DDHK.ORG – Remaja saat ini tidak bisa lepas dari media sosial. Para orangtua kadang merasa bingung bagaimana cara mengawasi mereka saat di rumah dan luar rumah.
Beragam kasus kejahatan bermunculan efek dari kecanduan media sosial. Dan ini sangat mengkhawatirkan. Lalu bagaimana parenting di era media sosial untuk para remaja?
Dilansir dari Republika, baru-baru ini terungkap kejahatan yang dilakukan dua remaja di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka ditangkap karena menculik dan membunuh anak berumur 11 tahun.
Keduanya nekat melakukan aksinya untuk menjual organ tubuh korban dengan harga yang fantastis. Padahal belum tentu organ yang diambil bakal laku di pasaran.
Mereka membunuh karena terpengaruh informasi yang diperoleh dari situs Yandex, mesin pencari buatan Rusia. Yang mereka temukan di Yandex adalah harga jual organ manusia ternyata senilai jutaan dolar Amerika Serikat (AS).
Besarnya dampak internet dan teknologi terhadap pola pikir manusia pun kembali menjadi pertanyaan.
Director Deputy ICT Watch, Widuri menjelaskan, tuntutan remaja sekarang untuk harus bisa selalu update dengan perubahan teknologi menjadi beban sendiri.
Misal, teman-teman sekitarnya sudah pakai Iphone maka agar tidak dianggap cupu atau kurang update, alhasil banyak yang memaksakan diri untuk punya gawai yang sama.
Akhirnya, jalan pintas pun dicari sampai tega dengan menjual ginjal. Hal ini seperti yang dilakukan kedua pelaku yang berniat menjual ginjal dan organ tubuh lainnya dari korban pembunuhan itu.
“Namun mirisnya adalah mereka bahkan belum paham bagaimana prosedur penjualan organ itu seperti apa, tetapi sudah nekat untuk menghabisi nyawa orang lain,” kata Widuri kepada Republika, Rabu (11/1/2023).
Selain itu, menurut Widuri, banyak kasus yang ditemui, remaja-remaja yang terlilit utang karena pinjaman online (pinjol) demi memenuhi keinginannya untuk membeli Iphone dan barang lainnya.
Widuri mengungkapkan, perubahan atau tranformasi teknologi apa pun bentuknya, dari mulai teknologi kecil, sudah adanya TV, mesin cuci, juga mengubah perilaku orang terhadap sesuatu.
Sama halnya terkait dengan internet, contohnya ketika dulu teknologi informasi dan telekomunikasi, dulu masih surat-menyurat, masih sistem telepon rumah belum self phone, itu orang punya kesabaran lebih.
Ketika punya sahabat pena, atau ketika orang tua di luar kota, kita sabar nunggu kabar hingga dua pekan sampai surat dibalas.
“Tingkat kesabaran manusia bisa lebih panjang waktunya. Beda ketika sekarang ketika segala macam percakapan, informasi komunikasi antara teman ataupun antarkeluarga, hanya sebatas WA (aplikasi Whatsapp) atau telepon selalu dalam genggaman, orang lebih cenderung banyak yang tidak sabaran,” katanya.
Widuri melanjutkan, zaman sekarang ketika misalnya WA sekian menit tidak dibalas, sudah melihat centang biru, tapi tidak dibalas seringnya suuzhan atau negative thinking mengapa tidak langsung dibalas.
Padahal, yang namanya kegiatan manusia macam-macam. “Itu baru satu hal mengenai perubahan perilaku,” katanya.
Widuri menambahkan, tentunya banyak hal yang bisa menyebabkan perilaku lain berubah, misalnya perubahan perilaku yang memang negatif yang ada di dunia nyata. Ketika itu terbawa atau hanya berpindah tempat dengan dunia internet, itu juga akan ada perubahan itu.
Contohnya, crowd behaviour. Ketika orang ramai-ramai tanpa sebab, ada satu orang meneriaki kita di jalan, “Copet, copet”. Hanya satu orang, tapi yang lain otomatis semua orang ikutan. Sama halnya dengan kasus tawuran.
Padahal, tidak salah apa-apa, tetapi diteriaki, crowd behaviour-nya adalah ramai-ramai bahwa ketika di kerumunan, hal-hal seperti itu mudah sekali dipancing.
“Hal itu juga yang terjadi di internet, ketika satu orang memberikan pernyataan provokasi, kemudian ada satu orang lagi menyatakan membenci dia dan apa pun itu, ramai-ramai orang melakukan hal yang sama,” ujar Widuri. [DDHK News]