Terlilit Beban Utang, Suami Jadi Sering Marah dan Bersikap Kasar

TANYA:
Assalamu’alaikum, Ustadz.

Ustadz, saya seorang pekerja migran Indonesia yang sekarang sedang bekerja di Hong Kong. Qadarullah, saat ini saya sedang ditimpa musibah: saya dililit utang.

Yang ingin saya tanyakan di sini, gara-gara utang ini suami saya berubah, Ustadz. Dia sering marah-marah kepada saya dan sering berkata kasar, ketika saya curhat mengajak dia untuk musyawarah. Padahal, utang tersebut saya lakukan untuk keperluan dia.

Sudah tiga bulan ini kami hampir setiap hari rebut. Dia selalu mengungkit kesalahan saya ini, seakan saya tidak pernah ada benarnya, Ustadz.

Setiap kami bertengkar, saya selalu minta maaf. Tapi semakin ke sini saya semakin tidak dihargai sebagai istri beliau. Salah sedikit, selalu disumpah serapah, semua kata-kata kasar dia keluarkan.

Jika saya mengajukan cerai, apakah bisa, Ustadz? Apa yang harus saya lakukan?

Syukron, Ustadz.

Salam,
Fulanah

JAWAB:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Seorang suami marah-marah dan suka mengungkit-ungkit kesalahan istri, bisa jadi ada hal yang menjadi motivasi sang suami untuk melakukan hal tersebut. Alangkah arif, jika sang istri bisa bertanya, dari hati ke hati, sebenarnya apa yang menjadikan sang suami begitu mudah meluapkan amarahnya.

Jika sumber permasalahannya adalah utang, perlu ditanyakan, mengapa harus dipermasalahkan, kalau utang itu juga untuk kebutuhan keluarga. Selama utang tersebut terukur dalam koridor kemampuan sang istri untuk membayarnya, toh kan masih sama-sama bekerja dan memiliki penghasilan.

Utang itu menjadi masalah, kalau cara memperolehnya tidak bersih dan peruntukkannya juga tidak tepat guna. Ditambah, tidak memiliki perencanaan yang matang untuk membayarnya. Itu mengapa utang harus ditulis dan diukur betul kemampuan membayarnya.

Jika hal tersebut di atas terpenuhi, artinya bukan karena utang yang menjadi pemicu utama mengapa sang suami begitu mudah marah. Bisa jadi ada hal yang lain, ada masalah lain yang mengganggu pikiran beliau, sehingga itu yang harus diuraikan, dan sang istri membantu untuk mencarikan jalan keluarnya.

Di sini peran istri sangat dibutuhkan. Jangan terburu-buru menggugat cerai. Meski boleh, namun Allah murka terhadap mereka yang bercerai. Makruh hukumnya.

Apalagi, ada anak-anak yang pastinya akan menjadi korban jika kedua orang tuanya tidak sabar. Selain anak, ada kedua orang tua dan mertua yang pasti malu punya anak yang berantakan rumah tangganya. Jadi perbincangan dan gunjingan tetangga yang tidak terjaga lisannya.

Karakter seorang Muslim atau Muslimah itu berpikir matang-matang sebelum bertindak dan memutuskan. Selalu berpegang dengan prinsip kebaikan dan kemaslahatan untuk semua, bukan untuk kebutuhan pribadi dan sesaat saja. Apalagi, tidak cukup rasional dikarenakan terlalu emosional.

Periksa dulu diri kita, apakah ada yang salah, adakah hak-hak suami yang belum ditunaikan, sehingga suami bisa seamarah itu.

Allahua’lam.

(Dijawab oleh: Ustadz Imam Alfaruq, S.E.I., M.E.)

Sahabat Migran ingin berkonsultasi seputar masalah agama Islam?
Yuk, sampaikan pertanyaannya melalui pesan WhatsApp ke nomor +852 52982419.

Exit mobile version