BeritaDunia Islam

Tenggelamnya Kapal Syeikh Madinah

[Cerpen Sejarah oleh Fatchuri Rosidin]

Ada yang istimewa pagi itu di Masjid Nabawi. Syeikh Ahmad Qusyasyi, seorang ulama besar Madinah yang lahir tahun 1583 dan tokoh pembaharu tarekat Syattariyah, akan melepas salah satu muridnya untuk memulai perjalanan dakwah. Sang murid, Abdullah Arif, telah duduk di depannya. Ia telah bangun sejak dini hari, mendirikan shalat malam yang panjang, dan dilanjutkan dzikir khusuk selepas subuh.

Abdullah Arif telah menyampaikan keinginannya untuk berdakwah ke Sumatroh, Jawa, atau Mamluk (Maluku) di kepulauan Nusantara. Sejak membaca buku Ibnu Battutah berjudul Rihlah ilal Masyriq (Pengembaraan ke Timur), ia tertarik mengunjungi negeri-negeri yang diceritakan Ibnu Battutah: Sumatroh, Jawa, dan Mamluk.

“Berangkatlah dengan bekal taqwa; sebaik-baik bekal perjalanan. Aku mengijinkanmu berdakwah ke negeri Sumatroh, Jawa, Makassar, atau Mamluk. Di Makassar kau bisa bertemu dengan muridku Yusuf al-Makassari. Di Jawa kau bisa menemui Abdul Muhyi Pamijahan. Di Sumatroh bagian utara ada muridku Abdurrauf As-Singkili; Qadhi kesultanan Aceh Darussalam. Engkau pergilah lebih ke selatan, di tempat di mana Islam belum banyak dikenal,” pesan Syeikh Ahmad Qusyasyi kepada muridnya sambil memberikan beberapa buku untuk bekal perjalanan, salah satunya buku yang ditulis Syeikh Al Burhanpuri yang berjudul Tuhfah al Mursalah Ila Ruhi Nabi.

“Baik, Guru. Saya sudah siap berangkat. Mohon doakan agar Allah meridhoi perjalanan dakwah ini,” jawab Abdullah Arif.

Dari Madinah, Abdullah Arif menempuh perjalanan darat sejauh 212 kilometer ke arah barat melalui al-Fiqrah, Maqra’, hingga tiba di kota pelabuhan Yanbu. Yanbu merupakan kota pelabuhan dagang yang berkembang sejak abad ke-15; menggantikan peran pelabuhan al-Sereen yang telah memainkan perannya sebagai bandar perdagangan internasional selama 500 tahun. Dari Yanbu, ia menumpang kapal yang akan berlayar menuju Aceh.

Sumatroh adalah nama yang diberikan oleh Ibnu Battutah yang mengunjungi pulau itu di tahun 1345 dan sempat tinggal di ibu kota kesultanan Aceh Darussalam selama 25 hari menjadi tamu Sultan Malik al-Zahir II. Aceh yang berada di ujung utara Sumatroh merupakan bandar pelabuhan internasional tempat pertemuan para saudagar dari Arab, Eropa, Persia, India, Cina, Melayu, Jawa, dan kepulauan Mamluk.

Dari Yanbu, kapal yang ditumpangi Abdullah Arif melintasi Laut Merah, kemudian berbelok ke timur mengarungi Laut Arab dan berlabuh di Muskat, Oman. Muskat bukan daerah asing baginya karena ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya di Oman sebelum menuntut ilmu ke Madinah. Dari Muskat, kapal kembali berlayar ke arah timur menyusuri pantai barat India hingga berlabuh di Maladewa. Ia sempat tinggal dan berdakwah di sana. Lalu ia melanjutkan perjalanan menuju Aceh. Dari Aceh, ia berganti kapal dan bertolak ke arah selatan melalui pantai barat Sumatroh.

“Ada badai di depan!” suara teriakan seorang awak kapal membangunkan semua penumpang yang sedang terlelap malam itu saat kapal baru beberapa jam melewati kepulauan Nias. Abdullah Arif yang sedang shalat malam mempercepat shalatnya untuk berjaga-jaga jika badai menghantam kapal.

Dan yang dikhawatirkannya terjadi. Ombak besar mengombang-ambingkan kapal, membawa kapal itu naik di ujung lidah gelombang, lalu dalam sekejap dihempaskan ombak. Ia merasakan kapal itu seperti jatuh dari jurang, kemudian menabrak dasar jurang. Belum sempat bangun dari jatuh, sebuah ombak yang lebih besar kembali datang dan menggulung kapal. Nahkoda dan awak kapal berjuang menjaga agar kapal tidak terbalik. Cukup lama kapal terjebak dalam gulungan ombak dan hujan badai hingga sebuah ombak besar menghantam lagi dan menghancurkan kapal. Ia dan beberapa penumpang serta awak kapal terlempar dan jatuh ke laut.

“Allahu Akbar!” seru Abdullah Arif saat ombak besar kembali datang, “jika Engkau ridhoi hamba berdakwah di negeri ini, selamatkanlah hamba sebagaimana Engkau selamatkan Yunus dari gelapnya lautan.”

Lalu, ombak besar itu pun menggulung tubuhnya membawanya menuju takdir Allah berikutnya.

Abdullah Arif terseret ombak dan terdampar di pantai Tiku; sebuah pantai di pesisir barat Sumatroh, dua hari perjalanan kaki dari Bukittinggi melalui danau Maninjau. Daerah itu ditempati masyarakat Minangkabau dan merupakan wilayah kerajaan Pagaruyung; sebuah kerajaan Budha yang didirikan pada tahun 1347 oleh seorang Pangeran Majapahit bernama Adityawarman.

Abdullah Arif diselamatkan beberapa orang nelayan dan dirawat hingga sembuh luka-lukanya.

“Maha Besar Allah yang di tangannya semua takdir ditentukan. Allah telah mengirimkan aku ke negeri ini. Maka di negeri inilah aku akan memulai dakwah,” ujar Abdullah Arif pada dirinya sendiri.

Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan pada nelayan yang menolongnya, Abdullah Arif berjalan kaki ke arah selatan mencari tempat yang tepat untuk berdakwah hingga sampai di daerah Ulakan, Pariaman. Setelah mendapat ijin dari penguasa Ulakan Rangkayo Rajo Mangkuto, ia mendirikan masjid dan memulai dakwah. Penduduk Ulakan memanggilkan Syeikh Madinah.

Suatu hari, seorang remaja usia belasan tahun dengan wajah yang terlihat kelelahan datang ke masjid.

“Tuan, bolehkah saya meminta air untuk menghilangkan dahaga?” katanya kepada Syeikh Madinah.

Melihat kondisinya yang kusut dan kelelahan, Syeikh Madinah mengambilkan air dan makanan yang langsung diterima anak itu dengan wajah berbinar.

“Siapa namamu, nak?” tanya Syeikh Madinah setelah anak itu menghabiskan makanannya.

“Nama saya Kanun, Tuan. Tapi teman-teman saya memanggil saya Pono,” jawabnya.

“Di mana rumahmu, Pono? Kelihatannya kamu datang dari jauh,” tanya Syeikh Madinah lagi.

“Rumah saya di Sintuk, Tuan. Tak sampai setengah hari jalan kaki dari sini. Ayah saya miskin, di rumah tidak ada makanan. Saya pergi dari rumah, membantu siapa saja yang membutuhkan tenaga saya asal bisa memberi saya makan.”

“Kalau begitu, kau bisa membantuku di sini. Kau bisa makan di sini setiap hari,” kata Syeikh Madinah yang langsung diiyakan oleh Pono.

Sejak hari itu, Pono tinggal bersama Syeikh Madinah di Ulakan. Beberapa hari sekali ia pulang ke rumahnya di Sintuk. Pono membantu membersihkan masjid, memasak makanan, bahkan mendampingi Syeikh Madinah berdakwah ke kampung-kampung. Ia pun akhirnya sering menyimak apa yang disampaikah Syeikh Madinah dalam dakwahnya.

“Tuan, apakah orang miskin seperti saya bisa menjadi muslim?” tanya Pono suatu hari.

“Islam itu bukan agama untuk orang kaya saja,” jawab Syeikh Madinah, “Islam diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad untuk semua manusia. Dan dalam Islam, derajat seseorang tidak ditentukan oleh kekayaannya, tetapi ketakwaannya.”

Pono lahir sebagai penganut Budha, mengikuti orang tuanya. Ia lahir di Padang Panjang tahun 1641. Karena kemiskinan yang berat, ayahnya membawanya merantau ke daerah pesisir yang lebih ramai, dengan harapan mendapatkan pekerjaan di pelabuhan atau bekerja kepada seorang saudagar.

Hari itu, Pono membaca syahadat dan menyatakan keislamannya di depan Syeikh Madinah yang kemudian memberinya nama baru: Burhanuddin. Nama barunya itu memiliki arti orang yang mendapat pencerahan agama.

Selama beberapa tahun, Burhanuddin menjadi murid Syeikh Madinah. Ia pun tetap bekerja membantu semua pekerjaan Syeikh Madinah dan mendampinginya berdakwah ke kampung-kampung. Kecerdasan dan ketekunannya membuat ia menjadi salah satu murid kesayangan Syeikh Madinah.

Suatu hari, Syeikh Madinah memanggil Burhanuddin.

“Aku akan melanjutkan perjalanan dakwah ke tanah Jawa. Dakwah di sini aku serahkan kepadamu,” kata Syeikh Madinah kepadanya. “Tapi sebelumnya, pergilah ke Aceh untuk memperdalam ilmu kepada Syeikh Abdurrauf As-Singkili dan sampaikan salamku kepadanya.”

Syeikh Madinah meninggalkan Minangkabau dan pergi ke Banten memenuhi permintaan Sultan Banten untuk berdakwah di sana. Ia juga menikah dengan putri sultan Banten dan mendapat gelar Pangeran Kasunyatan. Sebagai ulama, ia dikenal dengan sebutan Kyai Dukuh.

Memenuhi pesan gurunya, Burhanuddin berangkat ke Aceh dan berguru kepada Syeikh Abdurrauf As-Singkili selama beberapa tahun dan kembali melanjutkan dakwah di Ulakan. Tahun 1680, Syeikh Burhanuddin mendirikan surau gadang dan Pesantren Luhur sebagai pusat pendidikan Islam. Sejak itu, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Syeikh Burhanuddin Ulakan.

Lewat Pesantren Luhur, Syeikh Burhanuddin berhasil melakukan kaderisasi ulama, melahirkan ulama-ulama besar seperti Syekh Ismail Abdullah, Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Jalaluddin, dan Syekh Jambil Jambek. Mereka kemudian menyebarkan Islam di pelosok kerajaan Pagaruyung. Islam akhirnya dianut oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau dan juga pejabat-pejabat istana, hingga Pagaruyung kemudian berubah menjadi kerajaan Islam dan menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara, hingga lahir falsafah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”. [Sumber: www.fatchuri.com] [DDHK News]

Fatchuri Rosidin adalah Direktur IMZ Consulting, konsultan dan pembicara publik di bidang motivasi, pengembangan SDM, leadership, parenting, dan pemberdayaan masyarakat.

Baca juga:

×