ArtikelHikmah

Berinteraksi dengan Anak

Oleh Ustadzah Nur Hamidah, Lc., M.Ag.

Disampaikan pada Kajian Online Halaqoh Selasa Ekspatriat Perempuan, 9 Maret 2021

Siapa anak?

Menurut Konvensi Hak Anak PBB yang diratifikasi dalam UU Perlindungan anak: “Seseorang yang berusia 0-18 Tahun.”

Anak merupakan satu fase pemula dalam rentang kehidupan manusia. Islam menyebutnya dengan waladun (tidak terikat oleh usia).

Jika ditinjau dari rentang umur, anak terbagi ke dalam dua fase: sebelum dan sesudah baligh. Sebeluam baligh, terbagi ke dalam fase shibyun (anak usia batita), Thiflun (Usia pra sekolah).

Definisi anak menurut Islam

Kategori anak menurut Islam berdasarkan kedudukan hukumnya:

  1. Baligh atau dewasa. Ditandai dengan datangnya haid pada anak wanita atau datangnya mimpi basah pada anak laki-laki.
  2. Pra baligh atau anak-anak. Tandanya, sudah mendapatkan taklif (pembebanan) hukum syara’, harus mempertanggungjawabkan setiap ucapan, sikap, dan tindakan yang mereka lakukan, baik di hadapan Allah maupun di hadapan aparat hukum di dunia.

Pendampingan ibu terhadap anak:

  1. Bintun/Ibnun. Al-Qur’an surat 4:23, 24:31, ayat warisan 4: 7-14. Ini biasanya untuk hukum nasab, mahram, dan waris.
  2. Biasanya untuk anak usia prabaligh dalam metode tarbiyahnya. Al-Qur’an surat 24:58-59. Biasanya pendidikannya disebut raudatul athfal.
  3. Waladun atau awladun. Nah ini tidak terbatas usia. Selama masih ada orang tua, maka tetap saja, hingga usia 40 tahun pun tetap anak bagi orang tuanya. Pendidikannya disebut tarbiyatul awlad.

Anak berdasarkan Al-Qur’an 46:15, pendampingan sampai usia 40 tahun.

Ada 3 pendidikan kewajiban orang tua dalam tarbiyah awlad (tidak dibatasi usia), merujuk pada fiqh muslimah karya Abdul Karim Zaidan, jilid 10. Yaitu:

  1. Memberikan pengajaran dan wawasan ilmu kepada anak.
  2. Menanamkan adab dan etika.
  3. Membentuk karakter anak.

Berinteraksi dengan anak

Ada beberapa dalil terkait interaksi orang tua kepada anak. Yaitu:

  1. Kebencian terhadap orang yang mengharapkan kematian anak-anak perempuan.

Abdullah bin Abu Syaibah menceritakan pada kami: Ibnu Mahdi menceritakan pada kami: Dari Sufyan: dari Utsman bin Harits Abi Ar-Ruwwa’ dari Ibnu Umar, “Ada seorang lelaki berdiri di dekatnya; dan lelaki tersebut memiliki beberapa anak perempuan. Ia berharap anak-anak perempuan itu mati semua. Mengetahui hal itu, marahlah Ibnu Umar sambil berkata, ‘Apakah kamu yang memberikan rezeki untuk mereka?'”

  1. Menghargai anak.

Abdulah bin Shalih menceritakan pada kami: Laits menceritakan padaku: Menuliskan kepada Hisyam: Dari Bapaknya: Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pada suatu hari pernah berkata, ‘Demi Allah! tidak ada di atas bumi seseorang yang lebih aku cintai dari pada Umar. Tatkala dia keluar pulang, maka dia berkata, “Bagaimana saya bersumpah wahai putriku?” Lalu aku berkata kepadanya, kemudian dia berkata, “anak lebih mulia atasku dan anak itu lebih dicintai di hati.”

Musa menceritakan pada kami: Mahdiy bin Maimum\n menceritakan pada kami: Ibnu Abi Yaqub menceritakan pada kami: Dari Ibnu Abu Nu’aim, dia berkata, “Aku pernah melihat Ibnu Umar, lalu dia ditanya oleh seseorang mengenai darah nyamuk? Lalu Ibnu Umar bertanya, ‘Dari negara mana engkau?’ Dia menjawab, ‘Dari penduduk Irak’. Kemudian Ibnu Umar berkata, ‘Lihatlah orang ini, dia menanyaiku tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh putera Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kedua anakku itu (Hasan dan Husein) adalah dua orang yang wangi dari dunia.”

  1. Menggendong penuh cinta.

Abu Walid menceritakan pada kami: Syubah menceritakan pada kami: Dari Adi bin Tsabit: Aku mendengar Al Barra’ berkata, Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Hasan berada di atas pundak beliau sembari berkata, “Ya Allah! sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia.

  1. Anak penyejuk mata dan hati.

Bisyr bin Muhammad menceritakan pada kami: Abdullah mengabarkan pada kami: Shafwan bin Amr mengabarkan pada kami: Abdurrahman bin Jubair bin Nufair menceritakan padaku: Dari Bapaknya berkata, “Kami berkunjung (tempat) Al Miqdad ibnu Al Aswad pada suatu hari. Lalu ada seseorang yang lewat sambil berkata, ‘Bahagia sekali bagi dua mata yang telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Demi Allah, kami ingin melihat apa yang engkau lihat dan menyaksikan apa yang engkau saksikan. Kemudian orang itu marah dan aku menjadi kagum, karena dia tidak berkata kecuali perkataan yang baik! Kemudian aku menghadap kepadanya dan dia berkata, ‘Seseorang pasti tidak akan menghiraukan apa yang telah diangkat oleh Allah darinya untuk didatangkan kembali padanya?’ Dia tidak tahu, sekiranya dia melihatnya maka bagaimana itu dapat terjadi? Demi Allah! sungguh telah datang kepada Rasul segolongan kaum—mudah-mudahan Allah membalikkan muka kepada mereka di neraka Jahannam—mereka tidak menerima (dakwah)-nya dan tidak membenarkannya! Apakah kalian tidak memuji Allah Azza wa Jalla ketika menyelamatkan kalian dan kalian tidak mengetahuinya kecuali hanya Tuhan kalian. Oleh karena itu, maka benarkanlah apa-apa yang telah dibawa oleh Nabimu shallallahu ‘alaihi wasallam. [Kalian telah diselamatkan dari musibah yang disebabkan oleh selain kalian. Demi Allah, sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus] dalam kondisi yang sangat sulit dari kondisi yang tidak pernah diutusnya seorang nabi pun sebelumnya, yaitu pada masa fatrah (tidak diutusnya Nabi) dan masa jahiliyyah, yang mana mereka tidak melihat bahwa agama itu lebih baik dari menyembah berhala! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dengan membawa (Al Furqan) sebagai pembeda antara yang hak dan yang batil, antara orang tua dan anaknya, serta sampai-sampai seseorang mendapatkan ayahnya atau anaknya, atau saudaranya dalam keadaan kafir. Sungguh Allah telah membukakan kunci pintu hatinya dengan keimanan, dan dia mengetahui jika dia tergelincir maka dia akan masuk ke dalam neraka. Akan tetapi hatinya tidak terhibur (tenang) karena dia tahu bahwa kekasihnya di neraka dan seperti apa yang telah difirmankan Allah, ‘Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)…'” (Qs. Al Furqan (25): 74)

  1. Mendoakan orang lain untuk keberkahan anak dan hartanya.

Musa bin Ismail menceritakan pada kami: sulaiman bin Al-Mughirah menceritakan pada kami: Dari Tsabit: Dari Anas, dia berkata. “Pada suatu hari aku mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada (di saat itu) kecuali aku, ibu, dan Ummu Haram bibi (dari ibu). Ketika Rasulullah menemui kami, maka beliau berkata, ‘Apakah tidak sebaiknya kita shalat dan aku menjadi imam?’ Saat itu belum masuk waktu shalat. Lalu seseorang dari kaum itu berkata, ‘Dimana Anas radhiallahu ‘anhu ditempatkan oleh Rasulullah?’ Lalu dijawab, ‘Anas diposisikan di sebelah kanannya.’ Kemudian Rasulullah shalat dengan kami lalu mendoakan kami—seisi rumah—dengan segala kebaikan dari kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Kemudian ibuku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Pelayan kecilmu (Anas) berdoalah kepada Allah untuknya.’ Lalu Rasulullah melakukannya dengan segala kebaikan, lalu Rasulullah SAW mengakhiri doanya, “Ya Allah, perbanyaklah hartanya dan anaknya serta berkahilah ia.”

  1. Kasih sayang Allah untuk para ibu penyayang.

Muslim bin Ibrahim menceritakan pada kami: Ibnu Fadhalah menceritakan pada kami: Bakr bin Abdullah Al-Muzani menceritakan pada kami: Dari Anas bin Malik, “Seorang perempuandatang kepada Aisyah radiallahu anha, lalu Aisyah memberikan tiga buah kurma kepadanya dan perempuan itu memberikan kepada masing-masing anaknya satu buah kurma, dan menyisakan satu kurma untuk dirinya. Namun kedua anak itu setelah memakan kurma, ia melihat kepada ibunya, kemudianperempuan tersebut melihat satu buah kurma (yang tersisa untuknya), maka dibelahnya menjadi dua dan diberikan kepada masing-masing anaknya. Setelah itu Nabi sallallahu alaihi wasallam datang, maka Aisyah radiallahu anha menceritakannya. Kemudian Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Apa yang membuatmu heran dengan kejadian tersebut? Sungguh Allah telah menyayanginya karena dia telah menyayangi anaknya.”

  1. Mencium dengan kasih saying.

Muhammad bin Yusuf menceritakan pada kami: Sufyan mencertiakan pada kami: Dari Hisyam: Dari Urwah: Dari Aisyah radiallahu ‘anha, dia berkata: “Orang Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya, “Apakah kalian mencium anak-anak kalian? kami tidak mencium mereka!” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah aku kuasa menahan untukmu jika Allah mencabut kasih sayang dari hatimu?’.”

Abul Yaman menceritakan pada kami: syuaib mengabarkan pada kami: Dari Az-Zuhri: Abu Salamah bin Abdurrahman menceritakan pada kami: Bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium Hasan ibnu Ali, sementara di sampingnya ada Al Aqra’ ibnu Habis At-Tamimi sedang duduk, lalu Aqra’ berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh anak, aku tidak pernah menciumnya satupun dari mereka!’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya dan bersabda, ‘Barang siapa tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.”

Ikuti, kajian online rutin tiap hari Selasa, LIVE di Facebook page Dompet Dhuafa Hong Kong. [DDHK News]

Baca juga:

×