رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Ya Rabb kami jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu dan anak cucu kami juga umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami, sungguh Engkau Allah yang Mahapenerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah ayat 128)
Doa ini bisa dijadikan contoh untuk meminta keturunan yang saleh dan shalehah dan agar dipermudah dalam melaksanakan ibadah haji.
Kisah Nabi Ibrahim dibahas di 9 surah dalam Alquran (al-Baqarah, al-An’am, at-Taubah, Ibrahim, Maryam, al-Anbiya, Asy-Syura, Ash-Shaffaat, dan az-Zukhruf). Surah Al-Anam ayat 76 sampai 83 menceritakan detail bagaimana bapaknya para nabi ini mencari keyakinannya, yakni tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan mendakwahkan ketauhidannya kepada umatnya.
“Ibrahim telah berhasil menyampaikan kebenaran kepada kaumnya dengan menjelaskan bahwa menyembah bintang-bintang merupakan hal yang batil, dan dengan kembali kepada fitrah manusia sesuai dengan penciptaan Allah, yaitu untuk menyembah dan mengesakan-Nya,” tulis tafsir Al-Muyassar.
Setelah Nabi Ibrahim mengomentari bahwa bintang, bulan dan matahari tak patut disembah, Nabi Ibrahim mulai memperkenalkan Allah SWT, yaitu Rabb yang patut disembah. Bagaimana Nabi Ibrahim memperkenalkan Rabbnya itu diabadikan pada QS. Al-An’aam ayat 79: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”.
Nabi Ibrahim mengatakan pada kaumnya bahwa “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Atas usaha mengenalkan ketauhidan kepada umatnya itulah Allah kemudian memuliakan Nabi Ibrahim dengan memberikan hujjah atau pandai memecahkan suatu tanda melalui argumentasi. Hal ini seperti diabadikan dalam QS. Al-An’aam; 83: “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Pendidikan Keluarga Ibrahim
Terdapat beberapa isyarat Alquran tentang cara mendidik generasi yang saleh. Salah satunya adalah model pendidikan Nabi Ibrahim AS yang melahirkan keturunan yang saleh, terutama Nabi Ismail AS.
Jika ditelaah beberapa ayat Alquran dan sejarah yang mengisahkan perjuangan hidupnya, dapat dirumuskan model pendidikan Nabi Ibrahim dalam melahirkan anak saleh berikut ini:
Pertama, mengutamakan istri yang salehah daripada sekadar kecantikan dan kekayaan. Sejarah mengungkapkan, istri pertama Nabi Ibrahim adalah Siti Sarah. Setelah beberapa lama menikah dan tidak kunjung memperoleh keturunan, atas saran Sarah, Ibrahim menikah dengan budak atau pembantu mereka yang berkulit hitam bernama Siti Hajar.
Ibrahim bersedia menikahi Siti Hajar, perempuan yang amat sederhana, berstatus budak, berkulit hitam, bukan berparas cantik dan bukan pula kaya raya. Hajar adalah hamba yang beriman, taat, berhati mulia, dan berakhlak terpuji. Ibrahim termasuk orang yang mengedepankan istri karena keimanan dan kemuliaan akhlaknya meskipun hanya seorang budak.
Memilih istri yang salehah merupakan prasyarat untuk melahirkan anak yang saleh. Sebab, istri akan menjadi madrasah pertama (al-ummu madrasah) bagi anak-anaknya. Tanpa kesalehan seorang istri akan sulit mendidik anak untuk tunduk dan taat kepada Allah SWT.
Kedua, berdoa agar dikaruniai anak saleh. Meskipun, Ibrahim sebagai nabi Allah dan kekasih-Nya (khalilullah), tetapi ia tetap bermunajat agar dikaruniai anak yang saleh. (QS ash-Shaffaat: 100).
رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.”
Doa ini mengajarkan untuk mendidik anak tidak bisa dengan usaha belaka atau membanggakan diri kita sebagai orang terdidik, tetapi butuh kepasrahan jiwa memohon pertolongan-Nya. Apalagi, mendidik akidah atau sikap keberagamaan anak dibutuhkan hidayah dari Allah SWT. Maka, bermohonlah kepada-Nya dengan tetap berupaya memenuhi kewajiban kita sebagai hamba.
Ketiga, menjadi teladan bagi anak-anak dan keluarganya. Kunci sukses model pendidikan Nabi Ibrahim adalah metode keteladanan. Dalam Alquran terdapat dua ayat yang menjelaskan bahwa Ibrahim adalah uswatun hasanah (QS al-Mumtahanah: 4 dan 6) bagi umatnya, termasuk bagi anak-anaknya.
Dalam perkembangan psikologinya, anak cenderung meniru (imitatif) orang-orang sekitarnya, terutama dari orang tua. Di sinilah diperlukan keteladanan orang tua, baik soal keimanan, ketaatan beribadah, sikap, maupun perilaku sehari-hari.
Ismail memiliki sifat halim, yaitu santun dan sabar (QS ash-Shaffat: 101). Ternyata, sifat itu dimiliki Ismail karena meneladani sifat ayahnya yang juga berkarakter halim (QS Hud: 75).
Keempat, memilih lingkungan yang baik untuk perkembangan mentalitas anak. Setelah Hajar melahirkan Ismail, Ibrahim pun mengantarkan mereka ke suatu tempat yang lengang, tandus, bernama Makkah. Lalu, Ibrahim pun bermunajat agar tempat itu diberkahi dan baik untuk perkembangan mentalitas anaknya (QS Ibrahim: 37).
Jika lingkungan baik, akan mudah membentuk perilaku anak, demikian sebaliknya. Dalam arti lebih luas, orang tua mesti mengawasi pergaulan anak-anaknya, memilih sekolah yang memerhatikan pembinaan sikap keberagamaan dan akhlak mulia, termasuk memilih lingkungan tempat tinggal yang kondusif dan mendukung perkembangan mentalitas anak ke arah positif.
Kelima, bersifat demokratis dan komunikatif kepada anak. Sikap demokratis dan komunikatif Nabi Ibrahim terlihat dari kisah penyembelihan putranya. Ketika Ibrahim mendapat perintah menyembelih anaknya, ia panggil Ismail menggunakan kata “Ya bunayya” atau “Wahai anakku sayang”. Kata itu merupakan panggilan penuh kasih sayang, komunikatif antara seorang ayah dan anak.
Ibrahim juga meminta pendapat Ismail tentang perintah itu (QS as-Shaffat [37]:102). Suatu perintah yang wajib dilaksanakan, tetapi tetap dikomunikasikan secara demokratis.
Hal ini mengisyaratkan kepada orang tua agar mendidik anaknya dengan cara demokratis dan komunikatif. Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak kepada anaknya, kecuali hal yang bersifat prinsip, misalnya, soal ketaatan pada ajaran agama. Orang tua juga jangan menampilkan diri sebagai sosok yang ditakuti anak, tetapi jadilah sosok guru yang disayangi, dihormati, dan diidolakan.
Keenam, mencintai anak karena Allah. Sebagai manusia biasa, Ibrahim sangat mencintai putra semata wayangnya. Namun, Allah menguji cinta Ibrahim antara Allah dan Ismail. Demi cintanya kepada Allah, Ibrahim rela mengorbankan Ismail.
Kisah ini mengajarkan agar mencintai anak semata-mata karena Allah. Sebab, jika kecintaan kepada anak melebihi cinta kepada Allah, malapetaka akan ditimpakan dalam kehidupan keluarga itu (QS al-Taubah: 24). Kewajiban orang tua yang paling esensial adalah mendidik akidah anak, lalu menyelamatkan mereka dari siksa neraka (QS at-Tahrim: 6).
Ketujuh, melibatkan anak membangun Baitullah, beribadah bersama anak, dan melibatkannya menegakkan agama Allah. Ibnu Katsir dalam kitab Qishash al-Anbiya’ menjelaskan, Ismail turut mengumpulkan batu dan mengulurkannya kepada Ibrahim, lalu Ibrahim membangun bangunan Ka’bah yang sebelumnya rusak. Ketika membangun Baitullah itu bersama anaknya, Ibrahim juga berdoa agar mereka menjadi hamba yang taat dan negeri itu diberkahi (QS al-Baqarah: 126-129).
Kedelapan, Nabi Ibrahim menginginkan dan mempersiapkan anak-anaknya menjadi pemimpin (imam) yang diiringi doa. Namun, Allah mengisyaratkan bahwa keturunan Ibrahim yang dijadikan pemimpin bukanlah orang-orang yang zalim (QS al-Baqarah: 124).
Dengan begitu, Ibrahim mendidik anaknya menjadi anak yang berlaku adil, bukan bersifat zalim, baik zalim secara akidah, yaitu syirik (QS Luqman: 13) maupun zalim terhadap diri sendiri karena melanggar perintah atau melaksanakan larangan Tuhan (QS al-A’raf: 23). Jadi, bukan membangun dinasti politik demi kekuasaan dan kepentingan pribadi, melainkan untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan memberi manfaat bagi banyak orang, sekaligus menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah fil-ardh.
Sebagai orang tua, seharusnya kita lebih mengkhawatirkan masa depan aqidah anak-anak kita daripada sekedar mengkhawatirkan karier dan kehidupan ekonomi mereka (QS al-Baqarah: 133).
Cinta Hanya karena Allah
Setelah Nabi Ibrahim AS menikahi Siti Hajar, istri kedua Nabi Ibrahim ini melahirkan Ismail. Menurut Qatadah bin an-Nu’man—sahabat Nabi Muhammad SAW—ketika itu Nabi Ibrahim AS telah berusia 85 tahun.
Dalam perjalanannya, Siti Hajar seringkali berani menentang omongan Siti Sarah. Saking jengkelnya, suatu ketika Siti Sarah mengucapkan sumpah yang berat, yaitu akan memotong daging Siti Hajar.
Hanya saja, tatkala kemarahan Siti Sarah mereda, dia merasa bingung akan sumpahnya. Siti Sarah pun menceritakan tentang sumpahnya itu kepada sang suami. Akhirnya Nabi Ibrahim AS memberinya fatwa. Nabi Ibrahim AS berkata, “Lubangilah kedua telinganya (Hajar).” Perintah itu dilaksanakannya. “Inilah asal mula telinga dilubangi untuk memasang anting-anting,” menurut pendapat sebagian ulama.
Hari-hari berikutnya Siti Sarah berkata kepada Ibrahim, “Aku tidak mau tinggal bersama Hajar dalam satu tempat.”
Allah mewahyukan kepada Nabi Ibrahim AS untuk tidak meninggalkan Sarah dan memerintahkannya membawa Siti Hajar dan Ismail ke al-Haram (tanah Haram). Pada saat itu Ismail masih menyusu.
Nabi Ibrahim menaikkan Ismail dan ibunya ke atas seekor unta. Dia membawa wadah air dan kantong yang berisi tepung pergi ke Mekkah. Kemudian Nabi Ibrahim AS menempatkan mereka berdua di Tanah Haram, yang menjadi tempat al-Bait as-Syarif (rumah yang mulia).
Pada saat itu, tanah tersebut berupa bukit merah. Di sana, Nabi Ibrahim AS membangun sebuah rumah dari anjang-anjang pohon. Dia meninggalkan mereka berdua dengan wadah air dan kantong yang berisi tepung.
Ketika Ibrahim hendak meninggalkan mereka berdua, Hajar berkata kepadanya, “Engkau mau pergi ke mana?” Ibrahim menjawab, “Ke daerah Syam.” Hajar berkata, “Mengapa engkau pergi dan meninggalkan kami di tempat yang tidak ada pepohonan, tidak ada air, dan tidak ada orang?”. Hajar terus bertanya beberapa kali kepada Ibrahim, tetapi Ibrahim tidak menoleh kepadanya. (QS 14: 37). Akhirnya, Hajar berkata, “Apakah Allah menyuruhmu melakukan ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar berkata, ”Kalau begitu, silakan pergi. Dia tidak akan menelantarkan kami.”
Ibrahim pun pergi sambil berkata, “Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati; ya Rabb kami yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Ibrahim kholilullah. Kekasih yang diuji cintanya dan menguji cinta sang kekasihnya.
.…
Ustadzah Erika Suryani Dewi, Lc., MA, saat kajian Halaqoh Selasa Ekspatriat Perempuan pada tanggal 29 Juni 2021.
>>>Kajian ini dilakukan secara online menggunakan aplikasi Zoom dan disiarkan secara LIVE di Facebook page Dompet Dhuafa Hong Kong. [DDHKNews]