Sulitnya Kata Maaf

DDHK.ORG — Berdasarkan firman Allah swt di Qs. 20:115, kita semua adalah pendosa.

وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَىٰ آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.”

Terkait dosa dan kebajikan, Rosulullah saw memberikan petunjuk agar kita mendengarkan sinyal hati untuk membedakannya. Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa? Aku menjawab: Ya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tentram kepadanya. Sedangkan dosa itu adalah apa saja yang mengganjal dalam hatimu dan membuatmu ragu, meskipun manusia memberi fatwa kepadamu.” (Hadits hasan)

Ada beberapa macam kesalahan. Yaitu:

  1. Kesalahan yang dimaklumi, larena merupakan sifat dasar manusia, sebagaimana digambarkan dalam Qs. 20:115 di atas.
  2. Kesalahan harus ada konsekuensi efek jera. Misalnya, dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir.
  3. Kesalahan menjadi karakter. Tandanya, sering diulangi, lebih dari 3 kali.

Pelaku atau korban?

Jika sebagai korban kesalahan, maka firman Allah swt dalam Qs. 3:134 harus menjadi pijakannya dalam bersikap.

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Ia memiliki dua pilihan: memaafkan pelaku atau tidak memaafkannya. Namun, memaafkan pelaku adalah sifat yang mulia dan banyak fadilahnya. Bahkan Rosulullah saw beristighfar untuk pelaku kesalahan 70 kali sehari.

Jika sebagai pelaku dan bersalah, maka kalam ALlah swt di Qs. 3:135 harus menjadi pijakannya dalam menyikapi kesalahan yang dibuatnya.

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”

Kewajibannya sebagai orang yang bersalah adalah harus meminta maaf, memohon ampunan, dan menyelesaikan masalah yang dibuatnya sebagai konsekuensi. Haknya kemudian adalah dimaafkan dan diselesaikan urusannya. Jika sudah selesai tapi tidak dimaafkan juga, itu akan menjadi sarana transfer pahala. sebagai bentuk komitmennya, ia berstighfar 100 kali dan melakukan taubat nasuha.

Ada beberapa kisah tentang perilaku salah namun pelakunya enggan meminta maaf. Yakni:

  1. Iblis yang tidak terima ditegur salah, malah membangkang (Qs 7:11-18).
  2. Saudara Yusuf terungkap kesalahannya malah melemparnya ke Nabi Yusuf karena kedengkian (Qs 12:77).
  3. Kisah Firaun, Hamman, dan Qorun yang diingatkan terus kesalahannya tetapi menjadi karakter karena kesombongan ingin merasa paling menang.

Sedangkan kisah korban kesalahan dan kemudian memaafkan, seperti kisah Abu Bakar yang menghentikan nafkahnya kepada saudara sepupunya yang miskin dan terlibat peristiwa fitnah keji kepada Aisyah ra, sebagaimana digambarkan dalam Qs 24:22. Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Tidaklah seseorang memberikan maaf, kecuali Allah akan tambahkan baginya kemuliaan. Tidaklah harta berkurang dengan sedekah, dan tidak pula seseorang memberikan maaf kecuali akan Allah tambahkan baginya kemuliaan.” (HR. Ahmad)

Mampu meminta maaf dan memaafkan adalah anugerah. Sebaliknya, jika ada orang yang gengsi untuk meminta maaf, bisa jadi disebabkan oleh faktor faktor ini:

  1. Bersama setan dalam darah dagingnya.
  2. Tidak sensitif karena hatinya gelap dengan kemaksiatan.
  3. Hidup di lingkungan pendendam.
  4. Setipe dengan Bani Israil karena persaingan dan cemburu buta.
  5. Negatif thinking dan sempit pikiran.
  6. Merasa terhina jika bersalah.

Ada kalanya kata maaf saja tidak cukup bagi pelakunya. Untuk hal ini, kita tidak perlu kuatir, karena:

  1. Ada Allah sebagai hakim yang adil dan bijaksana.
  2. Ada gugatan malaikat jaksa penuntut di akhirat kelak (Qs. 50: 17-21-23).
  3. Ada kesalahan yang berbayar tindakan hukum untuk keadilan dan tindakan preventif agar kesalahan tidak terulang.

Lalu, bolehkah ketika sudah dimaafkan tapi diminta untuk tidak usah bertemu lagi, tanpa putus silaturahmi dan tidak saling menzalimi? Hal ini dapat kita pelajari dari kisah Rosulullah saw saat menerima syahadat Wahsyi bin Harb, pembbunuh Hamzah, paman Nabi saw di perang Uhud.

Pada akhirnya, di hadapan Rosulullah saw ia menyatakan diri masuk Islam. Namun begitu mengetahui Wahsyi adalah pembunuh pamannya, Hamzah, Rasulullah saw memalingkan mukanya dan tidak mau melihat wajah Wahsyi. Hal itu terjadi sampai beliau wafat.

Keutamaan memaafkan pelaku kesalahan

Ada beberapa keutamaan saat kita memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan kepada kita. Di antaranya:

Pertama, menjadi sedekah maaf (Qs. 2:219 dan Qs. 2:263).

Kedua, mendapatkan ampunan dari Allah swt (Qs. 24:22): “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ketiga, mendapatkan limpahan rahmat (Qs. 3:159): “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Keempat, pahala mengalir. Rasulullah ﷺ bersabda, “Berikanlah maaf, niscaya kalian akan mendapatkan pahala. Dan Allah benar-benar akan memutuskan apa saja yang disukai-Nya melalui lisan Nabi-Nya.” (HR. Ahmad)

Lalu, kapan saat sangat pentinng untuk mendahulukan memaafkan walaupun kita tidak bersalah?

Pertama, saat perbedaan tradisi dan kebiasaan (Qs. 7:199-200):

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ . وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Kedua, saat perdebatan dan beda karakter. Saat terjadi perdebatan, kita harus bijak, bukan mencari yang paling benar. Aku mendengar Abu Darda berkata, “Abu Bakr dan Umar pernah berdebat hingga Abu Bakr marah kepada Umar. Umar pun berpaling darinya dalam keadaan marah. Lalu Abu Bakr mengejarnya untuk meminta maaf. Namun Umar tidak memberi maaf hingga ia menutup pintu rumahnya di hadapan Abu Bakr. Abu Bakr kemudian menemui Rasulullah ﷺ. Abu Darda berkata: pada waktu itu aku berada di samping Rasulullah ﷺ. kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya temanmu ini telah berbuat baik lebih dahulu. Abu Darda berkata: Maka Umar menyesal atas apa yang telah dia perbuat. Lalu ia datang dan mengucapkan salam serta duduk di samping Rasulullah ﷺ seraya menceritakan kepada Rasulullah ﷺ apa yang telah ia perbuat. Abu Darda berkata: Rasulullah ﷺ pun marah, hingga Abu Bakr berkata: Demi Allah ya Rasulullah, Akulah yang telah berbuat zalim. Rasulullah ﷺ bersabda: Bukankah kalian pernah meninggalkan sahabatku untukku? Bukankah kalian pernah meninggalkan sahabatku untukku? Sesungguhnya aku pernah berkata: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah utusan kepada kalian semua, lalu kalian katakan: Anda telah berdusta, namun Abu Bakr berkata: Anda benar.” (HR. Bukhari).

Saat konflik dalam rumah tangga juga sama, jangan cari siapa yang bersalah, tetapi maafkan, rangkulan, dan beristighfar (Qs 64:14)”

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٤

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta rangkul (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ketiga, saat dizalimi.

Setelah memaafkan, lalu apalagi yang harus dilakukan?

  1. Maafkan dan dirangkul penuh kasih sayang (Qs 2:109).
  2. Maafkan dan ada komitmen kesepakatan.
  3. Meluruskan permasalahan. Al Muhajir bin Qunfudz pernah menemui Nabi ﷺ ketika beliau sedang buang air kecil, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi, namun beliau tidak menjawab salamnya hingga berwudhu, kemudian beliau meminta maaf seraya bersabda, “Sesungguhnya aku tidak suka menyebut Nama Allah Ta’ala kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Abu Daud).
  4. Istighfar untuk mereka 70 kali. Abdullah bin Umar bin Khaththab meriwayatkan, ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah ﷺ seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku mempunyai seorang budak yang suka berbuat yang buruk dan berlaku lalim, apakah aku boleh memukulnya?” Nabi menjawab, “Berilah maaf baginya setiap hari tujuh puluh kali.” (HR. Ahmad).

Namun perlu dicatat, tidak ada kata maaf jika seseorang disuruh melakukan kebaikan. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: Ambilkan aku alas tikar (untuk shalat). Lantas aku berkata: Maaf, aku sedang haid. Beliau pun berkata: Haid itu bukan pada tanganmu”. (HR. Darimi).

>>Disampaikan oleh Ustadzah Nur Hmidah, LC, saat Halaqoh Selasa Ekspatriat Perempuan, 8 Februari 2022. [DDHKNews]

Exit mobile version