Di Mana Hijabmu, Ukhti…?

“Pusing saya, Neng. Di kampus anak-anak dandannya membuat saya… Tolong dibilangin ya, pakaiannya yang sopan-sopan gitu. Cuma bisa dipandang doang, ‘gak bisa diapa-apain, apalagi jauh dari ibu (istri). Kalo ada ibu ‘kan bisa ditumpahkan ke ibu semua. Untung saya masih punya iman. Sekali lagi, untung… tapi sampai kapankah, ya ukhti, kalianlah yang mengundang setan-setan itu… tanpa disadari. Miris!”

Begitulah kira-kira “curhat” seorang dosen kepada saya. Astaghfirullah al-‘adzim. Mereka –mahasiswi– bukannya tidak tahu hukumnya hijab, tapi tidak mau tahu. Kalau saya sentil sedikit omongannya masalah hijab, seakan mereka semua tutup kuping.

Memang, semua butuh proses, waktu. Berikan hamba kekuatan, ya Robb…! Mengamalkan Al-Qur’an itu tidak berat kalau kita terbiasa menjalankannya (taushiyah Kak Imung).

Jadi ingat novelnya Kang Abik, Bumi Cinta. Tokoh utama mempertahankan aqidah di tengah kehidupan yang bebas, apalagi negeri itu terkenal dengan pengakses situs porno terbesar di dunia!

Lingkunganlah yang membentuk kita. Siapa yang berteman dengan penjual minyak tanah, dia akan terkena bau minyak tanah. Bukan berarti melarang bergaul. Dalam berteman, bergaul, sama siapa saja, tetapi kita harus mempunyai filter untuk itu semua shingga hal-hal yang tidak baik kita bisa antisipasi.

Ironisnya, di antara mereka ada yang bangga bilang, “Dulu saya berjilbab…” Lalu, sekarang? Di mana hijab-hijab itu, wahai ukhti-ukhtiku, hingga kalian rela mempertontonkan aurat kalian? Kalian berlomba-lomba dalam mengumbar syahwat. (Aisya Quenee/Hong Kong).

Exit mobile version