Permulaan Hijrah

DDHK.ORG — Setelah terjadinya peristiwa Baiat Aqabah kedua, dan Islam berhasil memancangkan tonggak negara di tengah padang pasir yang bergelombang kekufuran dan kebodohan, dan ini merupakan hasil paling besar yang diperoleh Islam sejak dakwah dimulai, maka Rasulullah saw dan orang-orang Muslim diperkenankan untuk hijrah ke Madinah.

Hijrah ini bukan sekadar mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta benda, dan menyelamatkan diri semata, setelah hak mereka banyak yang dirampas. Tetapi bisa saja mereka akan mengalami kebinasaan pada permulaan hijrah itu atau pada akhirnya. Hijrah ini juga menggambarkan sebuah perjalanan ke masa depan yang serba mengambang, tidak diketahui duka lara apa yang akan menyusul di kemudian hari.

Sekalipun orang-orang Muslim menyadari semua ini, toh mereka tetap mulai berhijrah. Sementara orang-orang musyrik berusaha untuk menghalangi agar orang orang Muslim tidak bisa keluar dari Makkah. Sebab jika hal ini diabiarkan, mereka menyadari akibatnya di kemudian hari.

Inilah beberapa gambaran hijrah mereka:

Pertama, yang pertama kali melakukan hijrah adalah Abu Salamah, yaitu setahun sebelum Baiat Aqabah Kubra, seperti yang dikatakan Ibnu Ishaq, yang kemudian disusul oleh istri dan anaknya.

Tatkala dia sudah membulatkan tekad untuk hijrah ke Madinah, maka keluarga istrinya berkata kepadanya, “Ini adalah kepentingan dirimu sendiri, tanpa mempedulikan kepentingan kami. Lalu apa pendapatmu tentang istrimu ini? Atas dasar apa kami biarkan kamu berjalan berdampingan dengannya di negeri ini?” Lalu mereka membawa istrinya.

Melihat kejadian ini, keluarga Abu Salamah tidak mau terima. Mereka tersinggung atas perlakuan terhadap salah seorang anggotanya. Mereka berkata, “Kami tidak membiarkan salah seorang anggota kami hidup bersama wanita yang mereka ambil secara paksa.” Lalu mereka mengambil anak Abu Salamah setelah berebut dengan mereka.

Akhirnya Abu Salamah hijrah sendirian ke Madinah. Sementara Ummu Salamah yang ditinggal suaminya dan kehilangan anaknya hanya bisa pergi ke tengah padang pasir, lalu menangis di sana sejadi-jadinya hingga sore hari. Begitulah yang dia kerjakan setiap harinya hampir selama setahun. Melihat keadaan ini, salah seorang kerabatnya merasa kasihan kepadanya. Lalu orang itu berkata kepada mereka, “Mengapa kalian tidak membebaskan wanita yang malang ini? Kalian telah memisahkan dirinya dengan suami dan anaknya.”

Maka mereka berkata kepada Ummu Salamah, “Jika engkau mau, susullah suamimu.” Setelah dia meminta kembali anaknya, dia pun pergi menuju Madinah, menempuh perjalanan jauh sejauh lima ratus kilometer, tanpa disertai siapapun. Baru setelah tiba di Tan’im dia bertemu dengan Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah. Setelah mengetahui keadaannya, Utsman mengantar Ummu Salamah ke Madinah. Setelah Quba’ tampak di depan mata, Utsman berkata, “Di desa itulah suamimu menetap. Maka masuklah ke sana, semoga Allah memberikan.” Kemudian Utsman kembali lagi ke Makkah.

Kedua, tatkala Shuhaib hendak hijrah ke Madinah, orang-orang kafir Quraisy berkata kepadanya, “Dulu engkau datang kepada kami dalam keadaan hina dan melarat. Setelah hidup dengan kami, harta bendamu melimpah ruah dan engkau mendapatkan apa yang telah engkau dapatkan, kini engkau hendak pergi begitu saja memboyong hartamu. Demi Allah, itu tidak akan terjadi.”

“Bagaimana menurut pendapat kalian, jika harta bendaku kuserahkan kepada kalian, apakah kalian akan membiarkan aku?”

“Baiklah,” kata mereka.

Tatkala Rasulullah saw mendengarnya, maka beliau bersabda, “Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung.”

Ketiga, Umar bin Al-Khaththab, Iyasy bin Abi Rabi’ah, dan Hisyam bin Al Ashy sudah saling berjanji bertemu di suatu tempat esok paginya, setelah itu mereka hijrah berbarengan ke Madinah. Umar dan Iyasy dapat tiba di tempat yang dijanjikan, namun Hisyam ditahan orang-orang Quraisy.

Umar dan Iyasy meneruskan perjalanan ke Madinah dan singgah di Quba’. Abu Jahal dan saudaranya, Al-Harits, menemui Iyasy di Quba’ dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya ibumu bernadzar tidak akan menyisir rambutnya dan berteduh dari teriknya matahari, sebelum dia melihatmu.” Tentu saja hatinya merasa iba karena mendengar penuturan itu.

Umar berkata kepada Iyasy, “Wahai Iyasy, Demi Allah, jika mereka hendak memperdayaimu agar engkau meninggalkan agamamu, maka hindarilah. Demi Allah, jika ibumu sudah tersiksa oleh kutu, tentu dia akan menyisir rambutnya, dan jika tidak tahan dibakar terik matahari di Makkah, tentu dia akan berteduh.”

Namun Iyasy memutuskan untuk kembali ke Makkah Bersama Abu Jahal dan Al-Harits, agar ibunya menghentikan nadzarnya. Maka Umar berkata kepadanya, “Kalau memang itu pilihanmu, maka ambil ontaku ini dan gunakan, karena ia adalah seekor onta yang pintar dan jinak. Naiklah ke atas punggungnya. Jika engkau meragukan niat kaummu, maka segeralah naik onta ini untuk mencari selamat.”

Jadilah Iyasy pergi bersama keduanya ke Makkah. Setelah melakukan perjalanan beberapa lama, Abu Jahal berkata, “Wahai keponakanku, Demi Allah, seseungguhnya ontaku ini sudah kepayahan. Apakah engkau sudi memboncengku di atas punggung ontamu?”

“Boleh,” jawab Iyasy.

Maka ontanya diderumkan, lalu Abu Jahal naik ke atas punggungnya di belakang Iyasy. Seketika itu Iyasy didekap, lalu Abu Jahal dan Al-Harits mengikatnya. Mereka masuk ke Makkah pada siang hari. Lalu Abu Jahal dan Al-Harits berseru, “Wahai penduduk Makkah, berbuatlah terhadap orang orang yang bodoh di antara kalian seperti yang kalian perbuat saat ini.”

Inilah tiga gambaran tentang apa yang dilakukan orang-orang Quraisy terhadap orang Muslim yang diketahui hendak hijrah. Sekalipun begitu, secara periodik orang-orang Muslim bisa hijrah. Dua bulan lebih setelah Baiat Aqabah Kubra, tak seorang pun dari orang orang Mukmin yang tersisa di Makkah kecuali Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Ali, yang memang diperintah untuk tetap tinggal di Makkah. Ada pula beberapa orang lain yang ditahan orang-orang musyrik secara paksa di Makkah. Sementara beliau sudah menyiapkan segala galanya sambil menunggu perintah dari Allah, kapan saatnya untuk pergi dari Makkah. Abu Bakar juga menyiapkan semua perangkat.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah saw bersabda kepada orang-orang Muslim, ‘Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku tempat tujuan hijrah kalian, yang memiliki kebun korma yang terletak di antara dua dataran yang subur’,”

Mereka pun hijrah ke Madinah. Orang-orang Muslim yang dulu hijrah ke Habasyah juga kembali dan hirah ke Madinah. Setelah Abu Bakar sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Madinah, beliau bersabda kepadanya, “Tundalah keberangkatanmu, karena aku masih menunggu izin bagiku.”

“Demi bapakku menjadi taruhannya, apakah dalam kondisi seperti ini engkau masih hendak menunggu izin?” tanya Abu Bakar.

Beliau menjawab, “Ya.”

Maka Abu Bakar menunda keberangkatan untuk menemani Rasulullah saw. Dia harus memberi makan dua ekor ontanya dan mengurusnya selama empat bulan. [Dinukil dari kitab ArRahiqul Makhtum (Sirah Nabawiyah), karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri] [DDHKNews]

Exit mobile version