan ashar dengan maghrib dan Isya’ tidaklah relevan.
Hal itu disebabkan masyyaqqoh (kesulitan) pada shalat maghrib dan Isya’ adalah zulmah (gelap). (Alsyarrh Al Kabir, 2/117)
Kesimpulan, menjamak sholat zuhur dan ashar saat hujan atau cuaca ekstrim tidak disepakati kebolehannya oleh para ulama, maka sebaiknya tidak melakukannya.
Kedua, menjamak maghrib dan isya’ karena hujan dan cuaca ekstrim boleh dilakukan bahkan dapat disebut sunnah.
Apabila dibandingkan antara masyaqqoh yang disebabkan karena hujan atau cuaca ekstrim dengan sakit atau uzur maka masyaqqoh pada hal yang kedua terlihat lebih berat daripada yang pertama. Oleh karena itu, orang yang sakit atau uzur lebih berhak mendapatkan keringanan daripada kondisi cuaca yang berubah.
Pendapat ini didukung oleh Imam Ahmad dan sebagian ulama Syafi’iyyah, di dalam Al Syarh Al Kabir Imam Ibn Kudamaa memberikan perincian bahwa sakit yang diperkenankan karenanya shalat jamak adalah sakit yang mempunyai tingkat masyaqqoh yang tinggi dan kondisi yang sangat lemah.
Adapun mengenai uzur, Nabi SAW membolehkan Sahlah bin Suhail dan Hamnah bin Jahasy mejamak shalat karena istihaadhoh (darah yang mengalir dari kemaluan perempuan di luar waktu haid).
Selain itu, juga diperkenankan bagi seseorang yang mempunyai masalah dengan buang air kecil yang tidak dapat ditahan. Wallahu ‘Alam. [DDHK News]