DDHK.ORG – Haruskah melakukan selametan 7, 40, 100, 1.000 bagi yang meninggal?
Assalamualaikum Warrohmatullah.
Maaf Pak Ustadz, saya mau tanya?
1. Kalau orang tua meninggal apakah itu setiap 7, 40, 100, 1000 hari itu harus dislametin?
2. Dislametin itu hukumnya apa dalam Islam. Diperbolehkan atau tidak? Disarankan dislametin atau tidak? Itu tradisi Jawa atau emang udah anjuran dari agama Islam?
3. Alangkah baiknya seperti apa Pak, biar tidak menyimpang agama Islam? Terima kasih banyak Pak Ustadz.
Wassalamualaikum Warrohmatullah
Salam, Fulanah
JAWAB:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Bismillah…
Mendoakan kebaikan sesama muslim adalah perbuatan terpuji, terlebih kalau dia adalah orang tua kita. Bahkan tugas seorang anak adalah berbakti kepada kedua orang tuanya, baik ketika mereka masih hidup ataupun setelah meninggal dunia.
Salah satu bentuk berbaktinya seorang anak kepada kedua orang tuanya setelah mereka meninggal dunia adalah dengan mendoakan mereka agar dilapangkan kuburnya, mendapat nikmat kubur, dan dijauhkan dari siksa kubur. Bahkan orang tua akan mendapat ampunan dari Allah Subhãnahu wata’ala melalui istighfar dari anaknya.
Rasulullah shallallãhu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا مَاتَ ابنُ آدم انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أو عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Apabila seorang manusia meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga, yakni sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakannya.” (H.R Muslim)
Di antara tradisi muslim Indonesia setelah orang meninggal dunia adalah dengan cara mendoakan dan mengirim pahala kepadanya melalui pembacaan seperti surat Yasin dan tahlil, atau yang lainnya dengan mengadakan seperti sedekah selama tujuh hari, lalu peringatan empat puluh hari, seratus hari, seribu, dsb.
Lalu apakah hukumnya melakukan hal itu semua?
Sebelum dijawab, perlu kita ketahui bahwa polemik selametan tahlilan menimbulkan pro dan kontra di kalangan kaum muslimin khususnya di Indonesia.
Mereka yang terbiasa mengamalkan tahlilan atau dikenal selametan, menganggap bahwa orang yang tidak mengamalkan tahlilan dianggap tidak sayang dan meremehkan anggota keluarganya yang meninggal dunia. Sebaliknya bagi mereka yang anti tahlilan, menganggap bahwa amalan tersebut merupakan amalan baru yang tergolong bid’ah karena tidak dicontohkan secara eksplisit oleh Rasulullah shallallãhu alaihi wasallam dan para sahabat radliyallahu ‘anhum.
Namun bagi yang mengamalkan selamatan 7, 40, 100, 1.000 hari, mereka memiliki dalil atau argumentasi bahwa tradisi ini dihukumi boleh. Tradisi penetapan hari ini memiliki landasan kepada syariat Islam.
Dan dalam hal ini, yang perlu diperhatikan bukanlah mengirim pahala bacaan tahlilan, dsb itu kepada orang yang sudah meninggal dunia, melainkan pada aspek penetapan waktunya. Karena pada dasarnya kita boleh berdoa dan mengirim pahala kepada keluarga kita yang sudah meninggal dunia kapanpun saja, tidak terfokus & terbatas pada hari ke-7, 40, 100, atau 1.000.
Di antara dalil dan argumen mereka adalah seperti:
Pertama; tangisan makhluk hidup atas wafatnya Nabi Adam ‘aliahissalam selama tujuh hari. Imam Ibnu ‘Asakir (w. 571 H) dalam kitabnya Tarikh Dimasyq, menyebutkan:
عن عطاء الخراساِني قال: بكت الخلَائق على آدم حين توفي سبعة أَيام
Dari ‘Atha’ al-Khurasani, ia berkata, “Seluruh makhluk menangis selama tujuh hari karena Adam ‘alaihissalam ketika dia wafat.”
Kedua; riwayat dari Tabiin yang bernama Thawus bin Kaisan, yang mengatakan bahwa ahli kubur menghadapi serangkaian fitnah kubur selama tujuh hari. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) meriwayatkan dengan sanadnya kepada Thawus. Di mana Thawus sempat bertemu dengan 50 sahabat Nabi shallallãhu alaihi wasallam selama hidupnya. Thawus berkata:
“Sesungguhnya ahli kubur banyak menerima fitnah (ujian) di dalam kuburnya selama tujuh hari. Maka mereka (para sahabat Nabi shallallãhu ‘alaihi wasallam), suka menyediakan makanan bagi jenazah (untuk disedekahkan) pada hari-hari tersebut.”
Riwayat ini diperkuat pula oleh riwayat lainnya yang bersumber dari Ubaid bin Umair seseorang yang diperselisihkan statusnya antara shahabat atau tabi’in, Sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam kitabnya, Ahwal al-Qubur wa Ahwal Ahliha ila an-Nusyur.
وعن عبيد بن عمْير قال: المؤمن يفنت سبعا والمنافق أربعْين صباحا
Dari Ubaid bin Umair, ia berkata: “Seorang mukmin akan diuji (dalam kubur) selama tujuh hari, dan orang munafik selama 40 hari.”
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) juga menjelaskan bahwa, riwayat Thawus di atas mencakup dua hukum; hukum akidah & fikih.
Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab Majmu’ul Fatawa disebutkan:
وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ، كَمَا يَصِلُ إلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ، كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ
“Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya.
Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit.” (Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24 hlm. 366)
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa bolehnya seseorang mengirimkan bacaan Al-Quran dsb, bersedekah, ibadah lainnya yang diniatkan untuk dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal dunia terlebih adalah orang tua kita.
Peringatan Selametan
Adapun masalah hitungan pada peringatan hari ke-7, 40, 100, dan 1.000 itu tidak harus. Hanya saja sebagai pengingat waktu. Jika tidak mempunyai harta yang cukup untuk mengadakan acara selamatan seperti di atas, maka ia tidak mengapa dan tidak berdosa.
Namun pihak masyarakat di sekitarnya jangan menganggap bahwa itu sebagai bentuk tidak menghormati orang tua yang sudah meninggal dunia. Karena anggapan seperti itu justru sebuah perbuatan dosa.
Mendoakan dan mengirim pahala adalah sesuatu yang baik, namun jangan sampai menganggap bahwa peringatan hari ke-7 dsb sebagai ibadah yang mutlak dan wajib dilaksanakan.
Wallãhu a’lam
Semoga bermanfaat…
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Dijawab oleh Ustadz Very Setiawan.
#SahabatMigran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam dan persoalan kehidupan? Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419. [DDHK News]