Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji

(Kajian berseri menuju musim haji)

 

DDHK.ORG – Waktu pelaksanaan ibadah haji sudah memiliki ketentuan khusus. Dan tidak boleh melakukan ibadah haji di luar waktu yang ditentukan.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Baqarah/02:197,

 

ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ يَعۡلَمۡهُ ٱللَّهُۗ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ .

 

Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, maka barangsiapa yang mewajibkan (atas dirinya) untuk berhaji di dalamnya (bulan-bulan itu), maka tidak ada rafats (bercampur dengan isteri, cumbu-rayu, dan berkata cabul), tidak ada kefasikan (berucap atau berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma susila dan agama) dan tidak ada bantah-bantahan di dalam haji. Dan apa pun yang kamu kerjakan berupa kebaikan, (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah kamu! Maka, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal bersih, murni, dan cerah!

Perlu diketahui, musim atau waktu haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, Dzulqa’idah, dan 9 Dzulhijjah, ditambah malam ke-10, yakni malam Lebaran Ied al-Adha.

Ayat pertama di atas tidak menyebut kata musim atau waktu  dalam redaksi ayat. Hal itu, untuk memberi kesan bahwa bulan-bulan itu sendiri memiliki kesucian pada dirinya dan akibat terlaksananya ibadah haji ketika itu.

Kesan ini, pada gilirannya, mengharuskan setiap orang, baik yang melaksanakan haji maupun yang tidak, untuk menghormatinya dan tetap memelihara kesuciannya dengan menghindari bukan hanya peperangan, akan tetapi juga segala macam dosa.

Bulan-bulan yang dimaklumi, yakni bulan yang sudah diketahui oleh  masyarakat Arab sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Maka barangsiapa yang mewajibkan atas dirinya dengan  menetapkan niat untuk melaksanakan haji dalam bulan-bulan itu, maka hendaklah ia mengetahui bahwa tidak ada rafats, tidak ada kefasikan, dan tidak ada juga jidal, yakni pertengkaran di dalam masa mengerjakan haji.

Anak kalimat “dalam bulan-bulan itu” mengisyaratkan bahwa ibadah haji dapat terlaksana walaupun tidak dilaksanakan sepanjang bulan-bulan tersebut. Dengan demikian, waktu haji bukan seperti waktu puasa Ramadhan, yang harus dilaksanakan sejak awal Ramadhan hingga akhirnya, kecuali yang memiliki uzur (halangan) yang dapat dibenarkan mengganti puasanya pada hari-hari yang lain.

Bulan-bulan tertentu yang telah dimaklumi atau diketahui itu, antara lain merupakan waktu permulaan berniat untuk melaksanakan haji. Niat berhaji sebelum bulan-bulan tersebut di atas tidak sah menurut banyak ulama.

Pada sisi lain, walau waktunya demikian panjang, yakni 2 bulan 10 hari, namun ada malam-malam haji yang tidak sah dilaksanakan kecuali pada hari-hari tertentu, seperti wukuf di ‘Arafah yang tidak boleh sebelum tanggal 9 Dzulhijjah, tidak juga setelah terbitnya fajar 10 Dzulhijjah.

Waktu yang berkepanjangan itu, antara lain, dimaksudkan untuk memantapkan niat, melakukan persiapan bekal jasmani dan rohani, serta melakukan perjalanan yang hingga kini—lebih-lebih di masa lalu—membutuhkan waktu yang cukup lama. [DDHK News]

Exit mobile version