Aspek-Aspek Ukhrawi (Keakhiratan) dalam Ibadah Haji
Dalam ibadah haji ada analogi-analogi dengan perjalanan manusia ke akhirat. Diantaranya, kebutuhan akan ampunan Allah dan ibadah haji menjadi sebab diampunkannya dosa.
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa orang berhaji kemudian ia tidak melakukan perbuatan keji serta kefasikan, maka ia kembali bersih (diampunkan) dari dosa-dosanya sebagaimana ketika ia dil11`ahirkan ibunya”. (Muttafaq ‘Alaih).
Maghfirah (ampunan) adalah perkara yang sangat dibutuhkan oleh manusia ketika menempuh perjalanan akhirat, dan gerbang akhirat itu dimulai dari kematian. Dan Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita ketika menguburkan jenazah untuk memohonkan ampunan dan keteguhan kepaga Allah “Istaghfiru Li Akhikum Was-alu Lahu Bit Tatsbit Fainnahul Aan Yus-al”. (HR. Abu Daud) mohonkanlah ampunan dan keteguhan kepada Allah untuk saudaramu ini karena sebentar lagi ia akan ditanyai.
Ketika para calon hujjaj/haji meninggalkan rumahnya, ia harus meninggalkan dan berpisah dengan keluarga, sanak saudara, dan orang-orang dekat yang dicintainya, meninggalkan harta bendanya selain bekal yang diperlukan selama perjalanannya, dan ia harus meninggalkan negeri, kampung halaman, serta tanah air dan kelahirannya untuk memenuhi panggilan Allah SWT menuju tanah suci. Peristiwa itulah yang akan terjadi ketika seseorang dipanggil oleh Allah SWT dengan kematian menuju tanah abadi (qubur).
Ketika sampai di miqat, para calon hujjaj harus menanggalkan semua pakaian luar dan dalam, baju kebesaran, serta semua atribut/pangkat duniawi. Ia harus berganti penutup jasadnya dengan pakaian yang diperkenankan, yaitu dua helai kain ihram (satu helai disarungkan dan satu lagi diselendangkan di badannya). Inilah yang akan berlaku kepada setiap muslim ketika memulai perjalanan memasuki gerbang akhirat, yaitu kematian. Ia hanya akan dipakaikan dengan tiga lembar kain kafan di jasadnya, sementara semua pakaian-pakaian duniawi tidak ada yang dibawa atau dipakai.
Ketika tanggal 9 Dzul Hijjah, para hujjaj berkumpul melakukan wukuf di tanah lapang, yaitu Arafah, seraya mengumandangkan alunan-alunan do’a, bermunajat kepada Allah, mengakui dan menyesali segala perbuatan dosa yang telah dilakukannya sambil mengharapkan ampunan dan keridhaan Allah SWT. Sebagaimana kita pun kelak akan berkumpul di satu tempat pemberhentian, yaitu makhsyar yang semua akan membutuhkan kepada syafaat, pertolongan, kemudahan dan rahmat-Nya.
Semua itu akan mengingatkan kita kepada kematian dan perjalanan akhirat. Dengan demikian seseorang yang akan menunaikan ibadah haji diharapkan lebih menyadari dan memahami makna dari perjalanan yang akan dilakukan tersebut dengan sebaik-baiknya. Kesadaran tersebut kemudian diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari, baik secara individu, di keluarga, atau masyarakat secara umum.
Ibadah Haji dan Kurban yang Saling Berpautan
Ibadah haji dan Kurban tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Baik dari sisi historis, waktu pelaksanaan, dan fadhilah atau manfaatnya. Umat Islam di seluruh penjuru dunia mengiringi Haji dengan melaksanakan sholat Iedul Adha dan menyembelih hewan kurban sebagai syi’ar agama Allah.
Allah Swt berfirman: “Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkurbanlah” (QS. Al Kautsar).
Kurban adalah peribadatan yang diunggulkan pada hari raya Idul Adha. Idul Adha sendiri maknanya adalah kembali berkurban, yakni menyembelih kambing, sapi, atau unta, dengan syarat-syarat tertentu setelah sholat Iedul Adha.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ra. ia berkata, bahwa Nabi Saw bersabda: “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada Hari Raya Kurban, lebih dicintai Allah selain dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak di hari Kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya, dan sesungguhnya sebelum darah qurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah. Maka beruntunglah kalian semua dengan pahala qurban itu.” (HR. Tirmidzi, no: 1413)
Hikmah dan manfaat Kurban diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Menempatkan cinta kepada Tuhan sebagai cinta tertinggi/teragung.
Sejak diperintahkan, apa yang diminta dikorbankan adalah barang/sesuatu yang sangat dicintai/disukai, yang menunjukkan bahwa Allah sedang menguji apakah seorang hamba itu benar/sungguh-sungguh mencintai Allah di atas segalanya, mau mengorbankan apa saja untuk yang dicintainya. Sekaligus, menegaskan bahwa Allah adalah pemilik semuanya termasuk apa-apa yang ada/dititipkan pada manusia.
2) Mendapatkan bekal taqwa.
Manusia hidup di dunia harus mencari bekal taqwa untuk keselamatan di akhiratnya, dengan menjalankan perintah Tuhan, dan menjauhi larangan-Nya. Manusia yang bertaqwa akan tumbuh perasaannya bahwa ia adalah hamba/abdi dari Tuhannya. Berkurban merupakan bentuk ketaatan dan tunduk atas perintah Tuhan.
3) Sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kurban mempunyai akar kata qaruba, yang membentuk kata: qurb (dekat), taqarrub (mendekatkan diri), aqriba’ (kerabat). Seiring bertambahnya usia, akan bertambah dekat pula dengan kematian, yang artinya makin dekat perjumpaan dengan Tuhan. Dengan qurban, minimal menjadikan ingat dan insaf, yang pada akhirnya berjumpa dengan-Nya dalam kebaikan.
4) Mengharapkan kesucian diri dan hartanya.
Setiap kebaikan adalah sedekah, yang berfungsi untuk mensucikan diri dan harta. Ibadah Kurban adalah amal kebaikan yang amat disukai Allah di Hari Raya Iedul Adha (HR. Tirmidzi).
5) Sebagai penebus dosa, untuk mendapatkan pengampunan (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Hibban).
“Hai Fatimah, berdirilah di sisi korbanmu dan saksikanlah ia, sesungguhnya titisan darahnya yang pertama itu pengampunan bagimu atas dosa-dosamu yang telah lalu.”
6) Memupuk sifat mahmudah dan memupuskan sifat madzmumah.
Melaksanakan kurban dengan penuh penghayatan dapat memupuk sifat mahmudah yang berupa ketaatan, ketundukan atas perintah-Nya, pemurah terhadap sesama, bertaubat, menambah rasa syukur, dan lainnya. Disamping itu juga memupuskan sifat madzmumah seperti cinta dunia, kikir, pelit, sombong, dendam, hasad dengki, dll.
7) Meningkatkan kasih saying.
Tidak dipungkiri bahwa kurban bermanfaat bagi sesama, menumbuhkan dan meningkatkan kasih sayang, utamanya antara yang kaya dan miskin, merekatkan hubungan yang renggang, wujud kebersamaan dan kerukunan, karena masyarakat saling bersilaturahim.
8) Syiar Islam, sunnah Nabi Ibrahim AS.
Ibadah Kurban adalah syiar Islam yang melestarikan millah atau sunnah Nabi Ibrahim as, Nabi yang berjuluk Khalilullah (orang yang sangat dekat dengan Tuhan).
9) Pahala dan kemudahan meniti diatas shirat, dll.
“Tiada suatu amalan yang dilakukan oleh manusia pada Hari Raya Kurban, yang lebih dicintai Allah selain daripada menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu pada hari kiamat kelak akan datang berserta dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya, dan sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima disisi Allah, maka beruntunglah kamu semua dengan (pahala) kurban itu.” (HR.Al-Tarmuzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim), dalam riwayat lain “Muliakanlah kurban kamu karena ia menjadi tunggangan kamu di titian (shirat) pada hari kiamat.”
Ada beberapa poin penting yang dapat kita sarikan dari Sinau Haji dan Kurban. Pertama, mengacu pada QS. al-Kautsar ayat kedua, secara normatif dua ibadah tersebut merupakan syariat yang terkait dan disyariatkan pada tahun yang sama, yaitu pada tahun ke-6 Hijriah.
Kedua, syariat tersebut ditetapkan oleh Allah bukan tanpa tujuan, tetapi sesungguhnya melalui sarana ibadah haji dan kurban manusia dapat berkomunikasi secara spiritual dengan Tuhannya.
Secara garis besar. ada dua tujuan utama dalam ibadah haji dan kurban. Yaitu:
- Melalui syariat ibadah tersebut Allah sengaja memberikan kesempatan kepada manusia untuk berkompetisi dalam hidupnya, memilih sesuatu yang baik diantara yang jelek bagi dirinya, baik secara individual maupun secara komunal dan sosial.
- Melalui sarana ibadah ini manusia dapat secara bertahap menuju kesempurnaan jiwa yang tidak akan berakhir dengan kematian dan tidak berakhir dalam batas-batas di dunia yang fana. Ibadah mendorong setiap individu untuk berkomunikasi secara intens dengan al Haqq menuju internalisasi diri yang haq.
Adapun Hikmah yang dapat dipetik dari dua syariat tersebut adalah, bahwa kesalehan seseorang dapat diukur dari dua dimensi, yakni dimensi pribadi dan dimensi sosial. Saleh secara pribadi diukur dengan seberapa kuat keimanan dan ketekunan seseorang melakukan ibadah secara ikhlash dan ittiba’ Rasulillah SAW. Sedangkan saleh secara sosial diukur dari seberapa besar kepedulian seseorang terhadap kehidupan sosial, sebagai implementasi nilai-nilai agama yang rahmatan lil alamin.
Wallahu a’lam.
…
Ditulis oleh: Ahmad Fauzi Qosim, Pegiat Dakwah dan Kemanusiaan, Sekretaris Dewan Syariah Dompet Dhuafa. [DDHKNews]