ArtikelHikmah

Ghibah Dosa Sangat Keji

Oleh Ustadz Jauhar Ridloni Marzuq, Lc., MA

Ghibah adalah di antara dosa yang dilarang dalam Islam. Al-Quran menggambarkan kejinya dosa ghibah dengan menyamakannya seperti memakan bangkai saudara sendiri. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Imam Asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan: “Allah SWT membuat permisalan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang, karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zajjaj.”

Ghibah dan Fitnah

Secara bahasa ghibah berasal dari akar kata “ghaaba-yaghiibu” yang artinya tidak terlihat atau ghaib. Ghibah oleh Ibnu Faris dalam “Maqayis Al-Lughah” diartikan sebagai “menyebutkan aib seseorang tanpa diketahui (bidhahril ghaib)”.

Dalam Hadits, Rasulullah SAW memberikan definisi ghibah sebagai berikut.

عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim)

Dari keterangan yang diberikan oleh Hadits di atas, maka inti dari ghibah ada dua. Pertama, membicarakan keburukan. Kedua, tidak disukai oleh orang yang kita bicarakan. Dari sini, maka ghibah bukan hanya sebatas pembicaraan yang tidak sesuai dengan fakta atau kenyataan. Jikapun yang dikatakan itu benar ada pada seseorang yang dibicarakan, dan orang tersebut tidak menyukainya, maka itu sudah disebut ghibah.

Misalnya, kita melihat ada orang yang memiliki kekurangan bertubuh pendek. Kita bicarakan kekurangan tersebut kepada orang lain tanpa sepengetahuannya, maka hal itu sudah disebut ghibah, walaupun dia memang pendek.

Sementara apabila yang dibicarakan tidak ada pada orang yang tersebut, maka itu disebut buhtan, yaitu kebohongan besar, atau kita sering sebut dalam bahasa Indonesia sebagai fitnah.

Ghibah dan fitnah sama-sama berdosa. Walaupun tentunya dosa fitnah tentu lebih besar daripada ghibah.

Dosa yang Sangat Keji

Gambaran Al-Quran yang sedemikian menjijikkan tentang ghibah, menunjukkan bahwa dosa ini sangatlah keji. Jika memakan bangkai saja kita sudah jijik, maka apalagi bangkai itu adalah bangkai saudara kita sendiri?!

Rasulullah SAW dalam banyak hadits juga menggambarkan betapa besarnya dosa ghibah ini. Diriwayatkan oleh Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda yang artinya; “Sesungguhnya riba yang paling bahaya adalah berpanjang kalam (ucapan) dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara) yang tidak benar.” (H. R. Abu Daud).

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir bin Abdullah; “Kami pernah bersama Nabi tiba-tiba tercium bau busuk yang tidak mengenakkan. Kemudian Rasulullah berkata; ‘Tahukah kamu, bau apakah ini? Ini adalah bau orang-orang yang mengghibah (menggosip) kaum mukminin.”

Dalam riwayat Imam At-Thabrani, Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa dosa ghibah lebih berat dari dosa zina. Seorang sahabat lalu bertanya, ‘Bagaimana bisa, ya Rasulullah?’.

Rasulullah SAW menjelaskan, ‘Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang dighibahnya,” (HR At-Thabrani).

Ghibah yang Dibolehkan

Meski demikian buruk prilaku ghibah ini, tapi bisa dikatakan hampir tidak ada orang yang bisa lepas dari ghibah, disadari maupun tidak disadari. Karena itu, Imam Nawawi rahimahullah mencoba untuk menjelaskan bahwa ada keadaan-keadaan di mana ghibah dibolehkan. Dalam Kitab Syarah Sahih Muslim, Imam Nawawi menyebutkan ada enam keadaan seseorang dibolehkan ghibah.

1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”

2- Sebagai cara untuk menghilangkan perbuatan mungkar, atau untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal, meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”

3- Meminta fatwa pada seorang mufti. Seperti seorang bertanya kepaa mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan?”

4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perawi hadits.

5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah, tentang maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.

6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta, si botak, dan lain-lain. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.

Demikianlah penjelasan sedikit tentang bahaya ghibah agar kita bisa terhindar dari dosa ghibah. Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari ghibah. Amin. [DDHK News]


Disampaikan pada kajian online Halaqoh Pekanan Ekspatriat, Jumat malam, 9 Oktober 2020.

Baca juga:

×