ArtikelHikmah

Peran dan Status Hadits dalam Hukum Islam

Pengertian dan perbedaan hadits dan sunnah

Para ulama hadits mengartikan hadits dan sunnah hampir sama. Yaitu, segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, taqrir, dan sifatnya. Juga, dipahami dengan hal-hal yang melekat pada Nabi saw, baik fisik, psikis, dan akhlak kesehariannya, sebelum atau sesudah diangkat menjadi Rasul.

Sedangkan menurut ulama ushul fiqih, Hadits dan sunnah dimaknai sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw dan mempunyai implikasi hukum syar’i.

Periodesasi perkembangan hukum Islam

  1. Periode Nabi. Pada periode ini Nabi saw menjadi satu-satunya panduan hukum, ketika dalil tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an.
  2. Periode sahabat. Pada periode ini permasalahan umat Islam semakin kompleks. Para sahabat menggunakan ijtihad melalui ijma’ atau konsensus dan menghasilkan sunnah sahabat.
  3. Periode ijtihad dan kemajuan. Ini merupakan priode pengumpulan hadits, ijtihad, dan fatwa sahabat, tabi’in, dan tabi’ittabi’in. Ijtihad mereka didasarkan atas Al-Qur’an, sunnah Nabi saw, dan sunnah sahabat. Periode ini melahirkan imam fuqaha seperti munculnya Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
  4. Periode taqlid dan kemunduran. Ditandai oleh penutupan pintu ijtihad karena bermunculan mujtahid yang tidak sesuai standar dan menghasilkan hukum yang beragam. Terjadi bersamaan dengan mulainya kemunduran Islam.

Alasan sunnah dijadikan hujjah

  1. Nash (teks) Al-Qur’an.

من يطع الرسول فقد اطاع الله ( النساء : 80)

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

  1. Sunnah adalah penyampaian riaslah Tuhan.

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ…( المائدة : 67)

  1. Nabi berbicara atas dasar wahyu.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلْهَوَىٰٓ

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ ( النجم : 3-4)

Fungsi hadits dan sunnah

  1. Sebagai bayan ta’kid. Yaitu, menguatkan kembali apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Contoh, adanya penetapan puasa dalam Al-Qur’an lalu dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Imam Muslim.
  2. Sebagai bayan tafsir. Yaitu, memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian dari teks ayat-ayat Al-Qur’an. Contoh, hadits tentang shalat, haji, zakat. Praktik yang dilakukan Rasulullah saw adalah penjabaran ayat Al-Qur’an yang mujmal.

Kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an

  1. Sunnah menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat-ayat mujmal, mentakhsis ayat yang umum. Sebagai contoh, penjelasan tentang shalat, zakat. Imam Syafii mencontohkan hadits:

لا تنكح المرأة على عمتها ولا على خالتهاولا على ابنة أختها ولا ابنة أخيها

“Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jalur bapak, bibi dari jalur ibu, anak dari saudara perempuannya dan anak dari saudari laki-lakinya.” mentakhsis ayat وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” (QS an-Nisa: 24).

  1. Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan dalam nash Al-Qur’an. Contoh: masalah li’an dijelaskan secara jelas dan sempurna, serta sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami-istri dengan jalan perceraian. Perceraian ini mengandung hikmah, karena tsiqah (kepercayaan) yang menjadi dasar perkawinan telah hilang dari suami-istri.
  2. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an. Bukan pula tambahan dari nash Al-Qur’an. Contoh: mengharamkan memakan daging binatang buas dan beberapa ketentuan tentang diyat.

Pandangan Syatibi (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, 729-735) dan Audah (Audah, At-Tasyri, 174-175):

  1. Bayan tafshil, seperti shalat, haji, dan lainnya dirinci hadits.
  2. Bayan takhshish, seperti Al-Qur’an mengharamkan bangkai, hadits mengkhususkan bangkai selain di laut.
  3. Bayan ta’yin/ta’kid.
  4. Bayan tasyri’, seperti mengharamkan pernikahan dengan bibi.
  5. Bayan nasakh.

Klasifikasi hadits

Dari segi penerimaannya, hadits terbagi dalam:

  1. Hadits yang dituturkan oleh banyak orang yang tidak memungkinkan mereka berbohong. Para ulama sepakat menjadikannya sebagai sumber hukum.
  2. Diriwayatkan oleh 1-2 orangs ahabat dan tersambung kepada Rasulullah saw. Ulama berbeda pendapat dalam menjadikannya sumber hukum.

Hadits juga terbagi dalam:

  1. Shahih (otentik). Hadits yang tersambung sanadnya melalui penuturan tokoh-tokoh yang diakui kejujurannya dan tersambung sampai kepada Rasulullah saw, serta tidak ada kemungkinan terjadinya inqitha’ (keterputusan) dalam sanadnya,
  2. Statusnya di bawah hadits shahih, disampikan oleh perawi yang jujur dan handal, tapi kurang dalam hafalan dan ketelitian.
  3. Hadits yang tidak memiliki kualitas shahih dan hasan. Di dalamnya ada hadits mursal, yaitu sanadnya tidak ada mata rantai sahabat. Juga ada hadits syadz, yaitu hadits yang disampaikan dengan nyeleneh, meskipun orang tersebut dikenal handal.

Apakah semua perbuatan Nabi saw berimplikasi hukum? Hal ini dikategorikan menjadi 3:

  1. Perbuatan menyangkut syariat, seperti shalat, puasa, dan haji.
  2. Kekhususan bagi Nabi saw. Contoh, pernikahannya yang lebih dari 4.
  3. Perbuatan Nabi saw karena menyangkut uruf atau kebiasaan orang Arab, seperti makan, minum, dan berpakaian.

Pembagian hadits dan sunnah dari sisi periwayatan:

Pertama, Muttashilussanad. Terbagi dalam:

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak mungkin bersepakat bohong. Hadits ini menghasilkan “al-ilmu yakinal-dharury”.
  2. Hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang, atau lebih sedikit dari kalangan sahabat, kemudian itu tersebar luas hingga diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mngkin bersepakat bohong.
  3. Setiap hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh seorang, dua orang, atau sedikit lebih banyak dan belum mencapai hadits masyhur.

Kedua, Ghairu Muttashil Sanad. Hadits yang sanadnya tidak bersambung kepada Nabi saw. Sebagian ulama menamakannya hadits mursal. Yaitu, hadits di mana seorang perawi tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits itu. Ulama yang lain lagi menamainya hadits munqathi’.

Oleh Ustadz Muhamad Hizbullah, M.A., disampaikan pada kajian Madrasah Perantau Online, Ahad, 14 Maret 2021.

>>>Ikuti kajian Madrasah Perantau Online di Facebook page Dompet Dhuafa Hong Kong setiap hari Ahad. [DDHK News]

Baca juga:

×