ArtikelFiqih

Hukum Melepas Hijab Saat Bekerja di Perusahaan yang Melarang Menggunakannya

DDHK.ORG — (Dinukil dari Bab Akidah dan Muamalah Buku Fiqih Minoritas)

Menutup aurat seperti menggunakan hijab bagi perempuan adalah fardhu ‘ain yang tidak boleh ditinggalkan. Mereka dilarang melepaskannya di hadapan orang lain dan bukan mahramnya kecuali dalam kondisi darurat.

Dalil yang Mewajibkan

Allah berfirman;

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. [QS. An-Nur, ayat 31]

Rasulullah bersabda kepada Asma’;

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضُ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Wahai Asma’, seorang wanita bila telah baligh tidak pantas terlihat darinya kecuali ini dan ini (wajah dan telapak tangan)”. [HR Abu Dawud, nomor 4106]

Berdasarkan dalil yang bersifat nash ini, seorang wanita tidak dibolehkan membuka auratnya di hadapan orang lain selain mahramnya kecuali dalam kondisi darurat.

Dar al-Ifta’ Mesir mengeluarkan fatwa;

أَمَّا بِخُصُوْصِ الْحِجَابِ فَهُوَ وَاجِبٌ فِي حَقِّ النِّسَاءِ، وَلَا يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَخْلَعَ الْحِجَابَ إِلَّا إِذَا خَافَتِ الضَّرَرُ عَلَى نَفْسِهَا أَوْ عَائِلَتِهَا

“Mengenai hijab, para wanita diwajibakan mengenakannya, dan dia tidak boleh menanggalkannya kecuali jika dia kuatir akan bahaya yang menimpa diri dan keluarganya”. [Dar al-Ifta’, Su’âlât al-Aqalliyyât, (Kairo: Dar al-Ifta’, 1434H), hal.718.]

Batasan Darurat

Darurat yang dimaksud adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili;

الضَّرُوْرَةُ هِيَ أَنْ تَطْرَأَ عَلَى الْإِنْسَانِ حَالَةً مِنَ الْخَطَرِ أَوِ الْمَشَقَّةِ الشَّدِيْدَةِ بِحَيْثُ يَخَافُ حُدُوْثَ ضَرَرٍ أَوْ أَذَى بِالنَّفْسِ أَوْ بِالْعُضْوِ أَو بِالْعَرَضِ أَوْ بِالْعَقْلِ أَوْ بِالْمَالِ وَتَوَابِعِهَا ، وَيَتَعَيَّنُ أَوْ يُبَاحُ عِنْدَئِذٍ ارْتِكَابُ الْحَرَامِ أَوْ تَرْكُ الْوَاجِبِ أَوْ تَأْخِيْرُهُ عَنْ وَقْتِهِ دَفْعًا لِلضَّرَرِ عَنْهُ فِي غَالِبِ ظَنِّهِ ضِمْنَ قُيُوْدِ الشَّرْعِ

“Kondisi darurat adalah dengan datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang sangat berat kepada diri manusia yang membuatnya kuatir akan terjadi kerusakan (dharar) atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, akal, harta dan yang bertalian dengannya, sehingga ketika itu tidak dapat tidak harus melakukan yang diharamkan, atau meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda waktu pelaksaannya guna menghindari kemudaratan yang diperkirakannya dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh syarak”. [Wahbah al-Zuhaili, Nazhariyyah al-Dahrûrah al-Syar‘iyyah, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, cet.4, 1985), hal.67-68.]

Lembaga Fatwa Mesir dalam Su’âlât al-Aqalliyyât menjelaskan jika mengenakan hijab dalam kondisi itu mendapatkan respon permusuhan dari pihak lain yang tidak mungkin dihadapi, atau mengakibatkan kehilangan pekerjaan dengan syarat tidak adanya sumber pemasukan lainnya yang dapat diupayakan untuk biaya hidup sehingga dapat mengancam kehidupannya, maka khusus pada kondisi itu seminimal mungkin atau sesingkat-singkatnya waktu dia dapat melepaskan hijab dengan tetap berupaya menutupnya semampunya sembari memohon ampun kepada Allah, karena melakukan larangan agama pada kondisi darurat itu hanya dihitung sekadarnya saja. [Dâr al-Iftâ’ al-Mishriyyah, Su’alât al-Aqalliyyât, hal.404.]

Yang dimaksud dengan “sekedar” ini dapat dicontohkan dengan seorang pasien wanita yang terluka yang harus dijahit pada bagian atas pergelangan tangan (aurat) sedangkan tidak ada dokter perempuan pada saat mendesak itu, maka dokter laki-laki dapat mengambil tindakan dengan catatan lengan baju pasien tersebut tidak boleh lebih disingsingkan melebihi bagian yang terluka tersebut, yaitu kadar darurat itu hanya pada bagian yang akan diberi tindakan.

Meskipun demikian, wanita yang bekerja di tempat yang dilarang berhijab ini wajib sesegera mungkin mendapatkan pekerjaan baru yang dapat menjaminnya bebas menjalani ajaran agamanya, karena bagaimana pun kewajiban berhijab ini berdasarkan kepada dalil yang qath‘î dalalah, yakni tidak mengandung penafsiran lain sebagaimana kewajiban shalat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu. Namun apabila misalnya pekerjaan tersebut berdasarkan kontrak hingga waktu yang ditentukan, lalu jika wanita itu resign sebelum kontrak habis akan dikenakan denda, sementara dia tergolong tidak mampu atau hanya semata-mata mengandalkan biaya hidup dari gaji perkerjaan di tempat itu, maka dia dapat menyelesaikan kontrak kerja tersebut dengan tetap berupaya mengenakan hijabnya semampunya di saat itu lalu kemudian segera pindah ke tempat lainnya.

Harus Yakin kepada Allah

Namun begitu sebagai umat Muslim harus yakin kepada Allah Yang Maha Pemberi Rezki, salah satunya firman Allah berikut;

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki )Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. [Surat al-Thalaq, ayat 2-3.]

Wallahu a’lam. [DDHK News]

Baca juga:

×