ArtikelKonsultasi

Kenapa Perlu Ada Hadits Nabi?

Assalamu’alaikum.

Ustadz, saya mau bertanya.

Saya mau bertanya mengenai pembahasan materi kajian Madrasah Perantau Online DDHK mengenai pembagian hadits menjadi Shahih, Hasan, dan Dhoif. Sebelumnya saya mohon maaf kalau pertanyaannya tidak bagus karena saya dalam tahap belajar agama.

Ustadz, apa tujuan adanya hadits? Terkait pemaparan kemarin, suatu hadits dapat dikatakan Shahih jika memenuhi 5 syarat tertentu. Disebutkan juga ada yang namanya Hadits Maudu’. Ini kan justru bikin bingung orang yang kurang paham agama.

Bukankah Al-Qur’an sudah jelas kebenaraannya?

Ustadz, bukankah setiap yang haram itu jelek dan tidak boleh dilakukan? Tapi kenapa ada hadits palsu yang perintahnya baik? Seperti halnya yang disampaikan ustadz kemarin, “an-nazhofatu minal-iman” itu hadits palsu. Berarti, kebersihan tidak boleh dilaksanakan ya? Atau, bagaimana pengertiannya?

Dan, siapa sih yang menentukan bahwa ini hadits palsu, ini hadits dhoif, dan sebagainya?

Cara Allah Menyampaikan Firman-Nya kepada Rasulullah SAW

Ustadz, apakah semua perintah Allah itu dikasih tau ke Rasullullah SAW? Apakah ada satu atau dua ayat disampaikann kepada nabi yang lainya? Dan, kenapa harus Rasullullah SAW? Dan, apakah istri Rasulullah SAW tau bahwa Allah itu memberikan firman-Nya lewat Rasullullah SAW?

Dan, bagaimana caranya Allah menyampaikan firman tersebut kepada Rasullullah, sedangkan Allah kan tidak kelihatan.

Dan, apakah benar bahwa orang yang bergelar habib itu adalah keturunan Rasullullah SAW? Jika benar, berarti Habib Rizieq Shihab dan habib-habib lainnya harus kita hormati dan muliakan ya?

 

Terima kasih, Ustadz.

 

Salam,

Nurhalimah

JAWAB:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Bismillah… Hadits atau sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

Hadits adalah apa saja yang disandarkan kepada Rasulullah saw, baik berupa ucapan, tindakan, maupun ketetapan, serta sifat fisik dan non fisik beliau saw. Karena apapun yang bersumber dari beliau datangnya langsung dari Allah SWT dan tidak mungkin mengikuti hawa nafsu.

Posisi hadits sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an adalah sebagai penjelas dari hukum-hukum yang ada dalam ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Contoh, masalah sholat. Tidak ada ayat yang menjelaskan tata cara sholat secara detail, melainkan penjelasan itu ada dalam perilaku Nabi saw.

Pada masa Rasulullah saw masih hidup, Al-Qur’an selalu turun sepanjang 23 tahun. Tentu hadits-hadits dari beliau pun juga mengiringinya. Sehingga, agar menghindari terjadinya percampuran antara Al-Qur’an dan hadits, maka Rasulullah saw memerintahkan para sahabat beliau agar menulis Al-Qur’an dan tidak menulis hadits.

Hadits-hadits dari Rasulullah saw hanya dihafal dan dicermati tanpa ada penulisan. Baru, setelah terjadi pembukuan Al-Qur’an dalam mushaf, sejak dimulai masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq karena banyaknya para sahabat penghafal Al-Qur’an yang wafat syahid sebanyak 70 orang pada perang Yamamah melawan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab (Tukang bohong). Hingga, pengumpulan Al-Qur’an itu disempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Setelah itu, pembukuan hadits pun baru dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, oleh Az-Zuhri pada abad 2 hijriyah.

Hal itu dikarenakan situasi politik yang mengguncang negara dengan mulai munculnya hadits-hadits maudlu’ (palsu) yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang berkepentingan secara politik dan ekonomi. Sehingga, perlu dilakukan penulisan hadits agar bisa membedakan mana hadits yang benar dari Rasulullah saw dan hadits yang palsu.

Sehingga, muncullah ilmu hadits yang membahas derajat suatu hadits, apakah mutawatir (banyak periwayatnya serta mustahil mereka sepakat berbohong) ataukah ahad (diriwayatkan oleh beberapa orang saja).

Diantara hadits ahad, ada yang shohih (benar), hasan (baik), dan dloif (lemah).

Pembagian hadits dloif (lemah) inilah yang paling banyak. Diantaranya adalah hadits maudlu’ (palsu) yang merupakan derajat paling buruk. Ulama sepakat, hukum berhujjah atau berdalil dengan hadits palsu adalah haram.

Namun berhujjah dengan hadits lemah, selagi bukan palsu, masih dibolehkan dengan empat syarat:

  1. Tidak berkaitan dengan masalah akidah;
  2. Berkaitan dengan keutamaan amal ibadah;
  3. Tidak lemah sekali seperti banyak periwayat yang lemah di dalamnya;
  4. Masih di bawah naungan hadits yang lebih kuat dan umum.

Ulama ahli hadits lah yang menentukan derajat suatu hadits, apakah termasuk shohih, hasan, ataukah dloif, melalui ilmu yang dinamakan ilmu mushtholah hadits yang diletakkkan dasar-dasarnya oleh ulama-ulama salaf dahulu.

Sebenarnya, kalimat: النظافة من الإيمان (Kebersihan adalah sebagian dari iman) memang bukanlah hadits, tetapi arti semisal dari sebuah hadits yang berbunyi:

الطهور شطر الإيمان (رواه مسلم)

“Kebersihan adalah separuh dari iman”. (H.R. Muslim)

Jadi, boleh saja kita mengucapkan ungkapan yang pertama tadi karena artinya benar. Tetapi, yang tidak boleh adalah menyandarkan kalimat tersebut kepada Rasulullah saw yang bersabda. Kalaupun ada orang menyebutkan bahwa itu hadits, besar kemungkinan karena dia tidak tahu.

Adapun kalimat yang kedua, memang benar hadits shohih (benar) yang disabdakan oleh Rasulullah saw.

Tentang Wahyu

Ya, semua wahyu sudah disampaikan Allah SWT kepada setiap Nabi dan Rasul-Nya sampai sempurna. Sehingga, tidak satupun Nabi dan Rasul yang wafat, sedangkan wahyu belum tuntas semua disampaikan. Hanya saja, syariat agama Nabi dan Rasul itu ada yang berbeda bagi umat masing-masing, sehingga syariat ini menjadi sempurna kepada Rasulullah saw sebagai penutup para Nabi dan Rasul.

Wahyu hanya disampaikan kepada Nabi atau Rasul karena mereka adalah orang pilihan Allah yang pasti kuat memikul beban kenabian dan kerasulan yang teramat berat.

Tentu, istri-istri Rasulullah saw tahu bahwa firman Allah diturunkan kepada beliau. Bahkan, ada beberapa ayat yang berkaitan tentang teguran kepada istri-istri Rasulullah saw.

Allah SWT tidak bisa dilihat oleh mahkluk-Nya di dunia, sebagaimana firman-Nya:

لَّا تُدۡرِكُهُ ٱلۡأَبۡصَـٰرُ وَهُوَ یُدۡرِكُ ٱلۡأَبۡصَـٰرَۖ وَهُوَ ٱللَّطِیفُ ٱلۡخَبِیرُ

{سورة الأنعام: ١٠٣}

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dan Dialah yang Maha halus lagi Maha teliti”. {Q.S. Al-An’am: 103}

Akan tetapi Allah SWT bisa dilihat oleh penghuni surga, seperti halnya mereka melihat bulan di malam purnama. Dan ini adalah nikmat surga terbesar. Adapun frekuensi melihat Allah ini berdasarkan amal ibadah seseorang selama di dunia.

Allah SWT menyampaikan wahyu berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah saw melalui malaikat Jibril. Adapun caranya, hanya Allah yang tahu, karena ada hal-hal yang tidak bisa kita tangkap melalui indera kita. Sedang cara malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Rasulullah saw adalah adakalanya melalui wujud yang asli, bunyi lonceng, mimpi, menyerupai manusia biasa, dan sebagainya.

Tentang Habib

Habib secara bahasa berarti orang terkasih atau tercinta. Istilah habib atau dalam bentuk jamaknya dikenal dengan habaib adalah mereka yang mempunyai garis nasab sampai kepada Rasulullah saw melalui Fathimah Az-Zahra.

Tugas kita adalah menghormati habaib, karena mencintai ahlul bait (keluarga) Rasulullah saw adalah prinsip ahlussunnah (orang yang berpegang pada sunnah). Terlebih, jika mereka adalah orang-orang yang komitmen dengan ajaran kakek buyutnya, yaitu Baginda Rasulullah saw.

Wallâhu a’lam bish-showâb.

Salam!

(Dijawab oleh: Ustadz Very Setiyawan, Lc., S.Pd.I., M.H.)

..

#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419. [DDHK News]

Baca juga:

×